Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Malam telah menelan langit, menyisakan cahaya rembulan yang samar menyusup lewat jendela besar kamar Dewi. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Angin malam berdesir lembut, menyusup melalui celah kecil jendela yang tak sepenuhnya tertutup, membawa aroma sepi dan rasa cemas yang makin menusuk dada Dewi.
Ia duduk sendiri di atas sofa, kedua tangannya bertaut di atas perut yang masih rata. Pandangannya menembus gelap, kosong namun penuh gelisah. Pikirannya mengembara pada percakapan pagi tadi bersama Rafael . tentang kepergiannya, tentang janji yang tak sepenuhnya Dewi percayai. Ia takut. Bukan takut ditinggal, tapi takut Rafael kembali menodai tangannya dengan darah orang lain.
Lalu... suara gagang pintu yang diputar perlahan memecah keheningan.
Clek.
Pintu kamar terbuka. Rafael masuk, berdiri di ambang pintu dengan tubuh tegap dan sorot mata gelap yang sulit ditebak. Tatapannya langsung tertuju pada Dewi yang masih terjaga.
“Kau belum tidur?” ucap Rafael, suaranya tenang namun dingin. Ia menutup pintu perlahan, lalu melangkah mendekat.
Dewi menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak bisa tidur,” gumamnya.
“Kau menungguku?” tanya Rafael, kini berdiri tepat di depannya.
Dewi mengangguk, lambat. Rafael menghela napas pelan, lalu sedikit membungkuk, menangkup wajah Dewi dengan satu tangan dan mengecup keningnya dengan lembut.
“Kau harus tidur. Begadang tidak baik untuk janinmu,” ucapnya, nyaris seperti perintah, namun dibalut kelembutan yang anehnya justru terasa seperti belenggu.
Dewi tak segera menjawab. Ia hanya menatap Rafael lekat-lekat, memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Pakaian Rafael masih rapi. Tak ada noda. Tak ada darah. Bahkan tidak tampak seperti seseorang yang baru saja kembali dari “urusan” gelapnya. Dan untuk sesaat, Dewi merasa lega.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
“Aku ingin bertanya sesuatu,” ujar Dewi pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Rafael menegakkan badan dan menatapnya serius.
“Apa aku boleh keluar?” lanjutnya.
Rafael mengerutkan kening, tampak bingung. “Keluar? Ke mana?”
Dewi menggigit bibirnya, lalu menunduk sejenak sebelum berani mengangkat wajahnya kembali.
“Tidak jauh. Aku hanya ingin kembali hidup bebas... seperti dulu. Aku sudah terlalu lama terkurung di dalam rumah ini, Rafael. Aku tidak pernah menginjakkan kaki ke luar kecuali bersamamu,” ucapnya, lirih namun sarat emosi.
“Aku hanya ingin... kembali menjadi diriku sendiri.”
Hening. Suasana kamar menjadi beku.
Rafael menatapnya tajam, wajahnya perlahan berubah. Sorot matanya mengeras, dan ketika ia berbicara, suaranya dingin seperti malam tanpa bintang.
“Tidak boleh,” ucapnya datar.
Dewi menegang.
“Tapi... kenapa? Bukankah kau sudah mendapatkanku? Aku sudah menjadi milikmu. Aku pun mengandung anakmu, Rafael. Aku tidak akan pergi darimu... Aku hanya ingin sedikit kebebasan. Sedikit saja. Untuk menenangkan diriku, untuk merasakan dunia di luar tembok-tembok ini.”
“Tidak,” ulang Rafael. Kali ini nadanya lebih rendah, namun jauh lebih mengancam.
Dewi terdiam. Ada luka yang perlahan menguar dari sorot matanya. Ia tahu, Rafael bukan pria biasa. Ia bukan suami penyayang dalam kisah dongeng. Ia adalah badai yang setiap saat bisa memporak-porandakan dunianya.
Tapi Dewi juga bukan gadis lemah seperti dulu.
“Rafael…” ucapnya perlahan,
“Bukankah kau bilang, semua ini demi kebaikan janin? Tapi... bagaimana aku bisa sehat, kalau aku merasa seperti tawanan di rumah ini?”
Rafael mengalihkan pandangannya, namun tetap berdiri tegak, seperti tembok batu.
“Dunia luar terlalu berbahaya untukmu. Untuk anakku,” katanya.
“Itu alasanmu. Tapi kebenarannya... kau hanya takut kehilangan kendali,” balas Dewi, kini mulai berani menatap lurus ke matanya.
“Jika aku pergi, meskipun hanya ke halaman... kau takut aku tahu sesuatu. Atau seseorang.”
Ucapan itu membuat Rafael menajamkan tatapannya. Untuk sesaat, ia tak berkata apa-apa, namun jelas terlihat bahwa kalimat Dewi menampar sesuatu dalam dirinya.
“Sudahlah,” Rafael akhirnya berkata, lebih pelan kali ini. Ia memutar tubuh, seakan hendak pergi.
“Tidurlah. Kita akan bicarakan ini besok.”
“Tidak, Rafael,” potong Dewi. “Kita bicarakan sekarang. Karena aku sudah tidak ingin hidup dalam ketakutan lagi. Jika aku tetap di sini, aku ingin tahu. apakah aku istrimu... atau hanya boneka dalam penjara emasmu?”
Rafael menghela nafas panjang. " Baiklah, jika kau ingin pergi ke luar. Tapi kau harus di temani oleh Juno,"
Dewi merasa sangat senang, karena Rafael menyetujui permintaan nya. Ia akan bebas walaupun tetap harus di awasi.
" Terimakasih," ucapnya dengan senyum mengembang di wajahnya, ia berdiri lalu memeluk Rafael singkat. Sebelum ia beranjak menuju ranjang.
...
Langit mendung menggantung di atas kota. Angin berdesir pelan, meniupkan bau logam dan debu ke setiap celah jendela retak yang sudah lama tak dibersihkan. Di puncak gedung tua yang terbengkalai, gedung yang dulunya adalah bekas kantor perdagangan era kolonial, kini menjadi markas sunyi seorang pria dengan luka yang belum pernah sembuh.
Malik duduk di depan meja kayu reyot, lampu neon di atasnya berkelap-kelip seperti jantung yang mulai melemah. Wajahnya yang rusak karena luka bakar memantulkan bayangan ganjil di kaca jendela yang kotor. Tapi sorot matanya... tajam, dingin, penuh strategi.
Di depannya, sebuah ponsel tua bergetar pelan, layar menyala dengan satu pesan baru masuk.
Malik meraihnya dengan perlahan, membuka pesan itu tanpa senyum, tapi tak lama kemudian... bibirnya menyeringai. Senyuman itu bukan kebahagiaan. melainkan pertanda bencana yang akan segera dimulai.
Pesan dari mata-matanya berbunyi:
> "Tuan, informasi hari ini. Rafael terlihat makin lengket dengan perempuan bernama Dewi. Mereka telah menikah. Gadis itu kini tengah mengandung anaknya. Dan lebih dari itu… Rafael berubah. Ia jadi lebih tenang. Ia menuruti semua keinginan Dewi. Bahkan, ia mulai meninggalkan kegiatan gelapnya. Ini saat yang tepat. Rafael sedang melemah. Dewi adalah kelemahannya."
Malik membaca perlahan, lalu tertawa. tertawa terbahak-bahak hingga menggema di seluruh ruangan. Lantai berderit, suara tawa itu membentur tembok-tembok kosong dan mengalir ke lorong panjang yang gelap.
"Ah, Rafael... Bahkan iblis sepertimu bisa jatuh juga, ya?" gumamnya pelan.
Ia bangkit, berjalan ke arah dinding yang dipenuhi coretan dan peta besar kota, lengkap dengan titik-titik merah dan foto-foto yang ditempel sembarangan. Di bagian tengah, sebuah foto Rafael terpampang jelas. Di sampingnya, foto Dewi. wajah polos gadis itu terlihat seperti oasis dalam kekacauan.
"Jadi... kau jatuh cinta padanya?" bisik Malik sambil menatap wajah Dewi di foto itu.
Ia lalu membuka laci meja, mengeluarkan sebuah berkas tipis berisi catatan transfer rahasia dan laporan mata-mata yang ia miliki. Salah satunya adalah nama seorang pelayan dari rumah Rafael. Anjar, pria muda yang hidupnya nyaris hancur karena tekanan dan intimidasi yang terus-menerus datang dari tangan dingin Rafael.
Malik tahu Rafael memimpin dengan tangan keras. Para pelayan di rumahnya tidak lebih dari alat. tak punya nama, tak punya suara, hanya perintah dan ketakutan. Dan di sanalah celah itu terbuka.
Dengan satu janji kebebasan dan kehidupan layak, Malik berhasil membeli satu jiwa yang selama ini hidup dalam bayang-bayang kekuasaan Rafael. Anjar setuju menjadi mata-mata. Ia tahu semua sudut rumah, setiap kebiasaan Rafael, dan yang paling penting. ia menyaksikan sendiri bagaimana Dewi mengubah pria itu sedikit demi sedikit.
"Jangan salahkan aku, Rafael," gumam Malik sambil menyalakan rokok. Asapnya mengepul di udara, melingkar seperti bisikan neraka.
"Kau sendiri yang membuka jalan ini. Kau yang membuat hatimu lunak. Dan sekarang... aku punya kunci untuk menghancurkanmu."
Ia kembali menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan yang memberinya harapan baru.
“Rafael mulai berhenti menyiksa dan mengurung orang di ruang bawah tanah, karena istrinya terus meminta Rafael untuk berhenti .”
Malik mengetik balasan:
“Terus awasi. Kirim detail rutinitas gadis bernama Dewi itu Segera. Kita akan mulai dari sana.”
Setelah mengirim pesan itu, Malik berdiri menghadap jendela besar yang mengintip ke pemandangan kota yang mulai memudar ditelan kabut.
Sebentar lagi, gumamnya dalam hati. Sebentar lagi semua akan selesai.
“Rafael… kau pikir kau telah menang karena telah membangun istana dari darah orang lain. Tapi kau lupa… bahkan istana bisa runtuh hanya dengan satu celah.”
Ia menoleh pada foto Dewi, lalu mengepalkan tangannya.
“Kau pikir cinta bisa menyelamatkanmu?”
Senyumnya kembali muncul. Dingin. Gila.
“Justru cinta itu... akan jadi sebab kehancuranmu.”