Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri sempurna tapi tak berguna.
Mataku membulat dengan mulut menganga, aku tak percaya Elang yang dingin akan mengakuiku sebagai pacarnya. Dihadapan para tamu undangan yang mayoritasnya orang kaya, sementara aku orang miskin.
Aku menatapnya dari sisi, tak salahkah ia berujar?
Semua mata menatap kearah kami dengan tatapan kaget, begitupun orang tua Elang dan juga pasangan selingkuh itu.
Jika dulu, aku pasti senang dengan pengakuan Elang itu, tapi sekarang ... Itu tak layak lagi. Aku tak ingin menjadi Zea yang mengejar cinta pria sebelah tangan lagi, tetapi menjadi Zea yang punya harga diri tinggi.
Pengakuan Elang bagiku hanyalah sebuah angin lalu yang tak akan pernah terjadi, semua itu ku anggap mimpi.
Aku melepaskan diri dari rangkulan Elang dengan kasar, "Kamu apa-apaan, sih! Ngaku-ngaku aja," ujarku.
Aku berlari dari tempat itu, pesta yang megah layaknya opera internasional. Ini bukanlah duniaku, bukan pula tempat yang seharusnya aku berada. Aku tetaplah aku, wanita yang sudah menjadi istri dan ibu dalam sepuluh tahun lalu, bukan lagi wanita yang mencintai sosok Elang.
Walau hati ini masih berdebar pun, dunia kami sudah berbeda. Kami ... Bukanlah dua manusia yang akan menjadi satu pasangan yang serasi.
Aku berhenti disebuah taman hotel, nafasku terengah dengan sesaknya dada mengingat kejadian barusan. Aku berjongkok menyembunyikan wajahku, lelah dengan semua hal yang menguji perasaanku.
"Kenapa elo lakukan itu?" suara Elang yang bertanya padaku, tiba-tiba.
Aku tak tahu dia akan mengejarku.
Aku menengadah, "Seharusnya aku yang bertanya begitu?"
Elang berkacak pinggang, mengalihkan pandangannya sekejap lalu kembali menatapku lagi.
"Kita bisa berpura-pura berhubungan didepan mereka, tapi karena sikap lo tadi. Kesempatan itu hilang," ujar Elang dengan nada geram.
Mendengar perkataan Elang aku paham sekarang, ternyata begitu. Aku diundang hanya untuk dijadikan alat kepura-puraan untuk membalas perselingkuhan mereka.
Aku berdiri, menghadap pak Elang yang terhormat ini.
"Tidak semua perselingkuhan itu harus dibalas dengan perselingkuhan juga, karena bagiku kita sama saja seperti mereka," kataku, bagiku ide Elang adalah keputusan yang salah.
"Apa semua akan kembali kesemula, jika semua itu dibalas dengan selingkuh juga, tidak El!" aku menggelengkan kepalaku.
"Hanya rasa sakit yang akan bertahan menjadi luka," ujarku memukul dadaku sendiri, kutatap bola mata lelaki itu sangat dalam.
Ada rasa benci bercampur marah yang membakar dalam manik matanya, air mataku yang kutahan kini luruh juga. Aku muak, bertemu dengan lelaki ini dan aku memilih membalikkan badan dari pria yang membuatku terjebak dalam rumor yang salah.
......................
Aku pulang sendirian, melangkah pelan dengan wajah yang menyedihkan. lintasan kejadian saat mas Reza berpura-pura tak mengenalku, teringat kembali.
Aku tak mengerti, sungguh! Salahku apa? Hingga ia melakukan pengkhianatan dalam pernikahan kami.
Tubuhku luruh, meratapi nasib yang tak jelas didepan mataku. Nasib pernikahan yang merenggang, karena sebuah perselingkuhan kakiku terasa lemas mengingatnya.
"Apa yang kau lakukan?" Lagi suara laki-laki membuyarkan lamunanku.
Kupikir itu Elang.
"Tak bisakah, kamu biarkan aku sendiri. Kenapa terus mengejarku?" aku menengadah ingin berteriak marah, melampiaskan rasa sakit yang kembali melukaiku pada pria dihadapanku.
"Mas Reza," gumamku.
"Iya, ini aku. Suami kamu, ayo kita pulang!" ajaknya.
Tapi, aku merasa benci apalagi saat mengingat wanita itu mengusap jas hitam yang dipakainya tepat didepan mataku. Wanita itu memegang lengannya dengan mesra seakan ia adalah pria miliknya seutuhnya.
"Aku tidak mengenal anda tuan," ujarku membalas apa yang ia lakukan dipesta itu.
Aku hendak pergi, tapi tangan suamiku memegang lenganku. Aku menghempaskannya dengan kuat, dengan kasar namun ia tak mau melepaskanku.
"Ayo kita pulang!" ajak mas Reza memaksaku dengan menarik kuat lenganku.
Aku meronta-ronta, aku marah padanya dan tak ingin menatap muka mengerikannya. Aku tak ingin tubuhku menjadi tempat pelampiasan kemarahannya.
Dijalanan sepi ini, dimalam yang gelap ini aku kembali mendapatkan penyiksaan.
Plak
Sebuah tamparan keras menyentuh pipi kananku, hingga telingaku rasanya berdengung. Aku menangis, bukan karena tamparan ini, tapi karena sikapnya yang tak bisa lagi lembut. Hatiku kian sakit dengan luka yang tak hanya didalam fisik, tapi mentalku pun ikut rusak.
"Ayo masuk!" titahnya mendorong tubuh seperti kain rombeng yang jauh dari kata layak.
Aku meringis, tanganku nyeri terbentur pada sesuatu yang keras dikendaraan yang mewah, dengan aroma parfum wanita itu.
Brak
Suara pintu mobil yang ditutup dengan kasar. Pria itu memutari mobil dan masuk kebagian kemudi.
Ia menjalankannya dengan mengebut, tak peduli kecelakaan yang bisa saja terjadi. Aku semakin takut, tubuhku gemetar melihat wajah lain dari suamiku.
Jalan-jalan yang dilalui pun seakan hanya sekilas, tanpa terasa kendaraan ini sudah terparkir didepan rumahku. Ia keluar, memutari mobil dan memaksaku untuk masuk kedalam rumah dengan menarik tanganku tanpa ada kata halus.
Brak.
Pintu rumah ditutup dengan kasar, ia menghempaskan tubuhku kearah sofa ruang tamu.
Dada suamiku kembang kempis, matanya tajam seolah ingin menerkamku dengan caranya. Tapi aku hanya bisa diam, tak ingin menatapnya lagi.
"Sejak kapan kau berhubungan dengan Elang?" pertanyaan yang pertama keluar dari mulut suamiku.
Aku tak menjawab, namun mataku mengarah padanya.
"Jawab, zea!" Ia mendekatiku yang duduk disofa dengan memegang tangan kananku yang sakit.
Mas Reza berlutut dengan sebelah lutut bertumpu pada lantai, menatapku lekat sembari memegang kedua bahuku.
"Dia Bosku, aku bekerja di perusahaannya," jawabku jujur sambil membalas tatapan tajamnya.
Mas Reza mendengus, ia kesal lalu mencengkeram bahuku dengan kuat.
"Kenapa harus di Perusahaannya? Apa tak ada perusahaan lain yang bisa menerima kamu? Hah!" tanya suamiku dengan nada membentak, giginya menggertak menatapku kian tajam.
Aku semakin ketakutan, wajah itu kian mengerikan dimataku.
"Tak bisa, kamu harus keluar dari tempat kerjamu. Kalau perlu kau di rumah saja," ujar Mas Reza, suaranya melunak melepaskan cengkraman dibahuku.
Tangannya beralih memegang tangan kiriku, mengusapnya dengan lembut dan menciumnya. Ia mulai berubah menjadi sosok suamiku yang dulu, tatapannya, sikapnya yang mendadak berubah menjadi halus.
"Ya, kamu istri yang sempurna. Kamu di rumah saja, biar aku yang bekerja," ucapnya membujukku dengan nada yang lembut.
Ia pasti berbohong, kan. Dulu ia sendiri yang menyindirku untuk berusaha dan bekerja, aku masih ingat kata-kata nyelekitnya.
"Kalau kamu mau beli sesuatu berusahalah, kamu itu lulusan sarjana masa cuma jadi ibu rumah tangga."
"Bekerjalah, kau pikir aku ini mesin ATM-mu. Kerjamu cuma di rumah saja, istri gak berguna!"
Kata-kata itu begitu menusukku, bagai jarum yang beracun dan menjalar hingga ke ulu hatiku. Mungkin aku bisa memaafkannya, tapi aku tak bisa melupakan sakitnya.
"A-aku tak mau, aku ingin tetap bekerja. Bukankah mas bilang, aku istri sempurna tapi aku tak berguna," ucapku menolak perintahnya.
"Istri itu bukan pembantu di rumahmu, suami tak berhak mengatur hidupnya dan istri berhak untuk hidup sesuai keinginannya," ujarku melepaskan genggaman tangannya, lalu pergi kekamarku menguncinya dan menangis bersandar pada pintu.
Tubuhku luruh dan masih gemetar, tangisku kian deras sederas rasa sakit yang kurasakan.
Untuk kali pertama aku tak menuruti perintah seorang suami, karena aku berhak untuk hidup bebas tanpa kekangan.
kenapa harus pelit sih ma istri..