Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 : DUA GARIS MERAH
Tubuhku terasa kaku dan remuk. Cahaya matahari yang masuk melalui celah pintu lemari terasa menyiksa matanya yang sembab. Kepalaku berdenyut hebat, seolah ada palu yang menghantam bertubi-tubi. Di dalam kesadaran yang masih samar, aku mendengar suara ketukan halus.
"Non... Non Ashilla? Non di dalam?" suara itu gemetar, penuh kekhawatiran. Itu suara Bi Sumi, asisten rumah tangga senior yang diam-diam selalu menaruh iba padaku.
Cklek.
Pintu terbuka. Cahaya lampu kamar seketika menusuk mataku. Bi Sumi terpekik pelan melihat kondisiku yang meringkuk di antara tumpukan barang-barang Sarah.
"Ya Tuhan, Non..." Bi Sumi segera membantuku duduk. Tangannya yang keriput terasa hangat dan tulus, kontras dengan sentuhan kasar Erlangga semalam.
"Erlangga... di mana dia, Bi?" tanyaku dengan suara serak, nyaris hilang.
"Tuan sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, Non. Katanya ada rapat penting. Tuan berpesan supaya saya membantu Non keluar dan memastikan Non makan," jawab Bi Sumi sambil memapahku berdiri.
Langkahku gontai saat Bi Sumi membimbingku keluar dari kamar "keramat" itu menuju kamarku sendiri. Di dalam kamar mandi, Bi Sumi dengan telaten membantuku membersihkan diri. Air hangat yang mengalir di tubuhku sedikit meredakan ketegangan ototku, namun tidak dengan beban di dadaku.
Setelah berganti pakaian, Bi Sumi membawaku duduk di tepi ranjang. Tak lama kemudian, dia kembali dengan nampan berisi bubur ayam hangat dan segelas susu.
"Non harus makan ya, supaya ada tenaga. Sedikit saja," bujuknya lembut.
Namun, begitu uap aroma kaldu ayam dan bawang goreng menyentuh indra penciumanku, perutku bergejolak hebat. Rasa mual yang luar biasa naik ke kerongkongan.
"Uekkk...!"
Aku menutup mulut dan berlari sekencang mungkin ke kamar mandi. Aku memuntahkan segala cairan lambung yang terasa pahit. Tubuhku gemetar hebat, keringat dingin bercucuran di dahi.
Bi Sumi memijat tengkukku dengan cemas. "Non Shilla kenapa? Masuk angin ya? Atau karena semalam kedinginan di dalam?"
Aku menggeleng lemah, menyandarkan kepalaku di pinggiran wastafel yang dingin. "Tidak tahu, Bi... baunya sangat menyengat. Aku tidak kuat."
Bi Sumi terdiam sejenak. Tatapannya berubah menjadi penuh selidik, lalu turun menatap perutku yang masih rata. Wajahnya memucat, seolah menyadari sesuatu yang sangat krusial.
"Non... maaf kalau saya lancang. Tapi... kapan terakhir kali Non dapat 'tamu' bulanan?" bisik Bi Sumi dengan suara yang sangat rendah, seolah takut dinding rumah ini bisa mendengar.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku mencoba mengingat-ingat. Pikiranku yang kacau karena tekanan Erlangga membuatku melupakan siklus tubuhku sendiri. Sudah lewat dua minggu.
"Tidak mungkin, Bi... tidak boleh..." lirihku dengan tangan gemetar menyentuh perutku.
Jika benar ada kehidupan di dalam sini, itu bukan hanya sebuah berkah, melainkan sebuah ikatan permanen yang akan memenjarakanku selamanya dengan monster bernama Erlangga.
Setelah Bi Sumi keluar, suasana kamar terasa begitu sunyi dan mencekam. Namun, tak lama kemudian, pintu diketuk pelan. Bi Sumi kembali masuk dengan wajah yang pucat, tangannya gemetar hebat saat merogoh saku celemeknya.
"Non... ini," bisiknya sangat lirih, hampir tak terdengar.
Dia menyodorkan sebuah benda kecil yang terbungkus rapi dengan tisu tebal—sebuah testpack. Rupanya, Bi Sumi sudah menyimpannya sejak lama sebagai antisipasi, atau mungkin dia sudah memperhatikan perubahan fisikku lebih baik dari aku sendiri. Tanpa berkata-kata lagi, Bi Sumi segera keluar untuk berjaga di depan pintu, memastikan tidak ada penjaga atau asisten Erlangga yang mendekat.
Dengan jantung yang berdegup kencang hingga terasa ke tenggorokan, aku mengunci pintu kamar mandi. Jemariku gemetar saat merobek bungkusnya. Aku melakukan tes itu dengan napas yang memburu, keringat dingin mulai membasahi dahiku.
Aku meletakkan alat itu di pinggir wastafel. Satu menit terasa seperti satu abad. Aku memejamkan mata erat-erat, merapalkan doa yang kacau dalam hati—memohon agar hasilnya negatif, memohon agar aku tidak memiliki ikatan darah apa pun dengan pria yang sedang menghancurkan jiwaku.
Perlahan, aku membuka mata.
Dua garis merah. Tegas. Nyata.
Duniaku serasa runtuh seketika. Aku jatuh terduduk di lantai kamar mandi yang dingin, menatap alat kecil itu dengan tatapan horor. "Tidak... jangan sekarang," isakku tanpa suara, karena aku takut teriakanku terdengar keluar.
Ini adalah bencana. Dua garis merah itu bukan hanya tanda kehamilan, tapi rantai emas yang akan digunakan Erlangga untuk mengurungku selamanya dalam bayang-bayang Sarah. Aku memandangi perutku dengan rasa benci yang mendalam. Di dalam sini, ada benih dari monster itu.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,