Kim Min-seok siluman rubah tampan berekor sembilan, yang sudah hidup lebih dari 1000 tahun,Kim Min-seok hidup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seekor gumiho,Ia berkepribadian dingin dan juga misterius.
Dirinya menjalin hidupnya dengan kesepian menunggu reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal Beratus-ratus tahun yang lalu.
Kim Min-seok kemudian bertemu dengan Park sung-ah mahasiswi jurusan sejarah, saat itu dirinya menjadi dosen di universitas tersebut.
Mereka terjerat Takdir masa lalu yang mempertemukan mereka, mampukah Kim Min-seok mengubah takdir tragis di masalalu yang terulang kembali di masa depan.
apakah kejadian tragis di masalalu akan kembali terjadi kepada dirinya dan juga kepada park sung-ah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
༿BAB༌༚17
Malam tiba dengan perlahan, membawa kegelapan yang lembut dan udara yang semakin dingin.
Di puncak bukit Bukhan, api unggun yang besar menyala terang, menyebarkan cahaya hangat dan bau kayu bakar yang menyenangkan.
Para mahasiswa dan mahasiswi berkumpul di sekitar api unggun, duduk berdampingan di atas tikar yang diletakkan di tanah.
Beberapa orang sedang memanggang daging sapi dan ayam di atas bara api, dengan bau daging panggang yang lezat menyebar di udara. Yang lain sedang memegang mikrofon yang dibawa dari kampus, bernyanyi lagu-lagu populer Korea dan lagu-lagu keroncong yang merdu—suaranya bercampur dengan tawa dan percakapan yang meriah.
Park Sung-ah duduk di samping Yoo In-a, tangan dia memegang tusuk sate ayam yang masih panas.
Dia tersenyum melihat teman-temannya yang bahagia, merasakan kehangatan dari api unggun dan kebersamaan yang terasa di antara mereka.
Udara di puncak bukit segar dan bersih, dan dia bisa melihat bintang-bintang yang banyak bersinar di langit malam yang gelap—bintang-bintang yang terlihat begitu dekat seolah-olah bisa dijangkau dengan tangan.
"Eh, Sung-ah! Coba ini, aku panggangin sendiri loh! Pasti enak!" ucap In-a dengan semangat, memberinya tusuk sate daging sapi yang sudah matang.
Sung-ah menerima dengan senyum. "Makasih ya, In-a. Kamu beneran jago panggang nih!" jawab dia, lalu menggigit sate itu dengan senang hati.
Semua orang terus bernyanyi dan tertawa, menikmati malam yang indah itu. Namun, tiba-tiba, Sung-ah merasa ada yang memanggil namanya.
Suaranya lemah dan lembut, seolah-olah bisikan angin yang hanya bisa didengar oleh dia saja. "Sung-ah... Sung-ah..."
Dia menoleh cepat, melihat sekeliling api unggun. Tapi tidak ada siapa-siapa yang memanggilnya—semua orang terlibat dalam percakapan atau nyanyian mereka sendiri. In-a sedang tertawa bersama beberapa mahasiswi lain, tidak melihat bahwa Sung-ah sedang terkejut.
"Sung-ah, kenapa? Kamu melihat apa?" tanya In-a dengan khawatir, melihat wajah Sung-ah yang sedikit pucat.
Sung-ah menggeleng perlahan. "Aku... aku merasa ada yang memanggil namaku. Kamu tidak mendengar apa-apa?"
In-a memutar kepala, mendengarkan dengan cermat. "Tidak ada, Sung-ah. Semua orang sedang bernyanyi atau berbicara. Mungkin khayalan mu saja ya? Atau mungkin kamu terlalu lelah karena mendaki hari ini."
Sung-ah tersenyum lemah, merasa sedikit malu. "Mungkin ya, In-a. Aku terlalu lelah aja." Dia mencoba memusatkan perhatian kembali ke api unggun dan teman-temannya, tapi suara yang memanggil namanya masih terngiang-ngiang di telinganya—meskipun tidak lagi terdengar dengan jelas.
Malam semakin larut, dan kelelahan mulai menyerang semua orang. Sore itu mereka telah mendaki jauh, dan tubuh mereka membutuhkan istirahat.
Mereka mulai membersihkan tempat di sekitar api unggun, lalu pergi ke tenda-tenda yang mereka bangun sebelumnya. Sung-ah dan In-a masuk ke tenda mereka yang kecil tapi nyaman, meletakkan tubuh mereka di atas alas tidur yang empuk.
"Sudah lelah banget ya, Sung-ah. Besok pagi kita bisa bangun pagi dan melihat matahari terbit yang indah!" ucap In-a dengan suara yang lemah, sudah mulai mengantuk.
Sung-ah mengangguk, matanya juga mulai berat. "Iya dong, In-a. Tidur ya, biar besok kuat lagi." Dia menutup diri dengan selimut hangat, dan tidak lama kemudian, keduanya tertidur dengan nyenyak.
Namun, malam itu tidak berjalan dengan tenang untuk Sung-ah. Jam-jam kemudian, ketika malam telah sangat larut dan seluruh kelompok pendaki telah tertidur, Sung-ah terbangun dengan terkejut.
Suara yang memanggil namanya kembali terdengar—kali ini lebih jelas dan lebih kuat. "Sung-ah... datang sini... ke sini..."
Dia membuka mata, melihat ke dalam tenda yang gelap. In-a masih tertidur dengan nyenyak, nafasnya teratur. Sung-ah mendengarkan lagi—suara itu memang ada, datang dari luar tenda, dari arah hutan yang gelap.
Dia berdiri perlahan, tidak mau membangunkan In-a, dan meletakkan selimutnya ke samping. Dia mengenakan sepatu sandal yang ada di dekat alas tidur, lalu membuka pintu tenda dengan hati-hati.
Udara malam terasa sangat dingin, membuat dia menggigil. Dia melihat sekeliling—semua tenda lain tertutup rapat, dan tidak ada orang yang terbangun.
Api unggun yang semula besar telah menyusut menjadi bara api yang kecil, menyebarkan cahaya yang lemah. Suara itu kembali terdengar, lebih jelas lagi: "Sung-ah... ke kuil... aku menunggu di sini..."
Tanpa sadar, tanpa berpikir dua kali, Sung-ah mulai berjalan mengikuti suara itu. Langkahnya lemah dan otomatis, seolah-olah tubuhnya sedang dikendalikan oleh sesuatu yang di luar kendalinya.
Dia berjalan meninggalkan area kemah, memasuki hutan yang gelap dan rimbun. Pohon-pohon pinus yang tinggi menutupi langit malam, membuat cahaya bintang-bintang sulit masuk. Dia hanya bisa melihat jalan di depannya dengan cahaya bulan yang lemah yang menyebar melalui dedaunan pohon.
Suara itu terus memanggilnya, membimbing dia melalui jalur hutan yang sempit dan licin.
Dia berjalan selama beberapa menit, tidak tahu berapa jauh dia telah pergi atau di mana dia sedang pergi.
Semua yang dia tahu adalah bahwa dia harus mengikuti suara itu—suara yang terasa familiar dan menarik, seolah-olah dia telah mendengarnya sebelumnya di masa lalu yang jauh.
Tiba-tiba, dia melihatnya: kuil angker yang telah dia lihat pada siang hari, berdiri sendirian di tengah hutan yang sunyi. Dinding kuil yang lapuk dan dipenuhi lumut terlihat semakin menakutkan di malam hari, dan pintu kuil yang terbuka sedikit seolah-olah menanti dia untuk memasuki.
Dia melangkah lebih jauh, mendekati area kuil yang dia tahu dilindungi oleh pelindung magis Kim Min-seok. Hanya beberapa langkah lagi, dan dia akan memasuki area yang dilarang.
Pada saat itu, seseorang menepuk pundaknya dengan lembut tapi tegas.
Sung-ah terkejut sepenuhnya, memutar kepala dengan cepat. Dia melihat Kim Min-seok berdiri di belakangnya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran dan keheranan. Dia mengenakan baju hangat, dan matanya terlihat peka dan waspada di cahaya bulan.
"Sung-ah! Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Min-seok dengan suara yang tenang tapi tegas, matanya menatap dia dengan tatapan yang mendalam.
Sung-ah berdiri seperti beku, tidak bisa berbicara. Dia melihat sekeliling, menyadari bahwa dia tidak tahu di mana dia berada atau bagaimana dia sampai ke sini.
Semua yang dia ingat adalah bahwa dia terbangun karena suara yang memanggilnya, dan kemudian dia mulai berjalan—tanpa tahu ke mana.
"Aku... aku juga tidak tahu, Dosen Kim," katanya dengan suara yang serak dan lemah, mata dia penuh dengan kebingungan. "Aku terbangun karena ada suara yang memanggil namaku. Aku mengikuti suara itu, dan tiba-tiba aku sudah di sini. Aku tidak tahu mengapa aku berada di sini—aku tahu kuil ini dilarang dijangkau."
Min-seok menghela nafas panjang, wajahnya mulai rileks sedikit ketika dia melihat kesedihan dan kebingungan di wajah Sung-ah.
Dia merasakan energi jahat yang lemah di sekitar kuil—energi yang mirip dengan yang dia rasakan beberapa minggu yang lalu di kampus.
Tapi dia tidak tahu dari mana energi itu berasal. Dia pikir mungkin segel Imugi di dalam kuil sedikit lemah, atau mungkin ada makhluk kecil lain yang berani melanggar pelindungnya.
Dia tidak menyadari bahwa energi itu berasal dari seekor ular kecil yang menyembunyikan sebagian jiwa Imugi—ular yang telah menunggu berabad-abad dan telah menemukan reinkarnasi Song Hye-yoon.
"Jangan khawatir, Park Sung-ah. Ini bukan salahmu," ucap Min-seok dengan suara yang lebih lemah dan menenangkan.
Dia melihat ke arah kuil, matanya berubah menjadi warna emas yang lemah sejenak—mencoba mencari sumber energi jahat itu, tapi tidak menemukan apa-apa.
Energi itu sudah mulai mereda, seolah-olah sesuatu telah menyadari kehadirannya dan menyembunyikan diri. "Kamu harus kembali ke area kemah sekarang. Malam ini tidak aman di hutan. Aku akan mengantar kamu pulang."
Sung-ah mengangguk perlahan, rasa lega menyelimuti dirinya. Dia merasa senang melihat Min-seok di sini—dia tidak tahu mengapa, tapi kehadirannya membuatnya merasa aman.
Min-seok berjalan di sebelahnya, membimbing dia melalui jalur hutan yang gelap dan licin. Mereka berdiam diri sepenuhnya selama perjalanan, masing-masing memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi.
Ketika mereka tiba kembali ke area kemah, semua orang masih tertidur. Min-seok membimbing Sung-ah ke tenda dia bersama In-a, membuka pintu tenda dengan hati-hati. "Masuklah, Park Sung-ah. Tidurlah dengan nyenyak. Besok pagi kita akan bicara lagi," ucap dia dengan suara yang lemah.
Sung-ah mengangguk, lalu melihat Min-seok dengan mata yang penuh terima kasih. "Terima kasih, Dosen Kim. Terima kasih sudah menyelamatkanku."
Min-seok tersenyum lemah. "Tidak apa-apa. Itu tugasku untuk melindungi mahasiswaku. Sekarang tidurlah ya."
Sung-ah memasuki tenda, dan Min-seok menutup pintu dengan hati-hati. Dia berdiri di depan tenda selama beberapa menit, memastikan bahwa Sung-ah telah tertidur.
Kemudian, dia berjalan ke arah hutan lagi, matanya penuh dengan waspada. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sekitar kuil—energi jahat yang lemah itu membuatnya khawatir. Dia pikir dia perlu memeriksa segel Imugi di dalam kuil besok pagi, untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Tapi dia tidak tahu bahwa sumber energi itu bukanlah segel yang lemah—melainkan seekor ular kecil yang telah memastikan bahwa Park Sung-ah adalah reinkarnasi Song Hye-yoon, dan yang akan melakukan apa pun untuk membawanya ke kuil.
Malam semakin larut, dan bulan semakin tinggi di langit. Di dalam tenda, Sung-ah tertidur dengan nyenyak, merasa aman karena kehadiran Min-seok.
Di hutan yang gelap, ular yang menyembunyikan jiwa Imugi memandang ke arah area kemah, matanya yang merah menyala dengan kemarahan. Dia hampir berhasil membawanya ke kuil. Tapi dia tidak akan menyerah—besok, atau hari lain, dia akan mencoba lagi.
Dan yang terbaik adalah, Kim Min-seok belum tahu tentang keberadaannya. Ini memberi dia keuntungan untuk melaksanakan rencananya tanpa terganggu. Karena dia tahu bahwa Park Sung-ah adalah satu-satunya harapan Imugi untuk keluar dari segel. Dan dia akan melakukan apa pun untuk mewujudkannya.