Dijodohin Dengan Kepala Desa
Sore itu, langit Jakarta merangkak tenang. Cahaya matahari menari malu-malu di sela jendela rumah mewah keluarga Hadikusuma. Udara di dalam rumah sejuk, tapi suasananya hangat—penuh senyum dan tawa setelah perayaan yang sederhana namun meriah.
Olivia Yvaine Hadikusuma baru saja menanggalkan kebaya cantiknya. Riasan wajahnya masih sempurna, rambutnya sedikit acak karena angin, tapi tetap memesona. Ia melangkah gontai ke ruang tengah dengan toga yang ia lempar asal ke lantai, lalu menjatuhkan diri ke sofa panjang berwarna gading.
Dengan kepala bersandar, matanya tertutup malas.
"Mbok Nahhhh!!!" teriaknya kencang, nyaring seperti biasa.
Teriakan itu langsung menggema di dalam rumah. Tak lama, dari arah dapur muncullah sosok wanita paruh baya, tubuhnya sedikit gemetar karena langkah tergesa. Kerudungnya sedikit miring, tapi senyumnya tetap ramah.
"Iya, Non. Ada yang bisa Mbok bantu?" tanya Mbok Nah sopan sambil membungkuk sedikit.
Olivia membuka satu matanya, mengangkat alis lalu menjawab dengan nada yang ribet dan khas dirinya.
"Buatin Oliv jus alpukat. Gulanya sedikit ya, airnya cuma beberapa mili aja, tapi jangan terlalu encer. Alpukatnya yang mateng, tapi bukan yang kematengan juga. Jangan dikasih es, nanti rasanya hambar."
Mbok Nah mengangguk pelan. Ia sudah terbiasa dengan perintah-perintah detil semacam itu.
"Siap, Non," sahutnya lembut sebelum berbalik menuju dapur.
Hadikusuma, yang duduk bersandar di kursi tua kesayangannya sambil memutar tasbih kecil di tangan kanan, hanya bisa menggelengkan kepala pelan.
Cucu semata wayangnya itu… Terlalu manja. Terlalu keras kepala. Dan, terlalu terbiasa mendapatkan segalanya tanpa usaha.
Ia sadar, semua ini bukan sepenuhnya salah Olivia. Justru, ia menyalahkan anaknya sendiri, Bayu, dan menantunya, Camilla, yang terlalu sering memanjakan gadis itu. Segala yang diminta Olivia, dituruti. Tidak ada batas. Tidak ada didikan yang cukup kuat menanamkan nilai.
"Olivia," panggil Hadikusuma, suaranya dalam dan tenang.
Gadis itu membuka matanya sedikit, lalu melirik ke arah Eyang Kakung-nya.
"Apa, Eyang?" jawabnya santai.
"Jangan bersikap seperti itu. Sopan santun kamu dijaga."
Olivia mengernyit, menautkan kedua alisnya.
"Oliv capek, Eyang..." keluhnya malas, suaranya nyaris seperti rengekan.
Hadikusuma menoleh ke arah Bayu yang sejak tadi berdiri di dekat tangga bersama Camilla. Pria itu menghela napas sebelum akhirnya ikut bersuara.
"Oliv," tegurnya pelan, nyaris tanpa tenaga.
Pandangan Olivia segera beralih pada ayahnya.
"Apalagi, Papi? Oliv cuma minta minum. Kenapa sih semua ribet banget?" ucapnya kesal, suaranya meninggi.
"Permintaanmu boleh, tapi caramu salah. Mbok Nah itu orang tua. Minta dengan sopan, bukan teriak-teriak." sambung Hadikusuma, nada suaranya masih terjaga.
Olivia hanya memutar matanya malas, lalu menoleh ke arah satu-satunya orang yang bisa ia taklukkan dengan mudah.
"Eyaaanngg..." panggilnya dengan suara manja, seraya merentangkan tangan ke arah Ratih.
Ratih yang sedari tadi duduk tenang di kursi rotan dekat jendela, langsung tersenyum. Ia bangkit perlahan dan menghampiri cucunya, lalu duduk di sebelah Olivia.
"Olivia sayang..." ucapnya lembut sambil memeluk tubuh mungil cucunya.
"Oliv capek, ya?" tanyanya pelan, tangannya mengelus punggung cucunya penuh kasih.
Gadis itu mengangguk lemah, membenamkan wajahnya di bahu Ratih.
"Mau Eyang temenin istirahat?"
"Mauu..." jawab Olivia, masih dengan nada merengek manja.
Ratih tersenyum kecil, lalu berkata, "Tapi janji dulu sama Eyang, ya?"
Olivia mengangkat wajahnya, menatap sang nenek dengan ekspresi bingung.
"Untuk ke depannya, kalau butuh apa-apa, kamu minta tolong ya? Minta tolong itu nggak susah, sayang. Masa cucu Eyang yang cantik jelita ini kasar begitu? Hmmm?"
Ratih menatap Olivia dalam-dalam. Bukan dengan marah, tapi dengan cinta yang begitu besar.
Olivia mendengus pelan, tapi akhirnya mengangguk.
"Iya..." jawabnya singkat, lalu kembali bergelayut manja.
Ratih mengelus punggung cucunya. Wajahnya menyiratkan cinta, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.
Hadikusuma memandangi keduanya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa cucunya tumbuh dengan cinta, tapi cinta yang kurang arah. Cinta yang dimanjakan dengan kemudahan. Ia tahu, selama ini ia dan istrinya tak banyak terlibat karena jarak. Mereka tinggal di Jogja, sementara Bayu dan keluarganya menetap di Jakarta. Tapi hatinya tak bisa diam lagi melihat Olivia tumbuh semakin jauh dari nilai-nilai penting dalam hidup.
Ia bahkan menyadari, Olivia nyaris kosong dalam urusan agama. Tidak ada pemahaman, tidak ada kebiasaan beribadah, tidak ada pembiasaan yang seharusnya dibentuk sejak kecil.
Camilla, menantunya, memang seorang wanita yang lembut. Wanita Prancis itu sudah memeluk Islam dengan tulus. Ia masuk Islam karena pernikahannya dengan Bayu, dan sejak itu ia berusaha menyesuaikan diri. Tapi sayangnya, dalam hal agama, Camilla sendiri masih belajar. Dan Bayu... Anaknya itu terlalu sibuk, terlalu ingin menjadi ayah yang menyenangkan, hingga lupa bahwa cinta sejati butuh arah dan batas.
Hadikusuma mendesah pelan.
Sudah saatnya sesuatu dilakukan. Bukan lagi lewat nasihat atau teguran. Tapi lewat tindakan nyata. Olivia harus bertemu dunia lain. Dunia yang berbeda dari gemerlap Jakarta dan kemanjaan yang membelenggunya.
---
Sudah pukul 01.30 dan Olivia belum pulang. Hadikusuma bolak-balik melirik jam di dinding mewah rumah anaknya. Detik jam berdetak nyaring di tengah ruang keluarga yang sunyi dan menegang. Di sofa ada Bayu, Camilla, dan Ratih yang ikut menunggu, masing-masing dengan kecemasan yang berbeda di wajah mereka.
"Ini hasil didikan kalian?" suara Hadikusuma akhirnya terdengar, pelan namun dingin seperti bilah baja.
Camilla menunduk, tak berani membalas. Bayu mengusap wajahnya kasar, gusar sekaligus malu.
"Olivia itu perempuan," lanjut Hadikusuma, nadanya mulai meninggi, "Tapi dia main sampai tengah malam begini. Tak tahu aturan. Tak tahu adab. Kalian biarkan dia tumbuh seenaknya. Kalian manjakan dia terlalu lama!"
“Pah…” Camilla mencoba bicara, suaranya lirih.
"Diam!" potong Hadikusuma. "Kamu dari dulu terlalu lemah menghadapi anak. Terlalu takut dia marah, terlalu takut dia menangis. Anakku pun sama—kau, Bayu!" Ia menatap Bayu tajam. “Kau ayah, tapi lebih banyak diam. Kau kepala keluarga atau hanya pajangan di rumah ini?"
Bayu mengembuskan napas panjang, matanya mulai memerah, tapi ia tak sanggup menyela. Tangan kirinya mengepal di atas lutut, mencoba menahan rasa malu dan kecewa pada dirinya sendiri.
Ratih, yang duduk di samping suaminya, mencoba menenangkan.
"Mas… tenangkan dulu hatimu, ya? Kita semua khawatir. Tapi mungkin ada baiknya tunggu Olivia pulang dulu. Kita tanya baik-baik, siapa tahu ada hal darurat—"
"Tidak, Ratih," potong Hadikusuma, kali ini suaranya lebih rendah, tapi tak kalah tajam. "Ini bukan soal malam ini saja. Ini soal bertahun-tahun pembiaran. Kalian besarkan dia tanpa disiplin, tanpa arah. Sekarang kalian lihat sendiri hasilnya."
Ia berjalan ke depan jendela, menyingkap tirai, menatap ke luar—gelap, hening, hanya gemerlap lampu jalan yang menyala temaram.
"Jika anak perempuan dibiarkan pulang semaunya, apa yang membedakan rumah ini dengan jalanan umum?" gumamnya.
Camilla menyeka air mata yang mengalir pelan. Suasana makin tegang.
"Mulai sekarang, aku yang akan bicara langsung pada Olivia," tegas Hadikusuma akhirnya. "Dan kau, Bayu, harus mulai jadi ayah. Kalau tidak sekarang, nanti akan terlambat."
Bayu hanya menunduk, rahangnya mengeras. Camilla menggenggam tangan suaminya, dan Ratih duduk membisu, memeluk kedua tangannya sendiri—menyimpan gelisah dalam diam.
Jam berdetak lagi.
Pukul 01.34.
Dan pintu rumah masih tertutup.
---
Bunyi deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Suara pintu pagar otomatis bergeser perlahan, diikuti rem mobil yang berdecit pelan. Camilla langsung bangkit berdiri, tapi Hadikusuma menahan dengan satu gerakan tangan.
“Duduk,” perintahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah pintu utama.
Tak lama, suara tumit tinggi beradu dengan lantai marmer memenuhi lorong rumah. Olivia masuk dengan senyum santai, tas kecil menggantung di siku, dan rambut tergerai rapi.
“Hai semua,” sapanya singkat, lalu hendak naik ke lantai dua.
“Berhenti di situ!” suara Hadikusuma menggema seperti gemuruh halilintar. Suasana yang tadinya tegang berubah mencekam.
Olivia menoleh. Alisnya terangkat heran. “Ada apa, Eyang?”
“Kamu pikir rumah ini tempat keluar masuk sesukamu?” tanya Hadikusuma, suaranya tajam. “Sudah pukul dua dini hari. Anak perempuan pulang tengah malam seperti ini? Mau jadi apa kamu?”
Olivia menarik napas. “Aku kan sudah dewasa, Kek. Aku cuma—”
“DEWASA?!” potong Hadikusuma, berdiri dan menghampiri cucunya. “Dewasa itu bukan soal umur! Tapi tahu diri! Tahu waktu! Tahu tempat!”
Bayu mengusap wajahnya kasar, tak sanggup menatap. Camilla berdiri, hendak menengahi, tapi Hadikusuma sudah lebih dulu bersuara.
“Dan kalian berdua!” tegurnya, menunjuk Camilla dan Bayu. “Inikah hasil didikan kalian? Anak perempuan pulang dini hari tanpa kabar, dan kalian duduk seperti patung?”
“Kami juga sudah berkali-kali menasihati, Pah...” ujar Camilla pelan, nyaris seperti bisikan.
“Kalau begitu kalian sudah gagal jadi orang tua,” desis Hadikusuma. “Dan Olivia...”
Ia menatap cucunya dalam. “Kalau kamu pikir kebebasan itu berarti bisa seenaknya, kamu salah besar. Kamu tinggal di rumah ini. Nama keluargamu adalah Hadikusuma. Dan itu bukan hanya nama, tapi harga diri.”
Olivia mengerucutkan bibir, matanya mulai memanas. Tapi sebelum sempat bicara, Hadikusuma mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya.
“Mulai malam ini, jam malam diberlakukan. Kamu hanya boleh keluar sampai pukul sepuluh malam. Kalau lewat, kunci pintu akan dikunci. Dan jangan harap mobil bisa keluar dari garasi tanpa izinku.”
“Eyang... please, ini bukan zaman penjajahan. Aku—”
“Memang bukan zaman penjajahan,” potong Hadikusuma. “Tapi selagi kamu tinggal di rumah ini, kamu ikut aturanku. Kalau merasa tak cocok, silakan angkat kaki!”
“Mas…” Ratih, istri Hadikusuma, berdiri dengan wajah cemas. “Jangan terlalu keras...”
Tapi Hadikusuma tak menggubris. Sorot matanya tak bergeming. Ia menatap Olivia dalam-dalam, hingga gadis itu akhirnya menunduk.
Tak ada yang berani bicara. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak lambat namun pasti, seperti menegaskan bahwa waktu tak akan pernah kembali. Dan malam itu, rumah Hadikusuma kembali tenggelam dalam diam yang mencekam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Titik Sofiah
awal yg menarik ya Thor /Good/
2025-08-26
1