Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Wajah yang semula memancarkan senyum bahagia, kini mendadak tegang menahan emosi.
"Pah, apa Papah tega melihat Rama menjalani hidupnya tertekan sampai selamanya? Rama itu hanya mencintai Mawar sejak dulu! Dan, Papah juga tahu 'kan seberapa lama kisah cinta mereka? Ini Papah kenapa sih, kok malah jadi dukung si Babu itu-"
"DIAM! JANGAN PERNAH PANGGIL MENANTU SAYA DENGAN SEBUTAN HINA ITU, ANITA!" Bentak Tuan Ibrahim.
Bu Anita terkejut, hingga reflek menjauhkan gawai dari telinganya.
Tut!
Panggilan terputus sepihak oleh Tuan Ibrahim.
Emosi pria tua itu masih menganga, bagaikan kobaran api di kedua pelupuk matanya. Ia paling tidak suka, jika meihat Ayana di hina ataupun di pojokan seperti itu.
Tuan Ibrahim duduk sejenak, sambil mengontrol kembali emosinya.
Dari arah pintu kamar, seorang pria dewasa berdiri sambil menggelengkan kepala lemah menatap kearah Tuan Ibrahim.
Selanjutnya, pria berusia 35 tahun itu berjalan kearah dapur untuk mengambilkan segelas air hangat untuk sang empunya.
"Wanita itu rupanya masih berambisi terlalu besar. Tapi tak apa! Biarkan dia bersenang-senang lebih dulu." Pria itu tersenyum penuh arti, membatin sosok wanita setengah baya yang tak lain adalah-Bu Anita.
Setelah itu, Pria tadi mengantarkan air hangat tadi kepada Tuan Ibrahim.
****
Sementara di kediaman Jayantaka, Bu Anita bergeming dengan sorot mata terbuka lebar.
Di heningnya malam yang tercipta, ucapan suaminya masih terus berputar tanpa arah.
Kalimat itu berhasil menampar wajahnya, menusuk jauh di relung batinnya. Namun bukanya ia merasa sesak. Ambisinya semakin tertantang. Bu Anita merasa, tiada seorangpun yang mau menyokong di belakangnya.
"Pernikahan Rama dan Mawar harus tetap terjadi!" suara Bu Anita bergetar memecah malam.
Kalimat yang terlontar bukan hanya sebuah keinginan biasa. Melainkan hawa nafsu yang mendorong pikirannya, agar rencananya dapat berjalan dengan mutlak.
"Mamah masih belum tidur?" Rama berdiam di ambang pintu, menatap ragu kearah Ibunya berdiri.
Bu Anita menoleh. Senyumnya terpaksa melekuk bak bulan sabit. Namun tetap saja sorot matanya tidak sekuat detik lalu.
"Mamah baru saja ngobrol sama Papah, Ram! Kamu juga ngapain belum tidur?"
"Gerah, cari angin saja!" kata Rama berjalan keluar.
Bu Anita langsung duduk di kursi kayu sisi tembok. Lalu berkata, "Duduklah! Ada yang ingin Mamah bicarakan."
Rama menatap Ibunya sekilas. Wajahnya masih tenang, namun batinnya seolah sudah dapat menebak.
"Ada apa, Mah?"
"Mamah berencana, bagaimana kalau lamaran kalian sekalian saja sama akad?! Nanti resepsinya menyusul, tunggu Papah pulang!"
Deg!
Rama diam terpaku. Dan mendadak suasana malam itu terasa senyap.
Hati serta pikirannya saling bertolak belakang. Kalimat dari Ibunya itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan tuntutan yang terkemas rapi.
"Mamah tidak ingin melihat kamu berpacaran lebih lama lagi, Rama! Dan setelah itu, kamu dapat menceraikan Ayana, dan hidup bahagia dengan Mawar! Mamah juga tidak ingin... Jika Mawar tahu, kalau kamu sebenarnya sudah menikah dan punya anak."
Rama semakin meratap. Bibirnya terkatup, pandangannya jauh kedepan, hingga bayangan tangisan Zeva serta aduan kesusahan Ayana terus berputar bak kaset yang rusak.
Jikapun ia harus melepaskan Ayana, apakah ia akan masih tetap sama mencintai Mawar seperti dulu? Rasanya, perasaan itu semakin lama semakin terkikis.
"Rama? Kamu denger 'kan, Mamah bilang apa tadi?"
Rama masih menatap lurus kedepan. Namun kalimatnya terasa pecah, dan tak bernyali, "Mah, aku masih butuh waktu untuk benar-benar mampu bertanggung jawab pada kedua istriku nanti."
Kedua mata Bu Anita terbuka lebar. Kalimat 'Istri' dari Rama barusan membuat dadanya bergemuruh kuat, merasa tidak terima jika Ayana di anggap istri oleh putranya.
"Istri? Kamu menganggap Babu itu sebagai Istri, Rama?!" Suara Bu Anita sudah meledak.
Rama spontan menolah kaku. "Mah... memiliki satu Istri saja Rama masih belum sanggup bertanggung jawab sepenuhnya. Dan lagi... Ini harus menikahi Mawar juga?! Rama nggak yakin akan bersikap adil kepada mereka-"
"AYANA BUKAN ISTRIMU, RAMA!" Bu Anita bangkit, berteriak memotong kalimat putranya.
Rama tertunduk meraup wajahnya. Ia semakin frustasi, kalut dengan perasaannya sendiri. Tak lama itu Rama bangkit. Suaranya melemah, "Tapi aku sudah sah menikahinya, Mah! Dan lagi... Diantara kita juga sudah ada Zeva! Bocah kecil itu adalah putraku!"
Sorot mata Bu Anita bagaikan kobaran api. Ia tak menyangka, jika jawaban putranya sama persis dengan cara penolakan suaminya-Tuan Ibrahim.
"Sejak kapan kamu menganggap putra Ayana sebagai putramu? SEJAK KAPAN, RAMA?!" Suara Bu Anita meninggi, menggema terbawa lirihnya angin.
Rama mencengkram kuat rambut kepalanya. Ia juga tak menyangka akan bersimpati semudah itu kepada keluarga kecil Ayana. Namun, kenyataan itu mutlak dari relung hatinya yang terdalam.
"Sudahlah, Mah! Masalah pernikahan akan aku bicarakan sendiri sama Mawar! Lagian, jika aku menikahi Mawar, belum tentu dia dapat memberikanku seorang putra seperti Ayana! Dan lagi... Aku takut jika perasaanku tidak lagi sama untuknya."
Setelah mengatakan itu Rama langsung melenggang masuk begitu saja.
Bu Anita semakin menggeram. Wajahnya sudah memerah madam.
"Rama... Mamah belum selesai bicara!" teriakan itu menggantung di udara, sebab Rama tak lagi menghiraukan.
'Kurang ajar! Jika Rama tidak mau melepaskan si Babu sialan itu. Maka aku yang akan memaksa Ayana untuk bercerai dari Rama!'
Bu Anita tersenyum penuh arti.
*
*
Sementara di dalam kamarnya,
Rama menjatuhkan tubuhnya diatas kasur empuk itu. Disaat ia membersihkan wajah Ayana tadi, dan dimana semua perasaan itu mengumpul menjadi satu, Rama tak dapat mengartikan apakah itu CINTA, atau hanya sekedar tanggung jawab semu.
Lalu detik kemudian ia tersadar. Wajahnya mendadak serius, cemas, sedikit menghawatirkan keadaan.
Rama bangkit, berjalan mondar mandir sambil mengingat pertemuan Ayana dengan pria di Resto waktu lalu.
"Apa Ayana diam-diam menjalin hubungan dengan pria lain? Jika iya... Berarti dia sudah menghianati rumah tangga ini?!" gumam Rama menahan emosinya. "Aku harus mencari tahu, siapa pria itu!"
Reflek, Rama mendengar ada seseorang membuka pintu dari arah Paviliun. Sebab posisi kamarnya berada di sebrang pintu samping Paviliun, jadi Rama langsung saja berjalan kearah pintu balkon, mengecek, siapa malam-malam yang keluar.
Rupanya Ayana.
Ibu muda cantik itu, ia duduk di teras samping, menatap laptop dengan beberapa peralatan untuk mendesain busananya.
Ceklek!
Ayana reflek mendongakan wajahnya.
Rama berjalan keluar, meregangkan ototnya seolah ia tidak melihat keberadaan istrinya itu.
Greeek!
Ayana menatap malas. Ia menyeret kursi serat mejanya, agar tidak berhadapan langsung dengan posisi tempat Rama.
Rama menatap tidak percaya. Ia menelan kasar ludahnya, entah mengapa wajahnya merasa kesal di acuhkan seperti itu.
Mata runcing Rama menatap kearah laptop kecil itu. Tetiba saja hatinya berisik, sebab ia tak pernah merasa membelikan Istrinya laptop.
"Sejak kapan Ayana mempunyai Laptop? Atau jangan-jangan, itu laptop yang membelikan pria siang itu?" hati Rama mendadak panas, hingga pandangannya tembus sampai layar laptop tadi.
Ayana perlahan menoleh. Ia memicingkan matanya begitu tajam.
Melihat itu, Rama langsung membuang wajahnya. Ia bersiul, mencoba menghindar tatap dengan istrinya.
'Mas Rama ngapain coba malam-malam nggak tidur, malah bersiul nggak jelas kek gitu?!' batin Ayana sambil menggelengkan kepalanya.
Setelah itu ia mengambil earphone untuk menutupi kedua telinganya.
Rama kembali menatap depan. Hatinya kini mendadak terdorong, ingin sekali tahu bagaimana keadaan Zeva setelah diantarkannya berobat tadi pagi.
Namun bukan Rama namanya, sebab gengsi serta egonya itu terlalu tinggi.
Drttt!
Fokus Ayana teralihkan pada gawai di depannya saat ini. Nomor tanpa nama terpampang jelas dalam layar gawainya, dan hal itu membuat Ayana tampak ragu ingin mengangkat.
Tak lama itu panggilan tadi berakhir.
Ada satu notif pesan masuk, yang di kirim sama dengan nomor tadi.
"Selamat malam, Ayana... Ini saya, Devan. Ini nomor pribadi saya, tolong di simpan ya!"
Tanpa terasa bibir tipis itu melekuk indah.
"Oh... Jadi ini nomornya Dokter Devan?! Kirain nomor siapa. Hehe..." kekeh Ayana.
Kedua mata Rama semakin membola tajam, melihat Ayana tersenyum sendiri menatap layar gawai di tanganya.
Ia yang sudah tak tahan, langsung saja turun melalui tangga darurat di balkonnya. Rama berjalan tenang, bersedekap dada, namun ekor matanya seakan mengawasi gerak gerik sang Istri.
Sementara Ayana, ia semakin tak nyaman dengan kehadiran Rama saat ini. Tanpa ingin menyapa, ia langsung merapikan barang-barangnya dan sontak saja bangkit masuk kedalam.
Rama hanya mampu menelan ludah kasar.
Brak!
Ayana menutup pintu itu agak kuat, hingga membuat Rama semakin menganga menatapnya.
"Ngapain sih, ganggu orang aja!" geram Aya semabari menutup tirai gordennya. Padahal, Ayana sudah membuat momen indah, ingin mendesain sambil menatap luasnya langit malam.
Bukannya kenyamanan yang ia dapat. Namun lagi-lagi tekanan dari sosok yang tak lain suaminya.
****
Malam telah berganti pagi.
Setelah tadi malam berkonsultasi dengan Dokter Devan mengenai kaki Zeva, pagi ini Ayana berencana mengajak putranya ke taman komplek, untuk mengajari Zeva berjalan kembali.
"Zeva sudah siap?"
Zeva mengangguk, "Sudah, Ibu!"
"Ya sudah, ayo Ibu bantu naik sepedanya. Nanti jangan di ayun dulu ya, Sayang! Biat Ibu dorong saja."
Ayana menuntun putranya berjalan ke depan dengan pelan, dan langsung menaikan Zeva pada sepeda roda 3 milik bocah kecil itu.
Setelah menutup pintu, pukul 06.20 Ayana langsung berjalan keluar sambil mendorong sepeda milik Zeva.
Akan tetapi, disaat Aya sudah akan tiba dekat gerbang, tetiba ada suara seseorang yang memekak gendang telinganya.
"Hah! Bukannya bersih-bersih, malah sok-sokan mau pergi olahraga segala." Cibir Bu Anita dari belakang.
Ayana tak bergeming, ia reflek menolah menampakan wajah malasnya.