Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 18 ] Gazebo untuk Olivia
Mereka akhirnya pulang. Di atas motor trail, sepanjang jalan Olivia masih terisak. Sesekali ia menyeka wajah dengan punggung tangan, namun air matanya terus saja mengalir. Tangannya yang melingkar di perut Maalik digenggam lembut oleh suaminya. Sesekali Maalik mengelusnya, mencoba menyalurkan ketenangan lewat sentuhan kecil itu.
Sesampainya di rumah, Maalik turun lebih dulu, lalu membantu Olivia yang masih lemah. Pandangannya sempat tertuju pada dua motor kebun yang sudah terparkir di depan halaman. Sepertinya para tukang yang ia tunggu telah datang. Namun untuk saat ini, yang lebih penting adalah istrinya.
Maalik menggandeng Olivia masuk ke rumah. Olivia langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah, wajahnya masih merah dengan mata bengkak. Sementara itu, Maalik meletakkan bungkusan ikan nila di baskom dapur, lalu kembali menghampiri istrinya dengan langkah tenang.
Di tangannya ada sebuah salep kecil berwarna putih dan sebotol minyak kayu putih. Minyak itu beraroma hangat, biasa dipakai orang desa untuk mengurangi gatal akibat gigitan serangga. Dengan telaten, Maalik duduk di hadapan istrinya, membuka tutup botol, lalu menuangkan sedikit minyak ke telapak tangannya. Perlahan, ia mengoleskannya ke lengan dan betis Olivia yang penuh bentol. Gerakannya sabar, seolah setiap sentuhan adalah doa agar rasa sakit istrinya berkurang.
Olivia tak bereaksi. Matanya kosong, air matanya masih mengalir. Tangisnya senyap, hanya bahunya yang naik-turun menahan sesak. Maalik paham benar: bila istrinya menangis, biasanya butuh waktu lama sampai reda. Jadi ia tidak memaksa dengan kata-kata. Ia hanya duduk menemani, merawat luka kecil itu dengan sabar, menunggu sampai hati istrinya kembali tenang.
Hampir satu jam berlalu. Tangisan Olivia akhirnya mereda. Nafasnya tersengal, suaranya serak ketika ia membuka mulut untuk pertama kali.
“Gue nggak mau ikut ke pasar lagi,” ucapnya pelan, masih terdengar kesal.
Maalik menatapnya penuh pengertian. Senyum tipis terbit di wajahnya, lalu ia menggenggam tangan istrinya erat.
“Iya. Saya minta maaf. Nanti kamu nggak perlu ikut lagi,” jawabnya lembut.
Tak lama setelah Olivia tenang, suara dari halaman terdengar samar: derit besi, kayu yang dipindahkan, dan obrolan para tukang yang mulai bekerja. Maalik menoleh sebentar ke arah jendela, memastikan mereka sudah mulai memasang fondasi gazebo seperti yang ia rencanakan.
Namun ia kembali memusatkan perhatiannya pada Olivia. Ia menyodorkan segelas air putih yang baru saja ia ambil dari dapur. “Minum dulu,” ucapnya singkat, nada suaranya hangat.
Olivia menatap gelas itu dengan malas, namun akhirnya menerimanya juga. Ia meneguk sedikit, lalu meletakkannya di meja. Wajahnya masih muram, matanya sembab, namun tangisnya sudah reda.
Maalik mengusap kepala istrinya lembut. “Kamu istirahat di sini dulu. Saya ke belakang sebentar, lihat tukang kerja.”
Olivia hanya menggumam, lalu membaringkan tubuhnya di sofa. Tatapannya kosong ke langit-langit, seakan menolak peduli pada apa pun.
Maalik keluar ke halaman belakang. Di sana, para tukang sudah sibuk bekerja. Kayu-kayu panjang tergeletak di tanah, semen dan pasir menumpuk, suara palu terdengar sesekali. Seorang tukang menyapanya dengan ramah, “Pak Desa, ini mau langsung didirikan rangkanya, ya?”
“Iya, Pak. Yang penting rapi dan kuat. Nanti kalau sudah setengah jadi, saya cek lagi,” jawab Maalik sopan.
Selesai memberi arahan singkat, ia kembali masuk rumah. Dilihatnya Olivia masih di sofa, tubuhnya meringkuk dengan kaki ditarik ke atas. Pemandangan itu membuat hati Maalik kembali menghangat. Ia tahu, meski Olivia keras kepala dan sering melawan, di balik itu semua istrinya hanyalah gadis muda yang masih berusaha beradaptasi dengan dunia yang asing baginya.
Maalik duduk di sisi sofa, lalu dengan hati-hati mengangkat kaki Olivia dan meletakkannya di atas pahanya. Dengan telaten, ia kembali mengoleskan minyak kayu putih pada kulit istrinya yang semula mulus, kini dipenuhi bentol-bentol merah.
Olivia membuka mata perlahan, melirik suaminya. “Gazebo itu buat apa, sih?” tanyanya dengan suara lemah.
Maalik tersenyum. “Buat kamu. Biar kalau kamu bosan di dalam rumah, bisa duduk santai di sana. Anginnya sejuk, pemandangannya sawah.”
Olivia mengerjap, seakan tak percaya. “Lo bikin itu... buat gue?”
Maalik mengangguk mantap. “Iya. Saya pengen kamu betah di sini. Kalau kamu bahagia, saya juga bahagia.”
Hati Olivia mendadak berdesir. Ada sesuatu yang hangat menyusup, meski buru-buru ia memalingkan wajah, tak ingin ketahuan. Dengan nada sok acuh ia bergumam, “Gue nggak janji bakal suka di desa.”
Maalik hanya tersenyum. “Nggak apa-apa. Yang penting kamu nyaman di rumah ini.”
Di luar, suara tukang kembali terdengar bersahutan. Di dalam rumah, suasana justru tenang. Olivia diam, namun genggaman lembut Maalik di tangannya tak ia tolak.