Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Papa Nayla menatap menantunya itu sejenak, lalu mengangguk. “Kami titip Nayla, Reyhan.”
“Selalu, Pa…” jawab Reyhan dengan nada penuh hormat.
Setelah berpamitan dan mencium kening Nayla, Mama dan Papa pun keluar dari ruang perawatan. Reyhan menutup pintu perlahan, lalu kembali ke sisi ranjang. Ia menarik kursi, duduk di sebelah Nayla sambil menggenggam tangannya erat.
“Sekarang kita hanya berdua,” ucap Reyhan lembut. “Tidurlah… Aku akan tetap di sini.”
Nayla memandangi wajah Reyhan dalam diam. Di balik senyum kecilnya, ada kekhawatiran yang tersimpan rapi. Ia ingin berkata banyak hal… tapi hanya diam yang mampu ia berikan.
Malam mulai larut. Lampu kamar rawat dinyalakan redup. Di sudut ruangan, Reyhan masih duduk sambil menggenggam tangan Nayla yang kini tertidur pulas, meski sesekali wajahnya tampak mengerut pelan karena rasa sakit yang tak bisa ia lawan.
Beberapa saat kemudian, Nayla terbangun karena merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhnya. Ia terkejut saat menyadari Reyhan kini telah naik ke tempat tidurnya dan memeluknya dari belakang dengan hati-hati, seolah tak ingin melukai tubuhnya yang lemah.
“Rey…?” bisik Nayla pelan, tubuhnya menegang sesaat.
“Tenanglah. Aku hanya ingin memelukmu,” ucap Reyhan lirih, namun dalam. “Aku lelah melihatmu berpura-pura kuat… Lelah merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku.”
Nayla terdiam. Ia bisa merasakan detak jantung Reyhan yang cepat, bisa mendengar tarikan napasnya yang berat, menandakan gejolak emosi yang sedang ditahannya.
“Aku mencintaimu, Nayla,” bisik Reyhan tepat di telinganya. “Jadi, mengapa kau tidak pernah jujur padaku? Mengapa kau menyembunyikan sakitmu dariku?”
Butuh waktu lama sebelum Nayla menjawab. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas.
“Aku tidak ingin kau mengasihaniku,” katanya lirih. “Aku tidak ingin cintamu berubah menjadi rasa iba.”
Reyhan langsung mengeratkan pelukannya, lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar, “Itu bodoh, Nayla.”
Nayla terkejut oleh nada suara Reyhan, tapi tak bisa berkata apa-apa.
“Cinta itu bukan tentang sempurna atau tidak sempurna. Aku mencintaimu… sepenuhnya. Apa pun keadaanmu. Jika kau pergi tiba-tiba tanpa memberitahuku, tanpa memberiku kesempatan untuk berjuang bersamamu… itu akan menghancurkanku,” Reyhan menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan suara lirih namun tajam, “Dan mungkin aku akan melakukan hal bodoh untuk menyusulmu.”
Dengan cepat, Nayla membalikkan tubuhnya dan menempelkan jari telunjuknya ke bibir Reyhan. “Jangan katakan hal itu… Aku tidak ingin mendengarnya.”
Reyhan hanya menatap mata Nayla yang mulai berkaca-kaca. Tangannya menggenggam jari Nayla dan menurunkannya perlahan.
“Aku akan melakukan apa pun demi kau sembuh. Dokter berkata masih ada harapan. Aku percaya itu. Dan aku ingin kau percaya padaku juga, Nayla.”
Nayla menggigit bibirnya, suaranya hampir hilang. “Rey…”
“Aku ingin membawa kamu ke luar negeri. Kita akan mencari pengobatan terbaik. Aku tidak peduli berapa biayanya atau seberapa sulit prosesnya. Selama ada harapan, aku akan bertarung untukmu.”
Tangis Nayla akhirnya pecah, meski ia mencoba menahannya. Ia menyandarkan wajahnya di dada Reyhan, membiarkan dirinya larut dalam pelukan hangat yang dipenuhi janji dan keteguhan cinta.
Nayla merasa tidak sendiri dalam pertarungannya. Ada Reyhan, lelaki yang mencintainya sepenuh hati, dan bersedia melakukan segalanya hanya untuk satu harapan, agar Nayla tetap hidup dan bahagia.
---
Pagi ini, kamar rawat Nayla diselimuti ketenangan. Hanya suara detak mesin infus dan hembusan lembut dari pendingin udara yang terdengar.
Nayla baru saja selesai menyantap sarapannya. Ia terlihat lebih tenang, meski tubuhnya masih lemah. Mama dan Papa duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memperhatikan putri mereka dengan senyum yang dibuat-buat sekuat hati.
“Aku dan Reyhan akan pergi ke luar negeri, Ma… Pa,” ujar Nayla sambil menoleh ke arah keduanya. “Kami akan berbulan madu… mumpung waktunya pas.”
Mama tersenyum. “Iya, sayang. Mama senang akhirnya kalian bisa pergi berdua. Segarkan pikiran, ya…”
Papa ikut menambahkan, “Nikmati waktu kalian. Dan jangan khawatirkan apa pun di sini. Papa dan Mama akan baik-baik saja.”
Nayla mengangguk pelan. Ia tak tahu bahwa senyum mereka mengandung kesedihan yang dalam. Ia tak tahu, bahwa Reyhan telah menceritakan segalanya pada mereka.
Dan sekarang, mereka hanya berpura-pura. Untuk Nayla. Untuk menjaga hatinya tetap kuat.
Reyhan yang sedari tadi berdiri di dekat jendela, akhirnya menghampiri tempat tidur Nayla dan meraih tangannya.
“Kita akan berangkat lusa, ya?” ucapnya lembut.
Nayla menatapnya dalam diam, lalu mengangguk.
“Reyhan…” gumam Nayla lirih. “Terima kasih.”
Reyhan tersenyum, lalu mengecup punggung tangan Nayla. “Tidak perlu terima kasih. Aku mencintaimu. Dan aku akan tetap di sini, di sisimu… sampai kapan pun.”
Nayla menatap Mama dan Papanya. “Titip doa, ya, Ma… Pa.”
Mama tersenyum seraya bangkit, menghampiri putrinya dan membelai kepalanya dengan lembut. “Tentu, sayang. Doa Mama akan selalu bersamamu.”
Papa ikut berdiri, menepuk bahu Reyhan perlahan. “Jaga putri kami baik-baik.”
Reyhan mengangguk tegas. “Saya berjanji, Pa. Saya akan melakukan segala cara untuk membuatnya sembuh.”
Beberapa saat kemudian, setelah pamit dan mencium kening Nayla, Mama dan Papa pun meninggalkan kamar rawat itu.
Begitu pintu tertutup, Reyhan menarik kursi dan duduk di samping ranjang Nayla. Ia menggenggam tangan istrinya erat-erat.
“Besok, kita akan ke bandara untuk urus dokumen, lalu lusa langsung berangkat. Dokternya sudah menyiapkan semua,” ucap Reyhan pelan.
Nayla mengangguk kecil. Dalam hatinya, masih ada rasa cemas. Tapi ia memilih percaya. Pada Reyhan.
Lelaki itu telah menjadi pelindung sekaligus sandarannya, sekarang lebih dari sebelumnya.
Dan malam itu, sebelum memejamkan mata, Nayla membisikkan dalam hati sebuah doa. Bukan untuk kesembuhan semata, tetapi untuk cinta Reyhan padanya.
***
Dua hari kemudian...
Nayla masih tersenyum kecil saat memeluk Mama dan Papanya sebelum masuk ke ruang keberangkatan. Ia menggenggam koper kecilnya erat, sementara Reyhan berdiri di samping, sigap membantunya.
“Doakan kami, ya, Ma, Pa...” ucap Nayla pelan. “Semoga bulan madu ini bisa jadi awal yang baru untuk kami.”
Mama mengangguk cepat, menahan air mata yang nyaris tumpah. “Pasti, sayang. Mama dan Papa selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua.”
Papa merangkul pundak putrinya. “Jangan lupa kabari kami, walau hanya sebentar.”
Nayla tersenyum lagi, lalu berpaling masuk ke area dalam bandara bersama Reyhan. Begitu tubuhnya tak lagi terlihat, Mama menoleh cepat ke arah Reyhan yang masih berdiri tak jauh dari sana.
“Reyhan...” panggil Mama pelan, namun penuh tekanan.
Reyhan mendekat, menundukkan kepala. “Iya, Ma?”
Mama menggenggam tangan menantunya dengan erat. “Tolong... jaga Nayla. Jangan biarkan dia merasa sendiri sedikit pun. Kami... kami percaya padamu.”
Papa berdiri di samping istrinya, mengangguk tegas.
Reyhan menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk penuh keyakinan. “Saya janji, Ma, Pa. Saya akan memberi kabar setiap hari. Setiap hasil pemeriksaan, setiap perkembangan. Saya tidak akan menyembunyikan apa pun.” Reyhan berkata pelan sembari memeluk mereka.
Mama menepuk tangan Reyhan pelan. “Kami tidak bisa ikut mendampingi Nayla, tapi kami menitipkan seluruh harapan kami padamu.”
Reyhan menunduk hormat. “Saya tidak akan mengecewakan kepercayaan Mama dan Papa. Saya akan lakukan apa pun agar Nayla bisa sembuh. Mohon doanya…”
Papa menarik napas panjang. “Kalau ini ujian, semoga kalian bisa melewatinya bersama. Jangan biarkan Nayla menyerah.”
Reyhan menatap wajah mereka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Lalu ia mengangguk mantap. “Saya akan bertahan... selama Nayla juga mau bertahan.”
Tak lama kemudian, pengumuman keberangkatan menggema. Reyhan kembali berpaling, lalu berjalan cepat menyusul Nayla yang sudah lebih dulu menunggu di ruang boarding. Ia menoleh sekali lagi ke arah Mama dan Papa yang berdiri di kejauhan, masih menatap mereka dengan doa yang tertanam dalam diam.
Dan dalam hati Reyhan, hanya satu janji yang kini bergema, ia akan membawa pulang Nayla dalam keadaan sembuh, apa pun caranya.