“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 10
“Bu Mina! Dari mana saja baru kelihatan?”
“Saya baru pulang dari kota. Mencari Sawitri ke rumah saudara disana, siapa tahu dia berkunjung, tapi ternyata tak ada,” mata Bu Mina berkaca-kaca, nadanya terdengar begitu lirih.
“Kemana sebetulnya dia? Apa tak kasihan dengan mamaknya yang kalang kabut mencarinya. Kami pun tak pernah melihatnya lagi, terakhir kali waktu pagi hari itu dia lewat depan rumah,” ucap prihatin salah satu dari mereka.
Bu Mina menghela napas berat, bahunya terkulai, ekspresi wajahnya begitu tertekan. “Ya sudah ya Bu, saya pulang ke rumah dulu.”
“Tetap semangat Bu Mina, kendatipun kini sebatang kara, bukan berarti boleh menyerah. Semoga Sawitri segera kembali dalam keadaan sehat walafiat.”
“Terima kasih, Bu.” Bu Mina bergegas pergi dari sana sembari menunduk, ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti sewaktu diculik oleh Kunti.
.
.
“Mamak nya Sawitri!” Surti ibunya Farida, sangat terkejut sekaligus senang melihat kepulangan tetangganya. Dia baru saja selesai menyapu halaman rumah bu Mina.
“Apa kau yang selalu membersihkan pekarangan rumah saya?” tanyanya seraya memandang pelataran rumah yang terlihat bersih dari sampah dedaunan.
Deg.
Betapa tercengang nya Surti mendengar nada sedikit ketus itu.
“Iya Bu, sekalian menyapu halaman rumah saya. Ibu Mina kemana saja selama dua minggu ini?” Surti mengguncang pelan bahu wanita dua tahun lebih tua darinya, terlihat sekali bila dirinya senang.
Sama seperti menjelaskan kepada para ibu-ibu tadi, bu Mina pun berkata hal sama kepada Surti.
“Yang tabah ya Bu. Saya tahu ini berat, tapi hidup tetap terus berjalan.”
“Kau tenang saja! Saya takkan putus asa. Selagi belum ada yang mengabarkan ataupun menemukan jasad Sawitri, saya masih memiliki alasan untuk tetap hidup.”
‘Bisa jadi karena bu Mina masih dalam masa berkabung, dan belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpanya,’ monolognya dalam hati. Mencoba memahami nada tidak bersahabat bu Mina.
“Surti, terima kasih ya. Kau begitu baik serta perhatian, maaf belum bisa membalasnya hal yang sama.” Bu Mina menepuk lembut lengan tetangganya, dia memperbaiki ekspresi serta sikap yang tadi terlihat kurang bersahabat.
“Jangan ucap seperti itu, Bu. Saya ikhlas melakukannya, kita kan tetangga. Sudah sepatutnya saling tolong menolong,” katanya lembut dengan sorot mata menghangat.
“Oh ya, apa Nyonya Samini masih mencari pembantu rumah tangga?” tanyanya tiba-tiba.
Kening Surti mengernyit. “Masih, tapi carinya yang masih muda, kalau bisa belum menikah. Soalnya sesekali akan menginap di rumahnya, kalau misalkan ada acara besar yang diadakan di sana.”
Bu Mina terkekeh geli, sampai matanya menyipit. “Kau salah terka, ini bukan untukku, tapi keponakanku yang sebulan lagi akan datang kesini. Ikut tinggal bersamaku, dia berpesan minta dicarikan pekerjaan yang pergi pagi pulang sore, supaya malam hari bisa menemani ku.”
“Aku kira Bu Mina yang ingin melamar kerja.” Surti tertawa sembari menutup mulutnya, dia terlihat malu. “Dia sudah menikah belum, Bu?”
“Belum. Masih gadis, umurnya juga belum genap 21 tahun.” Bu Mina mundur satu langkah, menatap sosok wanita muda berbaju terusan yang mencetak bentuk tubuhnya. Nyaris saja ia kehilangan kendali, tapi langsung sadar diri dan kembali memasang ekspresi tenang.
Surti mengikuti arah pandang tetangganya, menggelengkan kepala saat melihat putri semata wayangnya berpakaian yang jelas mengundang perhatian para kaum Adam bermata keranjang.
“Saya sudah lelah menasehati serta menegurnya. Jujur, malu sekali kalau ada para warga yang berbisik-bisik bergosip tentang Farida. Namun apa mau dikata, bapaknya malah bangga karena anaknya menjadi biduan terkenal.” Surti menarik napas panjang, menoleh lagi ke bu Mina.
"Yang sabar ya. Ya sudah saya mau mau masuk dulu, mau berbenah.” Bu Mina melangkah tenang, menaiki undakan tangga dan membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
Surti pun berlalu, hendak masuk ke dalam rumahnya sendiri. Menatap nanar pada sang putri dan suaminya yang tengah berbincang sambil makan pisang goreng.
“Kemana Mina selama ini?” tanya Rahman, sengaja dia duduk di teras samping, tentu saja penasaran akan kepulangan tetangganya yang tiba-tiba, seperti saat kepergiannya tanpa pamitan.
Surti menyandarkan sapu lidi nya di dinding tembok rumah. “Ke kota, mengunjungi saudaranya. Oh iya, katanya bulan depan keponakan bu Mina mau tinggal di kampung ini, dia minta dicarikan pekerjaan. Apa nyonya Samini masih membutuhkan pembantu?”
“Masih, gadis apa sudah berkeluarga?” selama ini Rahman lah yang mencari gadis untuk dipekerjakan di rumah juragan Bahri, seringkali dari luar daerah. Agar sewaktu sosoknya lenyap tidak menggemparkan warga kampung mereka.
“Masih gadis!” jawabnya cepat.
Rahman langsung duduk tegak, menurunkan kakinya yang tadi bersila. Netranya berbinar cerah. “Kau pastikan jangan sampai lepas macam tempo hari, bilang kalau upahnya lumayan besar, biar dia tergiur.”
“Sebetulnya pekerjaan di rumah Nyonya Samini itu berat betul atau bagaimana? Rata-rata jarang ada yang betah.” Surti menatap serius wajah suaminya, dia sering bertanya tapi tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan.
“Halla, mereka saja yang ngelunjak Buk. Udah gitu murahan lagi! Niatnya bukan kerja, tapi ingin menggoda tuan Hardi, berharap jadi Nyonya muda. Pas tidak ditanggapi, langsung saja menggatal dengan para pekerja laki-laki. Sewaktu ketahuan, langsung melarikan diri agar terhindar dari hukuman!” ketus Farida.
“Masuk akal juga sih, tapi anehnya mengapa mereka bernyali sekali berbuat tak senonoh seperti itu. Padahal jelas-jelas sudah tahu kalau di wilayah transmigrasi memiliki aturan ketat, siapa yang terciduk berzina akan diarak lalu dicambuk.” Surti bersandar pada dinding tembok sambil bersedekap tangan.
"Kau macam tak tahu saja. Namanya sudah nafsu, mana ingat lagi dengan lainnya. Yang penting tersalurkan dulu!” sahut Rahman cepat.
“Cepatlah sana masak yang enak untuk makan siang! Jangan tempa-tempe terus, bosan aku makan itu-itu saja!”
“Kalau mau makan enak, beri aku uang belanja lebih. Jangan pelit-pelit!” wajah Surti terlihat memerah, statusnya memang seorang istri, tapi diperlakukan semena-mena oleh suami dan anaknya sendiri.
Rahman terlihat tersinggung, dia berkacak pinggang. “Sudah berani melawan kau ya! Mau ku hajar lagi macam tempo hari, iya?!”
Farida tertawa terpingkal-pingkal melihat ibunya cepat-cepat masuk kedalam rumah, dikarenakan takut dihajar suaminya yang tidak lain ayah kandungnya sendiri.
Sedikitpun tidak ada rasa kasihan, kendatipun Surti ibu kandungnya sendiri.
.
.
Bu Mina baru saja selesai menyapu lantai papan, kini dia tengah memasukkan benda tajam ke dalam karung.
“Pak, akhirnya berguna juga parang, kampak, gergaji, yang baru kau beli. Namun kali ini bukan untuk memotong kayu, tapi …..” bibir kering itu tersenyum misterius. Ia gulung karung kain tadi, kemudian mengikatnya menggunakan tali rafia, setelahnya diletakkan pada pojok ruangan.
***
Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali bu Mina terlihat menutup pintu rumah, bahunya memanggul buntalan karung berwarna coklat, berjalan cepat melewati jalan pintas agar tepat waktu mencegat laju motor seseorang.
Saat melihat targetnya dari jarak lumayan dekat, langsung saja bu Mina keluar dari semak-semak pinggir jalan, terlebih dahulu memastikan bila tak ada kendaraan lain yang melintas.
“Pak Rahman, boleh saya menumpang sampai perbatasan kampung? Saya ingin ke desa sebelah, hendak mencari pekerjaan. Siapa tahu ada yang membutuhkan tenaga wanita tua ini.”
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....