NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dosa Sebutir Debu

Gunung Awan Putih tidak pernah benar-benar tidur. Ia hanya beristirahat di antara gema lonceng pagi dan senandung jangkrik malam.

Di puncak gunung itu, tersembunyi di balik kabut abadi yang memisahkan dunia fana dari kesunyian ilahi, berdiri Kuil Teratai Emas. Bangunan itu tua, kayu-kayunya telah memutih dimakan cuaca, namun genting emasnya masih memantulkan cahaya matahari terbit dengan keanggunan yang keras kepala.

Di halaman depan kuil, seorang pemuda berjubah putih sedang menyapu.

Gerakannya lambat, hampir seperti tarian. Sapu lidi di tangannya tidak menggores tanah, melainkan meluncur tepat satu inchi di atas permukaan batu, menciptakan angin lembut yang mendorong daun-daun kering minggir.

Liang Wu berhenti.

Ia menunduk, menatap seekor semut hitam yang sedang berjuang menyeret bangkai lalat melintasi jalur sapuannya. Pemuda itu tersenyum—senyum yang terlalu polos untuk seseorang yang hidup di dunia persilatan yang kejam. Ia berjongkok, meletakkan jari telunjuknya di tanah, membiarkan semut itu memanjat kukunya, lalu memindahkannya dengan hati-hati ke akar pohon beringin.

"Amitabha," bisiknya lembut. "Jalan di tengah terlalu berbahaya, Tuan Kecil. Minggirlah."

"Kau membuang waktu lagi, Wu'er."

Suara itu berat dan berwibawa, namun memiliki kehangatan seperti teh tua. Liang Wu segera bangkit dan membungkuk dalam-dalam, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada.

"Guru Besar."

Guru Besar Xuan berdiri di halaman aula utama. Jubah kasaya merahnya terlihat pudar di beberapa bagian, tanda bahwa ia lebih peduli pada pencerahan batin daripada kemewahan duniawi. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya jernih seperti kolam musim semi.

"Menyapu halaman adalah menyapu batin," kata Guru Xuan sambil menuruni tangga. "Jika kau berhenti untuk setiap serangga yang lewat, kapan batinmu akan bersih?"

"Jika saya menyapu serangga itu bersama debu, halaman ini mungkin bersih, Guru," jawab Liang Wu dengan nada hormat namun tegas. "Tapi batin saya akan kotor karena pembunuhan."

Guru Xuan tertawa kecil, suara yang terdengar seperti gesekan kertas kuno. Ia menggeleng pelan, menatap murid utamanya dengan tatapan yang merupakan campuran antara bangga dan khawatir.

"Kebaikanmu adalah lentera, Wu'er. Tapi ingat, lentera yang terlalu terang akan menarik ngengat yang akan membakar diri mereka sendiri."

"Bukankah tugas api untuk menerangi, Guru? Jika ngengat memilih untuk terbakar, itu adalah karma mereka."

"Dan tugas kita adalah mematikan api itu jika ia mulai menyakiti," balas Guru Xuan, menutup perdebatan pagi itu. "Sudahlah. Mei sudah menyiapkan sarapan. Jangan biarkan buburnya dingin."

Mendengar nama itu, senyum Liang Wu melebar sedikit lebih tulus.

Dapur kuil berbau kayu bakar dan beras melati. Di sana, seorang gadis muda dengan pakaian pelayan abu-abu sedang menata mangkuk tanah liat.

Mei.

Dia tidak cantik dalam artian yang membuat penyair menulis lagu. Wajahnya biasa, dengan bintik-bintik matahari di hidung dan rambut yang diikat sembarangan dengan pita biru pudar. Namun, di mata Liang Wu, Mei adalah satu-satunya hal di gunung ini yang lebih nyata daripada patung Buddha emas di aula utama.

Saat melihat Liang Wu masuk, mata Mei berbinar. Dia tidak bisa bicara—lidahnya telah dipotong oleh perampok sebelum Guru Xuan menyelamatkannya sepuluh tahun lalu—tapi dia tidak perlu suara untuk menyapa.

Dia menepuk bangku kayu di sebelahnya. Duduk, isyarat tangannya berkata.

Liang Wu duduk. Di hadapannya, semangkuk bubur putih dengan acar lobak tersaji rapi. Sederhana. Sempurna.

"Terima kasih, Mei," kata Liang Wu.

Mei tersenyum, lalu membuat gerakan tangan cepat. Guru menceramahimu lagi soal semut?

Liang Wu tertawa renyah, mengambil sumpitnya. "Dia bilang aku terlalu lambat. Tapi kau tahu, Mei... aku merasa setiap nyawa memiliki bobot yang sama. Semut, raja, kau, aku... jika kita mulai memilah mana yang pantas hidup dan mana yang tidak, apa bedanya kita dengan Aliansi Ortodoks di kaki gunung yang membunuh demi 'kebenaran'?"

Wajah Mei berubah sedikit murung saat Liang Wu menyebut dunia luar. Dia menyentuh punggung tangan Liang Wu, lalu menunjuk ke arah dada pemuda itu.

Hati-hati. Hatimu terlalu lunak. Dunia ini terbuat dari batu.

Liang Wu menatap gadis bisu itu. Di leher Liang Wu, tergantung sebuah tasbih kayu cendana tua. Dia melepaskannya sejenak, memutarnya di jari-jarinya.

"Selama aku memiliki ajaran Guru dan bubur buatanmu," kata Liang Wu, matanya bersinar dengan keyakinan yang naif, "aku rasa batu pun bisa menjadi bantal yang empuk."

Mei menggeleng pelan, seolah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui Liang Wu. Tapi dia tidak membantah. Dia hanya menuangkan teh hangat ke cangkir Liang Wu.

Suasana damai itu pecah oleh suara yang tidak seharusnya ada di Kuil Teratai Emas.

Bukan suara lonceng. Bukan suara doa.

Itu adalah suara gedebuk keras di gerbang depan, diikuti oleh bau amis yang tajam. Bau logam. Bau kematian.

Liang Wu dan Mei bertukar pandang. Liang Wu segera berdiri, menyambar sapu lidinya—bukan sebagai senjata, tapi karena hanya itu yang dia pegang.

"Tetap di sini," perintahnya pada Mei, suaranya kehilangan nada bermain-main.

Liang Wu berlari keluar dapur, melintasi halaman yang baru saja dia sapu, menuju gerbang utama yang setengah terbuka.

Di sana, di atas batu persis di mana dia tadi memindahkan semut, tergeletak seorang pria.

Pria itu mengenakan jubah hitam yang robek-robek, basah kuyup oleh darah yang bukan hanya miliknya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan ada aura ungu gelap—aura kultivasi sesat—yang berdenyut lemah dari dantian-nya. Tangan pria itu mencengkeram ambang pintu, kuku-kukunya patah menggores kayu.

Guru Xuan sudah ada di sana, berlutut di samping tubuh itu, memeriksa nadinya.

"Guru!" seru Liang Wu, berhenti tiga langkah dari mereka. "Dia... auranya... dia seorang Kultivator Iblis!"

Guru Xuan menoleh. Wajahnya tenang, terlalu tenang. "Dia adalah manusia yang terluka, Wu'er."

"Tapi lihat jubahnya! Lihat aura ungunya!" Liang Wu menunjuk dengan sapunya, tangannya sedikit gemetar. Ini pertama kalinya dia melihat praktisi ilmu sesat dari jarak sedekat ini. "Kitab suci mengatakan energi seperti itu hanya dimiliki oleh mereka yang meminum darah dan mengorbankan jiwa. Kita harus menyerahkannya pada Aliansi Ortodoks!"

Pria di tanah itu mengerang, matanya terbuka sedikit. Mata itu licik, liar, seperti serigala yang terperangkap. Dia menatap Guru Xuan, lalu ke Liang Wu.

"Tolong..." parau pria itu, darah berbuih di sudut bibirnya. "Aku... aku ingin bertobat..."

Kata itu—bertobat—membuat Guru Xuan membeku.

Sang Guru Besar menatap pria berdarah itu, lalu menatap Liang Wu. Di saat itu, Liang Wu melihat kelemahan fatal gurunya. Itu bukan kebodohan. Itu adalah arogansi spiritual. Keyakinan bahwa siapapun bisa diselamatkan olehnya.

"Kau dengar, Wu'er?" Guru Xuan berdiri, lalu dengan kekuatan Qi yang lembut, dia mengangkat tubuh pria itu. "Dia mencari jalan pulang. Buddha tidak pernah menolak mereka yang mengetuk pintu."

"Guru, ini salah," desak Liang Wu, instingnya berteriak. Dia merasakan hawa dingin yang tidak wajar dari pria itu. "Mata itu... itu bukan mata orang yang menyesal. Itu mata orang yang sedang berhitung."

"Cukup!" bentak Guru Xuan, nadanya keras untuk pertama kalinya pagi itu. "Siapkan kamar tamu di sayap barat. Ambil air hangat dan perban. Kita akan merawatnya."

Guru Xuan memapah pria itu masuk, meninggalkan jejak darah panjang di atas lantai batu yang baru saja disapu bersih oleh Liang Wu.

Liang Wu berdiri terpaku di gerbang. Angin gunung berhembus, kali ini terasa dingin menusuk tulang.

Di kejauhan, di antara pepohonan, dia melihat bayangan burung gagak terbang berputar-putar, menunggu sisa-sisa makanan.

Tanpa sadar, jari Liang Wu mencengkeram tasbih kayu cendananya begitu erat hingga talinya meregang. Dia tidak tahu bahwa hari ini, dia tidak hanya membukakan pintu untuk seorang tamu.

Dia baru saja membukakan pintu untuk neraka.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!