Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
siapa yang ditemui Anna?
Setelah mengantar Bian ke sekolah SMP-nya, aku memutar balik menuju SD Ayyan. Bocah kecil itu sudah tak sabar sejak tadi, terus mengoceh soal teman-temannya dan robot astronot di tasnya.
“Om, nanti jemput jam satu ya! Jangan telat!” pesannya riang sambil turun dari mobil.
“Iya, Nak. Om janji,” jawabku sambil melambaikan tangan.
Ayyan berlari masuk ke gerbang sekolah tanpa menoleh lagi. Aku menghela napas lega.
Sekarang… tinggal menunggu sampai jam satu.
Tapi empat jam di Kota Palu ini mau kugunakan untuk apa?
Pandanganku tak sengaja teringat pada Ford Everest hitam mengilap milik almarhum pamanku—mobil kesayangan Anna. Pagi ini Anna bilang mau keluar. Dan semalam… ia pulang larut.
Kenapa selalu begitu, An?
Rasa penasaran yang sejak kemarin kutahan akhirnya menang.
Aku memutuskan berkeliling sebentar. Memutar kunci kontak, mobil Anna menderu pelan. Aku menyusuri Kota Palu—pantai yang mulai ramai, pasar tradisional yang hiruk pikuk, lalu kembali melambat di sekitar komplek rumah Anna.
Tiba-tiba—
sebuah Ford Everest menyelinap keluar dari komplek perumahan di depan.
Dadaku berdegup.
Itu mobil yang sama.
“Anna…?”
Tanpa pikir panjang, aku memperlambat laju mobil, menjaga jarak aman. Ford Everest itu berbelok ke arah utara, menuju jalan raya utama ke pusat kota.
Aku mengikutinya.
Pelan. Hati-hati. Dua mobil di belakang.
Ke mana kamu mau, An?
Kenapa nggak bilang?
Jalanan Palu pagi itu ramai—anak sekolah, pedagang keliling, kendaraan berseliweran. Aku menurunkan topi lebih rendah, memastikan wajahku tak mudah dikenali dari kaca spion.
Ford Everest terus melaju stabil. Dua puluh menit kemudian, mobil itu berbelok masuk ke sebuah kompleks pertokoan mewah di pinggir kota.
Aku parkir agak jauh, di balik sebuah truk pengangkut barang.
Dari kejauhan, kulihat Anna turun dari mobil.
Ia mengenakan gamis pastel dengan hijab senada, tas selempang hitam menggantung di bahunya. Penampilannya sederhana—tapi langkahnya tegas. Tidak seperti orang yang sekadar “jalan-jalan”.
Anna masuk ke sebuah kafe kopi modern bertingkat dua, berdinding kaca besar.
Bertemu siapa?
Aku turun dari mobil dan berjalan mendekat, berpura-pura memperhatikan etalase toko di sebelah kafe. Dari balik kaca, kulihat Anna duduk di sudut ruangan, menghadap pintu masuk.
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk. Jasnya rapi. Wajahnya serius.
Ia melambai ke arah Anna.
Mereka berjabat tangan.
Pria itu duduk, lalu mengeluarkan sebuah map cokelat tebal dan menyodorkannya ke Anna.
Dadaku berdegup semakin kencang.
Dokumen apa itu?
Pengacara?
Anna membuka map itu. Alisnya mengernyit tipis saat membaca. Wajahnya tegang, tapi ia berusaha tetap tenang. Pria itu berbicara panjang lebar, sesekali menunjuk beberapa halaman.
Anna mengangguk pelan.
Lalu—
Ia mengambil pena.
Dan menandatangani sesuatu.
Napas terasa tercekat.
Dokumen apa itu, Anna?
Apa ada hubungannya dengan Bang Rian?
Pertemuan itu berlangsung sekitar tiga puluh menit. Setelahnya, Anna berdiri. Mereka berjabat tangan sekali lagi. Anna keluar lebih dulu.
Aku buru-buru menyingkir, bersembunyi di balik mobil. Jantungku berdegup keras, napasku tersengal.
Ford Everest kembali menyala dan melaju pergi.
Aku menunggu lima menit penuh sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil.
Sekarang aku yakin.
Ada sesuatu yang disembunyikan Anna.
Dan ini… bukan hal kecil.
Aku melirik jam tangan. Masih ada waktu sebelum menjemput Ayyan.
Tapi firasatku berkata lain.
Lebih baik pulang dulu.
Tanya langsung?
Atau tunggu momen yang tepat?
Mobil kembali melaju, tapi pikiranku sudah kacau.
Anna…
apa yang sebenarnya sedang kamu hadapi?
Ford Everest itu sudah menghilang di tikungan saat aku kembali ke jalan utama. Tanganku mencengkeram setir lebih erat.
Tidak. Aku belum siap pulang.
Ada satu orang yang lebih mudah kudekati daripada Anna—pria berjas rapi yang tadi duduk di hadapannya.
Aku memutar arah, kembali ke kompleks pertokoan. Kafe kopi itu masih ramai. Aku memarkir mobil sembarangan, turun, dan masuk dengan langkah cepat.
Mataku menyapu ruangan.
Kosong.
Aku hampir menyerah saat kulihat seorang pria paruh baya berdiri di dekat kasir, jasnya kini terbuka, sedang berbicara dengan barista. Orang yang sama.
“Pak,” panggilku cepat sebelum ia pergi.
semangat thor