"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Manis Suami
Lyara mengetuk ke pintu kelas Keisya, membuat guru yang sedang mengajar sontak menoleh. Perempuan itu tersenyum lembut dan berjalan menghampiri. Sementara Keisya, tubuh mungilnya justru menegang. Ia menggenggam tangan mamanya erat-erat, seolah mencari perlindungan.
“Maaf, Bu. Putri saya terlambat. Soalnya Papanya tadi mules dulu, maaf ya, Bu,” ucap Lyara dengan wajah tanpa dosa.
Theodore yang berdiri di belakangnya langsung mel0t0t, jelas tidak terima dirinya dijadikan alasan.
Guru itu hanya tersenyum canggung, “O-oh, begitu. Baik, Ibu Elvera. Ayo Keisya, silakan masuk,” ucapnya lembut.
Dengan langkah ragu, Keisya melepaskan genggaman tangannya dan berjalan menuju bangkunya.
Lyara melambaikan tangan penuh kasih, meski tahu sang putri takkan membalasnya. Ada rasa hangat di d4da wanita itu, campuran antara lega dan sedih.
Begitu keluar dari kelas, Lyara menghela napas panjang. “Kamu ke rumah sakit aja, aku mau naik taksi,” ujarnya pada Theodore. Ia berbalik, berniat melangkah pergi, tapi tangan Theodore lebih cepat menariknya. Ia menyeret wanita itu ke arah parkiran tanpa memberi kesempatan bicara.
“Heeei, Theo!” pekik Lyara kesal.
Namun Theodore mengabaikannya. Ia membuka pintu mobil dan memasukkan istrinya dengan lembut tapi tegas, lalu duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin.
“Tolong! Siapapun! Aku diculik om oooom!!” teriak Lyara, separuh panik, separuh drama.
“Jangan bercanda, El. Cepat pakai sabuk pengamanmu,” desis Theodore dengan nada setengah jengkel.
Lyara mengerucutkan bibir, tapi akhirnya menuruti. Matanya menatap lurus ke depan, diam-diam memperhatikan suaminya. Ternyata Theodore mengantarnya pulang. Tidak dibiarkan pergi sendiri seperti permintaannya. Mungkin ... pria itu tidak sepenuhnya percaya padanya.
Namun di balik sikap dinginnya, Theodore tengah bergulat dengan pikirannya sendiri.
“Tak akan kubiarkan kamu bertemu dengan dia, El,” batinnya, rahangnya mengeras.
Sesampainya di rumah, Lyara langsung turun. Theodore tak mengucap sepatah kata pun. Mobilnya segera melaju pergi, meninggalkan Lyara yang berdiri terpaku di depan gerbang, kebingungan.
“Udah gitu aja? Gak ada kata-kata ‘sayang aku kerja dulu, ya’? ‘Istirahat di rumah, ya’? Apa-apaan dia? Mana ada laki begitu?” gerutunya dengan wajah manyun.
Padahal rencananya, setelah antar Keisya, dia ingin mampir berbelanja. Tapi gagal total. Begitu masuk rumah, ia disambut Bi Nina yang tersenyum ramah.
“Nyonya,” sapa Bi Nina sopan.
“Eira mana, Bi? Kok gak kelihatan?” tanya Lyara sambil menoleh ke sekeliling.
“Biasa, Nya. Apalagi kalau bukan konser sama ikan-ikannya di belakang,” jawab Bi Nina terkekeh.
“Konser?” dahi Lyara berkerut. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari ke halaman belakang.
Dan di sanalah, pemandangan paling absurd namun menggemaskan itu muncul di depan matanya. Eira berdiri di atas kursi kecil, memegang mikrofon mainan, bernyanyi dengan sepenuh hati di depan kolam ikan yang menjadi penontonnya.
“AYO MANA CUALANYAAAA! CATU DUA TIGAAA!!”
Suara mungil itu bergema. “Papaku cuka kentuuut, tiada hali tanpa bunyi dut dut dut~
Goyang dombleeet! Kadang cenyaaap bikin pingcaaan~
Kadang belbunyi bikin kucing belaliaaaan~ Aciiik go—”
Eira tiba-tiba berhenti. Matanya membulat saat melihat sang mama berdiri di sana, menatapnya dengan mulut menganga lebar.
“Mama ...,” cicitnya kecil.
Lyara terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. “Hahaha! Astaga, sayang, itu lagu dari mana sih?” tanyanya sambil menghampiri dan mengangkat Eira ke pelukannya.
“Dali ponceeel Bi Nina tidul, secloool coba Mama!” jawab Eira semangat sambil mengangkat mic-nya ke arah sang mama.
“Ih manisnyaaa,” Lyara menc1um hidung mungil putrinya sambil tertawa.
“Ayo kita belajar, yuk?” katanya lembut.
“Belajal cali pacal?” tanya Eira polos.
“Haha, nanti Papamu bisa marah, Ei,” jawabnya sambil tersenyum geli.
.
.
.
.
Siang Hari, Theodore hari itu tidak sesibuk biasanya. Ia sempat bersantai sejenak sebelum kembali bekerja. Namun rasa lapar tiba-tiba menyergap. Ia memutuskan keluar mencari makan siang.
Karena Lyara baru sembuh, ia memaklumi kalau wanita itu tak sempat menyiapkan bekal seperti waktu itu.
Namun sepanjang jalan rumah sakit, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapan para perawat dan dokter lain seperti menyimpan sesuatu. Mereka berbisik setiap kali ia lewat.
Akhirnya, Theodore menghampiri salah satu perawat. “Kenapa dari tadi kalian menatap saya seperti itu? Ada yang salah?” tanyanya datar tapi menekan.
Perawat itu saling pandang dengan temannya, lalu menjawab ragu, “Maaf, Dok … tapi … Dokter sama Dokter Zeya itu … punya hubungan?”
Darah Theodore seakan berhenti mengalir. “Hubungan?” ulangnya pelan.
Perawat itu menelan ludahnya sendiri. “Soalnya … kemarin mertua Dokter datang ke sini dan marah-marah ke Dokter Zeya. Katanya … Dokter Zeya itu ‘gatal’, kayak landak.”
Wajah Theodore memucat. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kepalanya penuh pertanyaan—Mami datang ke rumah sakit? Marah ke Zeya? Di depan orang-orang?
Ada rasa takut menyusup ke d4danya. Ia memutuskan untuk segera pulang.
Begitu sampai di rumah, Theodore langsung mencari istrinya. Suara langkahnya terdengar terburu-buru di setiap lantai. Tapi kamar mereka kosong.
“Kemana dia?” gumamnya gelisah.
Saat berbalik, ia terkejut mendapati Lyara sudah berdiri di depan pintu, menyandarkan tubuhnya santai.
“Tumben Om pulang sekarang?” tanyanya dengan kepala sedikit dimiringkan.
“Mami kemarin ke sini?” tanya Theodore cepat.
“Iya, kenapa?” jawab Lyara dengan ekspresi bingung.
“Apa aja yang Mami katakan? Apa Mami … meminta kamu menceraikanku?” suaranya menurun, tapi matanya penuh kecemasan.
“Bukan apa-apa. Cuma obrolan antar ibu dan anak,” jawab Lyara santai. “Enggak ada bahas cerai, kan kita udah sepakat.”
Tanpa peringatan, Theodore menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Dagu pria itu bertumpu di atas kepala istrinya. Pelukannya kuat, penuh perasaan takut kehilangan.
Lyara sempat kaget, d4danya terasa sesak, tapi juga dia merasa nyaman.
“Jantung oh jantung, kenapa kamu berj0get ria,” batinnya dengan pipi memerah.
Perlahan, Theodore melepaskan pelukan mereka, meraih wajah Elvera dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya merangkul lembut pinggang istrinya itu.
Tatapan mereka bertemu lama, dalam, seolah waktu berhenti di antara keduanya. “Kita coba luruskan semuanya, El. Aku sudah menghindari Zeya. Aku bahkan menghapus nomornya yang terus-terusan menghubungi,” katanya serius.
Lyara mengedip pelan. “Aku enggak nanya,” jawabnya polos.
Theodore langsung kehilangan momen romantisnya. Tubuhnya menegang, separuh kesal, separuh tidak percaya.
“Mami datang ke rumah sakit kemarin. Dia marah-marah ke Zeya, dan sekarang seluruh staf membicarakannya. Tapi tahu gak? Saat aku dengar itu, hal pertama yang aku takutkan bukan soal reputasiku. Aku takut Mami memintamu berpisah dariku. Karena sejak awal … dia gak pernah setuju dengan pernikahan kita,” ucap Theodore dengan suara pelan tapi sarat rasa.
Lyara menatap mata suaminya lama, kemudian berkata lembut, “Kamu terpaksa meninggalkan Zeya demi menikahiku. Sekarang … gimana kabar perasaanmu yang dulu?”
Waktu seakan berhenti. Theodore menatapnya dalam, lalu menunduk pelan, mendekat, dan menc1um bibirnya lembut tapi dalam, penuh perasaan yang tak lagi bisa disembunyikan.
Lyara terdiam, syok. Tubuhnya menegang kaku, dan yang hanya ia dengar suara detak jam di dinding terdengar begitu jelas di antara keheningan. Saat Theodore melepaskan dirinya, ia berbisik pelan.
“Apa itu cukup membuktikan … kalau aku mencintaimu, El?”
Lyara menatapnya, pipinya memerah. “Boleh lagi gak, Om?” tanyanya polos.
Theodore terpaku, sementara Lyara terkekeh nakal. “Rawwwrr~” bisiknya menggoda.
__________________________
Triple dulu yah, kalau ada salah tandain aja kawan. Mataku udah berat banget😆