NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:824
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 18

Langkah-langkah pincang menelusup dalam remang kota yang kehilangan denyut malam. Jejak masih menguar dari setiap aspal yang Gustro injak. Tubuhnya goyah, seperti daun yang ditiup badai namun enggan tumbang. Luka-luka di tubuhnya mulai membiru, dan napasnya makin berat seolah paru-parunya dicekik oleh bayangan sendiri.

Ia melangkah terseok ke depan sebuah toko tua yang sudah menutup mata, lampunya padam, dan hanya menyisakan pantulan langit muram di kaca etalase. Dengan satu tangan menekan luka di pinggang, Gustro bersandar di dinding toko itu, sementara ponselnya gemetar dalam genggaman.

“Wislay...”

Satu nama. Satu cahaya di ujung lorong penuh kabut luka.

Dalam pandangannya yang kabur, bayangan Wislay muncul seperti fatamorgana yang hangat. Terngiang suaranya lembut namun tegas. "Aku akan melindungimu dari musibah."

Dengan gemetar, Gustro membuka kontak. Menekan nama “Wislay” yang tertera paling atas seperti takdir yang telah ditulis alam.

Di kamar kost mungil, Wislay duduk bersila di depan meja, matanya sibuk menata manik-manik mungil yang berwarna pastel, membentuk sebuah gelang pesanan pelanggan. Lagu lembut mengalun dari ponsel. Malam itu biasa saja sampai tiba-tiba ponselnya bergetar, mengangkat gelombang cemas ke udara.

Nama Gustro tertera di layar.

“Tumben sekali dia telepon tengah malam begini…” batinnya bergulir.

Wislay menelan ludah. Suasana hatinya mengerut, dan jemarinya spontan menyentuh ikon hijau.

“Hallo?” sapanya.

Namun yang menyambut bukan sapaan biasa, bukan candaan ringan. Melainkan suara berat dan lemah—seperti denting lonceng duka di kejauhan.

“Wislay… tolong…”

Detak jantung Wislay seolah berhenti berdetak. Suaranya tercekat.

“Kau kenapa, Gustro? Katakan, kau ada di mana sekarang!?”

Suara napas di seberang sana putus-putus, namun sempat menjawab, “Di depan toko… yang tutup. Aku… kirim lokasi lewat WaoShaap…”

Wislay terdiam sekejap. Dunia seakan runtuh dalam satu detik. Langit malam terasa menindih dadanya.

Tanpa banyak tanya, ia berdiri secepat mungkin, jaket hoodie yang tergeletak asal langsung disambar, dompet dan ponsel dicengkram. Wajahnya pucat, mata melebar seperti bulan penuh kepanikan.

Degup jantungnya menabuh genderang bahaya.

Ia keluar kamar dan mengetuk pintu Rani dengan keras.

“Rani! Tolong! Aku butuh bantuan sekarang!”

Rani membuka pintu dengan mata masih setengah mengantuk.

“Kenapa, Lay?”

“Tolong… bonceng aku ke sini,” katanya sambil menunjukkan ponselnya. “Gustro… dia butuh pertolongan.”

Rani menatap mata Wislay yang kini sembab dan berair. Tak perlu tanya panjang lebar. Ia langsung kembali ke dalam, mengambil jaket dan kunci motor.

“Ayo. Pegangan yang kuat.”

Malam itu, motor menderu seperti panah dilepas dari busurnya, membelah jalanan kota dengan hembusan angin dan kekhawatiran yang mencekam. Wislay di boncengan, menggenggam erat helm di dadanya. Kepalanya penuh kecemasan.

“Semoga kau tidak kenapa-kenapa… Gustro… tunggulah sebentar lagi…”

Air matanya tak bisa ditahan lagi, mengalir dalam diam, menyatu bersama dinginnya malam.

Suara mesin motor memecah kesunyian malam seperti teriakan nyaring di tengah pemakaman. Rani menancap gas, membelah jalanan kota yang telah tertidur dalam keheningan, sementara Wislay duduk di boncengan dengan wajah murung, matanya menerawang ke layar ponsel yang menampilkan peta lokasi Gustro.

Angin malam menusuk kulit, membawa dingin yang menembus tulang. Namun tidak ada yang lebih menusuk selain kecemasan—mengoyak dada Wislay.

Dalam pikirannya, satu wajah terus melayang.

Gustro…

Senyumnya, suaranya, dan… bayangan tubuhnya yang terbaring kaku.

“Aku pernah kehilanganmu… di kehidupan lalu. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi,” batin Wislay getir.

Air matanya menetes, jatuh membasahi punggung tangan yang menggenggam ponsel erat-erat. Setiap tetesan seperti jeritan hati yang terbungkam. Dadanya sesak, seperti ditindih ribuan beban tak terlihat.

“Rani, belok ke arah ruko itu,” serunya serak.

Rani mengangguk tanpa banyak bicara, dan memelankan laju motor saat memasuki gang kecil di antara deretan ruko-ruko yang sudah mati lampunya. Map di ponsel Wislay menunjukkan titik tujuan hanya tinggal beberapa meter.

“Berhenti di sini!” seru Wislay, suaranya panik.

Begitu motor berhenti, Wislay langsung turun tanpa aba-aba. Kakinya berlari dengan langkah tak stabil, matanya menyapu liar ke sekeliling dan lalu ia melihatnya.

Seorang pemuda dengan tubuh lemas, bersandar di dinding toko yang tertutup rapat.

“Gustro!” teriak Wislay keras, suara tangisnya ikut tumpah dalam satu napas.

Ia berlari mendekat dan langsung meraih tubuh Gustro ke dalam pelukannya. Hangat tubuhnya sudah banyak hilang, dan darah mulai mengering di sudut bibirnya.

"Gustro! Gustro sadarlah, ini aku!"

“Tolong… bertahanlah…” Wislay mengguncang pelan tubuh itu dengan khawatir.

Mata Gustro perlahan terbuka, kabur dan berat. Ia menatap wajah Wislay yang kini sudah banjir air mata.

“Kau… datang juga ya…”

“Kau menepati kata-katamu…” ucapnya lemah dengan senyum kecil yang mengguncang jiwa.

“Bahwa kau akan… selalu melindungiku…”

Dan seketika itu juga, kelopak matanya tertutup.

“GUSTRO!!”

Wislay berteriak keras, menjerit dalam isakan yang pecah. Ia memeluk tubuh pemuda itu erat-erat, seperti ingin menyalurkan sisa kehidupan dari hatinya ke tubuh Gustro.

Air matanya mengalir deras. Suaranya tertatih, namun tangisannya menggema panjang di antara lorong ruko-ruko itu—bagaikan ratapan bidadari yang kehilangan sayapnya.

Rani yang berdiri tak jauh, menutupi mulutnya dengan tangan, menahan napas dan mata berkaca. Ia tak sanggup berkata-kata, hanya bisa menatap dengan ngeri campur iba. Pandangan itu membekas, seperti luka di dinding jiw.

“Rani… tolong… tolong bantu aku… Kita harus bawa dia ke rumah sakit…”

Rani mengangguk cepat, segera kembali ke motornya.

Wislay, meski tubuhnya gemetar—menopang Gustro dan membawanya ke atas motor dengan bantuan Rani.

Malam itu, tidak hanya tubuh Gustro yang berjuang untuk tetap bernapas. Tapi juga jiwa Wislay yang hampir luruh—menyaksikan lagi orang yang ingin ia lindungi hampir direbut oleh takdir kejam.

...****************...

...****************...

Langit malam menurunkan hujan tipis, membasahi jendela ruang tunggu rumah sakit yang diterangi lampu pucat. Di bangku panjang berwarna abu-abu itu, Wislay terduduk lemas, wajahnya tertunduk, tangan menutupi wajah yang dibanjiri air mata.

Isakannya pelan namun menusuk, seperti suara dari luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan. Rani duduk di sampingnya, memegang bahu sang sahabat dengan hati remuk redam. Tak satu pun dari mereka bicara. Hanya suara detak jam di dinding yang terasa keras di tengah kesunyian itu.

“Aku gagal lagi...,” batin Wislay getir.

“Aku hidup kembali, tapi tetap tak bisa mencegah dia terluka…”

Bayangan masa lalu kembali menghantui, saat Gustro di kehidupan sebelumnya meninggal dalam keadaan tragis. Air mata Wislay kembali jatuh, membasahi celana dan tangan yang menggigil.

Lalu suara langkah cepat terdengar. Pintu terbuka.

Andrew muncul dengan wajah cemas, rambutnya sedikit basah oleh gerimis.

Ia menghampiri mereka dan terdiam sejenak, terkejut melihat kondisi Wislay yang begitu rapuh. Wajah ceria gadis itu kini terbungkus kesedihan mendalam.

“Bagaimana keadaannya?” tanyanya hati-hati.

Wislay tidak menjawab. Ia bahkan tidak menoleh, hanya terdiam dan menggenggam tangannya sendiri kuat-kuat , seakan menahan sesuatu yang akan meledak.

Andrew duduk di sampingnya, mencoba menjaga ketenangan walau dadanya sendiri sesak penuh kecemasan.

“Aku ingin bicara… empat mata…”

“Soal Gustro.”

Rani yang menyadari maksud itu, segera berdiri. Ia menepuk pelan bahu Wislay dan berkata,

“Aku di luar ya…” Lalu pergi, meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang kini terasa sunyi sekali.

Andrew menghela napas. Suaranya berat namun pelan, seperti menyusun kata-kata yang sulit diucap.

“Begini… Kau harus tahu kenyataan ini, nona..."

"Jikalau tuan muda... bukan pemuda biasa.”

Wislay mengangkat wajah, matanya sembab, namun menyimak.

“Ia terlahir dari keluarga terpandang. Selain merupakan Presdir perusahaan multinasional ternama, Ayahnya—adalah pemimpin salah satu organisasi mafia terbesar di negeri ini.”

“Sebagai anak satu-satunya… Tuan muda tidak punya pilihan selain menanggung semua warisan itu. Termasuk masuk ke dunia gelap yang tidak pernah dia pilih sejak awal.”

Air mata Wislay berderai. “Bukankah justru karena dia anak satu-satunya… dia harus dilindungi? Dia kan berharga. Kenapa ayahnya malah menjerumuskannya begitu?”

“Apa... ayahnya bukan manusia? Titik empatinya ditaruh di neraka?”

Suara Wislay menggema di ruangan, penuh luka dan kemarahan. Andrew hanya terdiam. Tatapannya menunduk.

Ia mengembuskan napas panjang, lalu dengan nada datar namun dalam berkata,

"Beginilah cara dunia bekerja, Wislay…"

"Tidak semua orang terlahir dengan hak untuk memilih jalan hidupnya."

Keheningan kembali menyelimuti. Hanya suara mesin oksigen dan rintik hujan di luar yang mengisi ruang waktu.

Tiba-tiba, pintu ruangan perawatan terbuka.

Seorang dokter lelaki keluar. Andrew langsung berdiri dan menghampirinya. Mereka berbicara pelan, saling bertukar kata serius. Wislay tidak bisa mendengar sepatah kata pun—sebab saat itu, pikirannya hanya dipenuhi satu hal: melindungi.

Tangannya mengepal, kuat hingga sendi-sendi terlihat.

"Aku tidak akan membiarkan Gustro sendirian lagi."

"Jika dunia ini kejam, maka biarkan aku yang melawan dunia untuknya."

Matanya berkilat dengan tekad yang membara.

“Aku... Wislay, tidak akan mundur.”

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!