Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Nama yang Bukan Miliknya"
Zavian tidak pernah percaya pada kata *jika*.
Dalam hidupnya, segala sesuatu berjalan karena keputusan, bukan kemungkinan. Namun hari itu—hari yang seharusnya berakhir dengan satu nama, satu tanda tangan, satu rangkaian foto yang rapi—ia berdiri di tengah aula dan menyadari bahwa ada hal-hal yang bahkan tidak bisa dikendalikan oleh kekuasaan, uang, atau reputasi.
Ia sedikit kecewa.
Tidak dalam bentuk amarah yang meledak.
Bukan juga kekecewaan yang mencari kambing hitam.
Lebih seperti retakan kecil pada dinding yang selama ini ia bangun terlalu rapat.
Evelyn tidak datang.
Dan tidak akan datang.
Itu fakta.
Zavian menatap ke depan, ke arah lampu-lampu kamera yang kembali menyala. Para tamu, setelah melewati fase bingung dan terkejut, kini berada pada fase berikutnya: penerimaan. Dunia sosial selalu begitu—apa pun yang disuguhkan, selama disajikan dengan keyakinan, akan diterima sebagai kebenaran sementara.
“Prosesi akan dilanjutkan,” katanya tadi.
Dan semua orang menurut.
Sekarang, prosesi itu benar-benar berjalan.
Alya berdiri di sampingnya.
Gaun putih sederhana itu tampak terlalu besar di tubuhnya, seolah dibuat untuk seseorang yang lebih siap memikul makna simbolis yang menempel padanya. Bahunya sedikit tegang. Wajahnya pucat, tapi tenang—ketenangan yang bukan berasal dari kesiapan, melainkan dari kelelahan yang tidak punya tenaga untuk melawan.
Zavian merasakannya.
Ia selalu peka terhadap detail.
Terhadap perubahan napas.
Terhadap cara seseorang berdiri ketika tidak ingin dilihat.
Sedikit kekecewaan itu kini bercampur dengan sesuatu yang lebih rumit: kesadaran bahwa ia telah membiarkan garis batas menjadi kabur.
Namun proses sudah berjalan.
Dan dalam dunia yang ia bangun sendiri, proses yang sudah berjalan tidak dihentikan hanya karena perasaan.
---
Cincin pernikahan itu dibawa di atas bantalan beludru kecil.
Kilau emasnya tertangkap lampu kristal, memantul terlalu terang. Seorang petugas berdiri dengan senyum profesional, seolah ini hanyalah satu dari ratusan pernikahan lain yang pernah ia saksikan.
“Akan dilakukan pemasangan cincin,” ucap pembawa acara dengan suara mantap.
Alya menelan ludah.
Tangannya sedikit terangkat, refleks, sebelum ia sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti alur yang sudah digambar untuknya. Jari manisnya terasa dingin ketika disentuh udara.
Zavian mengambil cincin itu.
Tangannya stabil. Terlalu stabil untuk situasi yang sebenarnya tidak stabil sama sekali.
Ia menurunkan pandangan ke tangan Alya—sekilas saja. Tidak lebih. Ia tidak ingin melihat terlalu lama, karena melihat terlalu lama berarti mengakui sesuatu yang belum siap ia beri nama.
Cincin itu meluncur ke jari Alya.
Pas.
Terlalu pas untuk sesuatu yang tidak pernah dimaksudkan untuknya.
Di bagian dalam cincin itu, terukir nama yang bukan milik Alya.
**Evelyn.**
Nama itu kini melingkar di jari manis seorang gadis yang bahkan belum sepenuhnya mengerti bagaimana hidup orang dewasa bekerja.
Alya tidak tahu.
Ia hanya merasakan berat kecil di jarinya—berat yang tidak berasal dari logam, melainkan dari makna yang tidak pernah ia minta. Senyum tipis ditarik ke wajahnya, karena itulah yang diharapkan darinya.
Tepuk tangan kembali terdengar.
Kali ini lebih bulat. Lebih yakin.
Para tamu berdiri satu per satu, mengikuti protokol yang seharusnya. Kamera mulai berbunyi lebih sering. Beberapa orang tersenyum lebar, seolah peristiwa aneh ini hanyalah variasi menarik dari rutinitas sosial mereka.
“Selamat,”
“Luar biasa,”
“Tak terduga, tapi indah.”
Kata-kata itu beterbangan seperti confetti—ringan, berwarna, dan tidak menyentuh tanah.
Zavian mengangguk pada setiap ucapan. Alya menunduk sopan. Mereka berdiri berdampingan seperti dua figur dalam foto yang tidak akan pernah dipajang di ruang keluarga.
---
Sesi foto dimulai.
“Mohon berdiri lebih dekat.”
“Sedikit ke kiri.”
“Tatapan ke kamera.”
Instruksi datang bertubi-tubi.
Zavian menurut. Alya menurut.
Jarak mereka dipersempit oleh lensa kamera, bukan oleh kehendak. Bahu mereka hampir bersentuhan. Alya bisa mencium aroma jas Zavian—bersih, dingin, dewasa. Aroma dunia yang tidak pernah benar-benar ia masuki.
Flash menyala.
Untuk sepersekian detik, Alya merasa seperti terpotret di kehidupan orang lain.
Ia tersenyum.
Bukan karena bahagia.
Bukan karena bangga.
Melainkan karena itu adalah satu-satunya cara bertahan di tengah situasi yang tidak memberinya ruang untuk menjadi jujur.
Hadiah mulai berdatangan.
Kotak-kotak besar berbalut pita. Amplop tebal. Ucapan selamat yang ditulis dengan tinta mahal. Semua ditujukan pada sebuah pasangan—pasangan yang di mata dunia kini terlihat sah, rapi, dan selesai.
Nama Alya disebut.
“Selamat, Alya.”
“Jaga Pak Zavian baik-baik.”
“Kalian cocok sekali.”
Setiap kali namanya disebut, Alya mengangguk. Setiap kali ia mengangguk, ia merasa sedikit lebih jauh dari dirinya sendiri.
Zavian mendengarkan semuanya tanpa ekspresi berubah.
Di dalam dirinya, ada suara kecil yang mengingatkan: *Ini seharusnya tidak seperti ini.*
Namun suara itu tidak cukup keras untuk menghentikan langkah-langkah yang sudah terlanjur diambil.
Ia tidak menyesal dengan cara biasa. Ia tidak berpikir, *seharusnya aku melakukan ini atau itu.* Ia hanya tahu satu hal: hari ini, ia kalah oleh keadaan yang bahkan tidak ia prediksi.
Dan Zavian tidak menyukai perasaan itu.
---
Di sudut aula, beberapa anggota keluarga berbisik dengan wajah tegang.
“Nama di dokumen tetap Evelyn,” kata seseorang pelan.
“Sudah dipastikan?”
“Sudah. Tidak ada perubahan administratif. Ini hanya penampilan.”
*Hanya penampilan.*
Kata itu bergaung aneh.
Karena bagi Alya, apa pun yang terjadi hari ini tidak terasa seperti penampilan. Ia berdiri di sana. Ia mengenakan gaun itu. Ia menerima cincin itu. Ia menjadi pusat perhatian dengan cara yang tidak pernah ia inginkan.
Penampilan tidak meninggalkan bekas.
Hari ini meninggalkan bekas.
Zavian menyadarinya ketika melihat Alya berdiri terlalu lama tanpa bergerak.
Ia sedikit mencondongkan tubuh, cukup dekat untuk berbisik tanpa terdengar kamera.
“Kamu bisa duduk sebentar,” katanya pelan. “Istirahat.”
Alya menggeleng halus. “Tidak apa-apa.”
Ia tidak ingin duduk. Duduk berarti berhenti bergerak. Berhenti bergerak berarti merasakan semuanya sekaligus.
Dan ia belum siap.
---
Acara makan malam berlangsung dengan formalitas yang dipercepat.
Tidak ada tarian. Tidak ada pidato panjang. Semua dilakukan secukupnya—cukup untuk menyelesaikan, tidak cukup untuk merayakan.
Zavian makan dengan tenang. Alya hampir tidak menyentuh makanannya.
Beberapa tamu mulai pamit. Yang lain masih bertahan, menikmati kesempatan untuk menjadi bagian dari cerita yang akan dibicarakan lama.
“Pernikahan paling aneh tahun ini,” seseorang berbisik, cukup pelan untuk terdengar.
Alya mendengarnya.
Ia tidak bereaksi.
Zavian mendengarnya juga.
Ia mencatatnya.
---
Ketika acara akhirnya benar-benar berakhir, aula mulai kosong.
Lampu sedikit diredupkan. Bunga-bunga mulai dibereskan. Hadiah dipindahkan ke ruang lain. Dunia perlahan kembali ke ritme yang lebih manusiawi.
Alya berdiri di dekat pintu, memeluk lengannya sendiri.
Cincin itu masih di jarinya.
Ia menatapnya lama, seolah baru menyadari keberadaannya.
Nama di dalamnya bukan miliknya.
Janji yang diucapkan bukan pilihannya.
Namun kenyataan tidak bertanya apakah ia siap menerimanya.
Zavian mendekat.
“Cincinnya,” katanya singkat. “Kamu boleh melepasnya nanti.”
“Nanti?” Alya bertanya pelan.
“Bukan di depan orang,” jawabnya. Nada suaranya netral, tapi ada sesuatu di baliknya—kesadaran bahwa bahkan gestur kecil pun bisa dibaca terlalu jauh.
Alya mengangguk.
Ia ingin bertanya: *Sampai kapan?*
Tapi ia tidak melakukannya.
Pertanyaan seperti itu jarang punya jawaban yang menenangkan.
---
Malam itu, mobil-mobil terakhir meninggalkan gedung.
Langit tetap cerah.
Tidak ada hujan. Tidak ada petir. Tidak ada tanda alam yang menandai bahwa sesuatu yang besar dan salah baru saja terjadi.
Zavian berdiri sejenak di depan gedung, menatap kosong.
Sedikit kecewa, ya.
Tapi ia juga tahu—hidup tidak selalu memberi pilihan ideal.
Di dunia yang ia kenal, yang bertahan bukan yang paling benar, melainkan yang paling mampu berdiri setelah semuanya kacau.
Dan hari ini, Alya berdiri.
Bukan karena ia kuat.
Melainkan karena ia tidak diberi kesempatan untuk jatuh.
Zavian menarik napas panjang.
Di benaknya, satu kesimpulan terbentuk, dingin dan jelas:
Hari ini bukan akhir.
Ini adalah awal dari konsekuensi.
Dan di balik semua kilau, foto, dan ucapan selamat, satu fakta tidak bisa dihapus:
Seorang gadis pulang dengan cincin bernama orang lain di jarinya.
Seorang pria melanjutkan hidup dengan pernikahan yang tidak pernah benar-benar terjadi.
Dan dunia—seperti biasa—memilih untuk berjalan terus,
tanpa menunggu siapa pun benar-benar siap.