NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak yang Tidak Sengaja Terlihat

Sore itu, Jono berhenti di depan rumah Pak Wiryo.

Ia sebenarnya hanya ingin mengembalikan sabit yang dipinjam kemarin. Tapi langkahnya terhenti ketika suara televisi terdengar dari dalam rumah.

“…hingga kini keluarga masih berharap adanya kabar…”

Jono berdiri di ambang pintu, ragu untuk masuk. Matanya tertuju ke layar televisi yang menyala redup. Wajah sepasang orang tua muncul—terlihat rapi, jelas bukan warga desa.

“Orang kota lagi,” gumamnya pelan.

Namun ketika gambar berganti, Jono tanpa sadar mendekat selangkah.

Seorang lelaki muncul di layar—bukan dalam kondisi sekarang, melainkan foto lama. Berjas. Rambut tersisir rapi. Tatapannya tajam dan penuh wibawa.

Jono mengernyit.

Ada sesuatu yang mengganggunya.

Bukan karena wajah itu asing, melainkan karena terlalu bertolak belakang dengan lelaki yang sering ia lihat bersama Lia—yang memakai kaus lusuh, membantu di sawah, dan jarang bicara banyak.

“ Jono?” suara Lia terdengar dari dapur.

Jono tersentak. Cepat-cepat ia berpaling dari televisi.

“Iya,” jawabnya. “Aku mau balikin ini.”

Lia menerima sabit itu. “Terima kasih.”

Pandangan Jono beralih ke arah kamar. Dari sana, Wijaya keluar, wajahnya sedikit pucat.

Mata Jono menyipit.

Sekilas, bayangan di layar tadi kembali terlintas di benaknya.

Tidak mungkin, pikirnya.

Terlalu jauh.

Tapi sejak sore itu, ada sesuatu yang berubah.

Saat Lia berbicara pada Wijaya dengan nada lembut, dada Jono terasa panas. Bukan hanya cemburu—melainkan rasa tidak suka yang tidak bisa ia jelaskan.

“Berita orang hilang,” ucap Jono tiba-tiba, seolah mencoba memancing reaksi.

Wijaya menoleh. “Oh.”

“Hilang di kota,” lanjut Jono. “Orang penting katanya.”

Wijaya hanya mengangguk. “Semoga cepat ketemu.” Jawaban itu terdengar biasa. Terlalu biasa.

Jono menatap Wijaya lama, lalu mengalihkan pandangannya ke Lia.

Sejak saat itu, satu pikiran kecil tumbuh di benaknya—

Kalau memang dia orang luar…

mungkin dia tidak seharusnya di sini.

Dan tanpa disadari siapa pun,

kecemburuan Jono mulai bercampur dengan kecurigaan—

jenis perasaan yang diam-diam bisa mendorong seseorang melakukan hal yang tidak pernah ia rencanakan.

.

.

.

Kabut tipis masih menggantung di atas pematang sawah ketika Lia melangkah keluar rumah membawa ember. Bau tanah basah bercampur dengan aroma rumput yang baru dipotong. Dari kejauhan, suara ayam dan mesin pompa air bersahut-sahutan, menandai hari yang kembali berjalan normal—setidaknya di permukaan.

Namun bagi Lia, pagi itu terasa berbeda.

Sejak tayangan televisi kemarin sore, dadanya sering terasa tidak nyaman. Bukan takut yang jelas, lebih seperti perasaan terganggu oleh sesuatu yang belum punya nama.

“Lia.”

Ia menoleh. Wijaya berdiri di teras, membawa cangkul. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya.

“Kepalamu masih sakit?” tanya Lia.

Wijaya mengangguk samar. “Sedikit. Tapi nanti juga hilang.”

Lia ingin berkata sesuatu, tapi memilih diam. Ia tahu, setiap kali Wijaya merasa pusing, ada jarak aneh di matanya—seperti sedang menatap sesuatu yang jauh, tapi tidak bisa dijangkau.

Mereka berjalan bersama menuju sawah kecil di belakang rumah.

Di sisi lain desa, seorang pria asing duduk di warung kopi Pak Rono.

Namanya tercatat sebagai Natan, pendatang yang katanya sedang mencari pekerjaan. Pakaiannya sederhana—kemeja polos, celana gelap, dan sandal jepit. Tidak ada yang mencurigakan, kecuali caranya memperhatikan sekitar.

“Baru datang?” tanya Pak Rono sambil menuang kopi.

“Iya,” jawab Natan singkat. “Desanya tenang.”

“Tenang, tapi orangnya banyak tahu,” balas Pak Rono sambil tersenyum.

Natan tersenyum tipis. “Justru itu.”

Matanya bergerak ke arah jalan kecil yang menuju rumah Lia. Ia mencatat arah itu dalam benaknya.

Di sawah, Wijaya bekerja lebih keras dari biasanya.

Gerakannya rapi, efisien. Cara ia mengatur napas, mengayunkan cangkul, bahkan cara ia berhenti tepat sebelum lelah—semuanya terasa terlatih.

Beberapa petani memperhatikan.

“Dia cepat belajar,” bisik salah satu dari mereka.

“Iya,” sahut yang lain. “Kayak sudah biasa.”

Wijaya tidak mendengar. Atau mungkin tidak ingin mendengar.

Tiba-tiba kepalanya kembali berdenyut. Tangannya melemah, cangkul hampir terlepas.

“Mas Wijaya!” Lia berlari menghampiri.

Wijaya menahan tubuhnya, menarik napas panjang. “Aku tidak apa-apa.”

Tapi saat ia berdiri, pandangannya mengabur.

Sekilas, bayangan muncul—jalanan ramai, suara klakson, kilatan cahaya, lalu benturan keras. Jantungnya berdegup kencang.

“Ayo pulang,” kata Lia tegas. “Sekarang.”

Wijaya tidak membantah.

Di jalan pulang, mereka berpapasan dengan Jono.

Jono berdiri di pinggir jalan, membawa karung padi. Tatapannya langsung tertuju pada Wijaya—bukan lagi tatapan biasa, melainkan penuh selidik.

“Kamu kelihatan pucat,” kata Jono. “Kurang cocok kerja sawah, ya?”

Wijaya menatapnya singkat. “Aku belajar.”

“Belajar cepat,” sahut Jono, setengah tersenyum. “Atau… memang sudah biasa?”

Lia menatap Jono tajam. “Maksudmu apa, Jono?”

Jono mengangkat bahu. “Tidak apa-apa. Cuma bilang.”

Namun matanya kembali menatap Wijaya, lama, seolah mencoba mencocokkan sesuatu di kepalanya.

Bayangan wajah di televisi kemarin kembali terlintas.

Tidak mungkin, pikirnya lagi.

Tapi kenapa rasanya mengganggu?

Sore itu, hujan turun tiba-tiba.

Lia menutup jendela, sementara Wijaya duduk di ruang tamu, memijat pelipisnya. Televisi menyala, tapi volumenya kecil.

Berita lokal berganti acara nasional.

Lia hampir saja mematikannya ketika suara pembawa acara terdengar:

“…pencarian masih terus dilakukan…”

Wijaya mengangkat kepala.

Lia membeku.

Gambar di layar menampilkan lokasi jalan raya—basah, ramai, penuh garis polisi. Tidak ada wajah, hanya potongan-potongan kejadian.

Wijaya berdiri tanpa sadar, melangkah mendekat.

“Matikan,” kata Lia cepat.

Surti yang sedang melipat pakaian menoleh. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa, Bu. Ganggu kepala mas Wijaya.”

Surti mengangguk dan mematikan televisi.

Wijaya masih berdiri, napasnya sedikit memburu.

“Kamu ingat sesuatu?” tanya Lia pelan.

Wijaya menggeleng, tapi tangannya gemetar. “Aku merasa… pernah berada di tempat itu.”

Lia menggenggam tangannya. “Kamu di sini sekarang.”

Kalimat itu menenangkan, tapi tidak sepenuhnya menghapus kegelisahan.

Di luar rumah, hujan semakin deras.

Seseorang berdiri di bawah payung hitam, tidak jauh dari pagar.

Natan.

Ia menatap rumah itu dari balik hujan, memastikan satu hal: lelaki yang ada di dalam sana memang orang yang ia cari.

Cara berdirinya. Postur bahunya. Refleks tubuhnya saat mendekati layar televisi. Natan menarik napas dalam-dalam.

Mas Krisna…

Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ada perempuan di sisinya. Ada rumah. Ada kehidupan yang tidak ada dalam data perusahaan.

Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak tersimpan:

“Sudah ada kabar?”

Natan mengetik singkat, “Belum. Tapi aku sudah menemukannya.”

Ia menatap rumah Lia sekali lagi, lalu berbalik pergi.

Malam turun membawa sunyi.

Lia mengintip Wijaya tidur, mendengarkan napasnya yang mulai teratur. Ia ingin menyentuh dadanya pelan, memastikan lelaki itu benar-benar tenang.

Namun di dalam dirinya, ada firasat yang terus mengganggu.

Desa ini tak lagi sepenuhnya aman.

Bukan karena orang asing semata, melainkan karena masa lalu mulai menemukan jalannya kembali.

Dan tanpa Lia sadari, beberapa pasang mata kini mengarah ke rumah kecil itu, masing-masing dengan niat yang berbeda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!