NovelToon NovelToon
The Ceo'S Heart Subtitute

The Ceo'S Heart Subtitute

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Pengganti / CEO / Chicklit
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: flower

--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**

--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 28 Penasaran.

"Jhon, kita ke ruang rapat sekarang. Dan kau, Mark, kembali ke tempat asalmu,” ucap Bryan tegas. Tanpa menunggu jawaban, Bryan langsung melangkah keluar dari ruangannya. Jhon dan Mark saling bertukar pandang sesaat sebelum akhirnya mengikuti perintah masing-masing.

Di dalam ruang rapat, Bryan langsung duduk di kursi miliknya dengan sikap penuh wibawa. Tatapannya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti di satu titik. “Kita langsung mulai rapat hari ini,” tegasnya. Suasana ruangan seketika hening. Tidak ada yang berani menyela, dan rapat pun dimulai dengan serius di bawah kendali Bryan.

Para direktur saling bertukar pandang sesaat sebelum satu per satu membuka berkas di hadapan mereka. Layar besar di ujung ruangan menyala, menampilkan laporan yang sudah dipersiapkan. “Saya ingin laporan divisi internasional” ujar Bryan tanpa basa-basi. “Terutama proyek yang sedang berjalan di Eropa.” Salah satu direktur segera berdiri. “Baik, Tuan. Untuk proyek Eropa—”

“Langsung ke intinya,” potong Bryan tenang, namun tegas. Direktur itu mengangguk cepat dan melanjutkan penjelasannya dengan singkat dan padat. Bryan menyimak tanpa banyak ekspresi, hanya sesekali mengetukkan jari di atas meja, tanda pikirannya bekerja.

“Baik,” ucap Bryan setelah laporan selesai. “Kita percepat target penyelesaiannya. Saya tidak mau ada keterlambatan.” Beberapa orang mengangguk setuju, sementara yang lain mencatat cepat instruksi tersebut. Di balik sikap dinginnya, Bryan sebenarnya tengah berpacu dengan waktu. bukan hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk urusan pribadi yang menuntut perhatiannya malam ini.

Rapat berlanjut cukup lama. Setelah laporan divisi internasional selesai, Bryan mengalihkan perhatiannya ke sisi lain meja. “Divisi keuangan.” panggilnya singkat.

Kepala divisi keuangan segera membuka presentasi. Grafik dan angka memenuhi layar besar. “Untuk kuartal ini, terjadi peningkatan laba bersih sebesar tujuh persen. Namun, biaya operasional juga ikut naik.”

Bryan menyipitkan mata. “Naik karena apa?”

“Distribusi dan logistik, Tuan.”

“Tekan di situ,” ujar Bryan tanpa ragu. “Cari alternatif vendor. Saya ingin efisiensi, bukan alasan.” Beberapa direktur mengangguk, mencatat instruksi itu dengan cepat. Pembahasan kemudian beralih ke divisi pemasaran. “Strategi promosi kita masih terlalu umum,” kata Bryan. “Saya ingin pendekatan yang lebih personal, khususnya untuk klien premium.”

“Kami sudah menyiapkan konsep baru, Tuan,” jawab kepala pemasaran. “Peluncurannya dijadwalkan bulan depan.”

“Percepat” balas Bryan. “Saya ingin melihat hasilnya sebelum akhir bulan.”

Suasana ruang rapat semakin tegang. Setiap pertanyaan Bryan selalu tepat sasaran, membuat siapa pun yang berbicara berpikir dua kali sebelum menjawab. Beberapa saat kemudian, salah satu anggota dewan angkat bicara. “Bagaimana dengan rencana ekspansi ke Paris, Tuan?”

Bryan terdiam sejenak. Jarinya berhenti mengetuk meja. “Tetap berjalan,” katanya akhirnya. “Namun semua detail harus lebih matang. Saya tidak mau ada celah.” Diskusi pun berlanjut, membahas risiko, jadwal, hingga pembagian tanggung jawab. Waktu hampir menunjukkan dua jam ketika Bryan akhirnya melirik jam tangannya.

“Baik,” ucapnya tegas. “Kesimpulan rapat hari ini, percepatan proyek, efisiensi biaya, dan laporan rutin setiap dua hari. Pastikan semua berjalan sesuai arahan saya.” Bryan berdiri, diikuti seluruh peserta rapat. “Saya tidak ingin mendengar masalah. Saya ingin solusi.” Dengan itu, rapat resmi ditutup. Meski melelahkan, tidak satu pun dari mereka meragukan satu hal. di bawah kepemimpinan Bryan, perusahaan ini terus bergerak maju tanpa kompromi.

Bryan berjalan menuju ruang pribadinya, diikuti oleh Jhon di belakangnya. Begitu pintu tertutup, Bryan melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi.

“Jhon, suruh OB antarkan aku minuman.” ucapnya singkat.

“Baik, Tuan.” jawab Jhon segera, lalu berbalik untuk menjalankan perintah. Bryan melangkah ke dekat jendela, menatap pemandangan kota dari ketinggian. Di balik ketenangannya, pikirannya masih berputar. antara urusan perusahaan dan rencana malam yang telah ia siapkan dengan begitu serius.

Ia mengambil ponselnya lalu mengirimkan pesan singkat pada seseorang. *Bagaimana kuliahmu, Mia Cara?* Senyum tipis terukir di wajahnya saat pesan itu terkirim, seolah sejenak melupakan segala beban yang sejak tadi memenuhi pikirannya.

Bunyi pesan masuk membuyarkan lamunan Luna yang tengah memikirkan ide desain terbarunya. Ia segera membuka ponselnya dan mendapati sebuah pesan dari suaminya. Sudut bibirnya terangkat tipis saat membaca pesan itu. Tanpa berpikir lama, Luna membalasnya singkat. *Baik, Mio Caro.*

Setelah mengirim balasan itu, Luna menatap layar ponselnya beberapa detik lebih lama. Ada rasa hangat yang perlahan mengalir di dadanya, cukup untuk membuat pikirannya kembali tenang.

Ia menghela napas pelan, lalu menutup ponselnya dan kembali menatap buku sketsa di hadapannya. Pensil yang sempat terhenti kini bergerak lagi, membentuk garis-garis baru. Inspirasi yang tadi sempat kabur perlahan kembali, seiring senyum kecil yang tak juga pudar dari wajahnya.

Tak lama kemudian, ponsel Luna kembali bergetar, menandakan pesan masuk. *Nanti malam bersiaplah, Mia Cara. Mark akan menjemputmu ke suatu tempat. Asisten Jhon akan mengantarkan sebuah gaun untukmu.*

Luna membaca pesan itu perlahan, alisnya sedikit berkerut. Ia menatap layar ponsel dengan bingung. "Mau ke mana?" batinnya bertanya. Namun sebelum sempat membalas, jantungnya justru berdebar pelan. Ada rasa penasaran yang bercampur dengan antusiasme, membuatnya tak yakin apakah ia harus bertanya sekarang. atau menunggu kejutan yang sudah disiapkan Bryan untuknya.

Namun Luna tidak banyak bertanya. Ia memilih untuk tidak lagi membalas pesan dari suaminya dan kembali memfokuskan diri pada tugasnya. Meski begitu, sesekali pikirannya melayang, membayangkan kejutan apa yang telah disiapkan Bryan untuk malam nanti, sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan pola desainnya.

Bryan menatap layar ponselnya cukup lama. Tidak ada balasan dari Luna. Alisnya mengernyit, rasa kesal perlahan muncul. Selama ini, dialah yang selalu mengakhiri percakapan lebih dulu. tanpa pengecualian. Namun kali ini berbeda. Luna memilih diam, seolah sengaja menarik jarak.

Hal itu mengusik pikirannya. Ada perasaan asing yang sulit ia jelaskan, antara tidak terima dan Ego. Ia menyadari satu hal yang membuatnya semakin terganggu. perempuan yang berani mengakhiri percakapan tanpa izinnya itu adalah orang yang diam-diam telah melunakkan hatinya. Dan untuk pertama kalinya, Bryan merasa kehilangan kendali atas sesuatu yang selama ini selalu berada dalam genggamannya.

*Balas pesanku, Mia Cara.*

"Bryan kembali mengirim pesan itu, jarinya menekan layar dengan sedikit jeda. Ada nada perintah yang tidak ia sembunyikan, meski di baliknya terselip kegelisahan yang enggan ia akui.

*Aku masih di dalam kelas….*

Luna akhirnya membalas. Kalimatnya singkat, seperti alasan kecil agar suaminya tidak marah. Tak lama kemudian, ia mengirim stiker imut, berharap bisa meluluhkan hati Bryan.

Bryan menatap layar ponselnya. Sudut bibirnya terangkat tipis, kesalnya mereda tanpa ia sadari. Hanya Luna yang bisa melakukan hal seperti itu untuk menenangkannya dengan cara sesederhana ini. Ia menghela napas pelan, lalu menunggu kali ini dengan sabar. Bryan mengetik balasan, lalu sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya mengirimnya.

*Jangan lama-lama* tulisnya singkat, tapi nadanya tak setajam tadi. *Fokus belajar. Aku tunggu.*

Luna membaca pesan itu sambil menahan senyum. Ia melirik jam di dinding kelas, lalu kembali menatap ponselnya yang kini ia genggam diam-diam di bawah meja. Hatinya terasa hangat. Bryan memang selalu begitu terkesan mengatur, tapi sebenarnya peduli. Ia hampir membalas lagi, namun suara dosen kembali terdengar tegas di depan kelas. Luna segera menyimpan ponselnya, mencoba berkonsentrasi. Meski begitu, pikirannya sempat melayang. Ia tahu, setelah kelas usai, Bryan pasti akan menagih janjinya.

1
Dwi Winarni Wina
kasian luna diperlukan kayak pembantu sm orgtua angkatnya...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!