Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kabar yang tak pasti
Langit bandung berawan mendung.
Gerimis tipis turun sejak sore tadi,membasahi atap rumah sederhana di pinggiran kota,tempat tinggal Pak Jono dan keluarganya.Di ruang tengah,sebuah televisi tua menyala, memutar berita nasional yang disiarkan langsung dari studio.
Di hadapan televisi, Bu Ani, istri Pak Jono, duduk dengan wajah pucat dan mata sembab. Di sampingnya, ketiga Siti,Rudi dan si bungsu Ayu terdiam dalam kebingungan. Hanya suara reporter dari layar kaca yang terus bergema, seolah menghantam jantung mereka berkali-kali.
“pencarian korban tenggelamnya kapal nelayan km Laut LAUT JAYA 08 yang meledak di perairan Andaman masih terus dilakukan oleh tim SAR gabungan Indonesia dan India.Hingga saat ini, baru tiga jasad yang ditemukan dan berhasil diidentifikasi. Namun, tujuh orang lainnya masih dinyatakan hilang, dan sejumlah awak diduga selamat meski belum diketahui keberadaannya.”
Wajah Bu Ani menegang. Tangannya menggenggam kain sarung dengan erat, hingga buku-bukunya memutih.
“pihak keluarga korban telah diminta bersabar dan tetap berdoa. Sementara itu, dugaan sementara adalah kapal mengalami kerusakan teknis sebelum akhirnya meledak dan terbakar hebat. Salah satu sumber menyebutkan kemungkinan kapal masuk ke zona ranjau laut sisa konflik masa lalu di kawasan perairan tersebut.”
“Ya Allah, bapaaaa! …”
bisiknya pelan, seolah memanggil dalam hati.
Satu-satunya komunikasi terakhir yang ia terima dari Pak Jono adalah sebuah panggilan suara singkat tujuh hari lalu, beberapa jam sebelum keberangkatan dari pelabuhan. Suara suaminya waktu itu terdengar letih, namun hangat:
“ibuuu… doain bapa ya.! Kalau rezeki kita bagus, habis ini kita bisa buka warung lagi, lebih besar dari dulu.”
Ia bahkan sempat bercanda, seperti biasa. Tapi sekarang… hanya suara itulah yang tersisa.Tidak ada kabar lanjutan. Tidak ada sinyal. Tidak ada kontak dari siapa pun.
------
••••••
Sejak berita itu muncul semalam, rumah mereka tak pernah sepi.Tetangga berdatangan. Beberapa membawa makanan, beberapa hanya duduk dan berdoa bersama.
Di sudut ruang, adik Pak Jono, Tatang, mencoba menelepon pihak agen penyalur kerja kapal. Berkali-kali tak dijawab. Sekali terhubung, hanya diberi jawaban menggantung.
“Pihak keluarga diminta bersabar. Kami sudah berkoordinasi dengan dinas perhubungan lau dan basarnas,jika sudah ada perkembangan,kami akan langsung mengabari! ”
kata suara di seberang, enteng, dingin, tanpa emosi.
Tatang membanting ponsel ke meja. “Sabar, sabar… dia pikir kita batu?! Orang di kapal itu punya anak istri!”
Bu Ani hanya bisa menunduk. Airmatanya mengalir dalam diam. Ia bukan tipe perempuan yang suka mengeluh, tapi hatinya kini tak bisa disangkal,ia merasa setengah jiwanya ikut tenggelam bersama kapal itu.
---------
Malam yang Berat
Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Siti, Rudi, dan Ayu sudah tertidur di kasur tipis di ruang tengah.
Siti sesekali menggigiti ujung selimut, Rudi tidur memeluk bantal lusuh, dan Ayu meringkuk sambil menggenggam boneka dari kain perca buatan ibunya.
Bu Ani duduk di depan meja kecil, menatap layar ponsel yang kini hanya menyala menampilkan foto terakhir Pak Jono:
berdiri dengan baju pelaut pinjaman, senyum canggung, dan latar belakang kapal tua.
Matanya tertumbuk pada sepotong tulisan dalam chat yang dikirim Pak Jono sebelum berangkat:
“Kalau bapa belum pulang seminggu, jangan panik dulu. Mungkin gak ada sinyal.”
Tapi ini sudah masuk hari delapan.
Dan berita di televisi tadi menyebutkan… tiga jasad telah ditemukan.
Bu Ani menggigil. Ia belum tahu siapa tiga orang itu. Dan rasa takut mulai menyergap:
bagaimana jika salah satunya adalah jono? Atau… bagaimana jika tidak ditemukan sama sekali?
Di luar, petir menyambar. Angin menderu. Dan dalam keheningan malam,Bu Ani berdoa dengan suara tercekat, sambil menggenggam baju terakhir suaminya yang masih tersimpan di lemari,aroma keringatnya belum hilang.
------
Keesokan Harinya
Surat Panggilan
Pagi hari, seseorang mengetuk pintu.
Tatang yang membukakan. Di depan rumah, berdiri seorang petugas dari Dinas kelautan dan Perikanan, membawa map cokelat dan wajah lelah.
“Permisi, ini rumah dari Pak Jono?”
Tatang dan Bu Ani mengangguk cepat.
Petugas itu menyerahkan surat. “Ini surat pemberitahuan dan pendampingan keluarga korban. Sementara ini, Pak Jono dinyatakan sebagai salah satu awak yang masih dalam pencarian. Tiga jenazah yang ditemukan sudah teridentifikasi dan… bukan beliau.”
Bu Ani langsung lemas bersimpuh. Separuh lega, tapi juga separuh ketakutan.
Petugas itu menambahkan, “Tim SAR masih melanjutkan operasi. Ada kemungkinan beberapa korban terombang-ambing di laut, atau… terdampar di pulau-pulau kecil. Kami masih berharap.”
“Tapi ini sudah masuk hari delapan Pak… kalaupun hidup, mereka makan apa?” tanya Tatang dengan nada getir.
Petugas itu hanya menghela napas. “Bapak bisa ikut dalam forum keluarga korban. Besok siang diadakan rapat koordinasi. Nanti kami beri alamat dan undangannya.”
Setelah petugas itu pergi, suasana di rumah kembali suram.
-----
Di Tempat Lain: Jasad Keempat
Sore itu, berita baru muncul. Kali ini dari lokasi operasi SAR.
“sore ini, satu lagi jasad ditemukan mengambang sekitar 6 mil dari lokasi kapal meledak. Identitas korban masih dalam proses, namun jasad dalam kondisi mengenaskan, hanya bagian atas tubuh yang utuh…”
Bu Ani menutup wajah dengan kedua tangan. Ia tak sanggup lagi menonton.
Tatang mematikan televisi. “Sudah… sudah dulu. Jangan ditonton terus. Nanti malah sakit sendiri.”
Siti muncul dari kamar, wajahnya polos, namun matanya bertanya.
“Ibu… Ayah kok belum pulang juga?”
Bu Ani tersenyum tipis.
“Ayah masih kerja, sayang. Tapi kita terus doakan, ya?”
Siti mengangguk.
“Ibu…” ia berbisik. “Kalau ayah tenggelam, ayah bisa berenang ‘kan?”
Bu Ani memeluknya erat. Pelukan itu menjadi satu-satunya hal yang bisa menahan air mata yang kembali jatuh tanpa henti.
------
Di malam itu, setelah semua tertidur, Bu Ani menyalakan kembali ponselnya. Ia membuka pesan suara terakhir Pak Jono, mendengarkan pelan-pelan.
“bu… jangan khawatir ya. Bapa akan pulang. Selamat atau babak belur, bapa pasti pulang. Demi ibu dan anak-anak.”
Suara itu membuatnya menangis tersedu.
Dan di seberang lautan, di sebuah pulau yang belum terpetakan, Pak Jono tergeletak dengan napas berat, berjuang di antara hidup dan mati.
Siaran berita nasional kembali menayangkan breaking news sore itu..
Di layar kaca, muncul wajah serius seorang reporter wanita dengan latar belakang peta perairan Andaman dan foto kabur sebuah skoci dari atas udara.
"Pemirsa, berikut adalah informasi terbaru terkait tenggelamnya kapal KM Laut Jaya 08. Tim SAR gabungan Indonesia dan India telah menemukan jejak kemungkinan korban selamat. Terpantau melalui pengawasan udara menggunakan drone, terlihat sebuah sekoci kecil terdampar di bibir pantai sebuah pulau tak berpenghuni di gugusan Kepulauan Andaman. "
Wajah reporter menegang. Ia melanjutkan laporan dengan nada pelan namun tegas.
“Lokasi temuan berada di dalam wilayah terlarang yang secara administratif masuk dalam yurisdiksi penuh Pemerintahan India. Pulau tersebut tergolong kawasan konservasi ekstrem dan tertutup bagi publik,karena merupakan habitat kelompok suku asli yang masih menolak interaksi dengan dunia luar.”
“Semua bentuk eksploitasi termasuk pengambilan gambar,pelayaran sipil, dan perikanan dilarang keras tanpa izin tertulis dari pemerintah India. KM Laut Jaya 08 diduga telah melanggar batas perairan internasional dan melakukan aktivitas illegal fishing di area terlarang tersebut”
“Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi tengah berupaya melakukan koordinasi lintas negara untuk membuka akses evakuasi dan pencarian sisa korban. Hingga saat ini,drone terus dikerahkan untuk menyisir pulau-pulau kecil lainnya yang tersebar di wilayah itu. Namun, medan berat dan ketatnya akses membuat proses pencarian berjalan lambat dan penuh risiko.”
Reporter menghela napas sejenak sebelum melanjutkan.
“Gambar sekoci yang kami tampilkan adalah dokumentasi resmi Basarnas yang telah diverifikasi. Belum diketahui siapa saja yang berada dalam sekoci tersebut, namun besar kemungkinan bahwa sejumlah awak KM Laut Jaya 08 berhasil menyelamatkan diri pasca ledakan dan kebakaran hebat di atas kapal.”
Kamera lalu menampilkan citra udara gambar buram sekoci yang tersangkut di pasir putih,setengah tenggelam dalam ombak kecil.
Tak ada tanda manusia terlihat dari ketinggian itu.
-----
Di Rumah Bu Ani
Air mata Bu Ani kembali jatuh saat menatap layar.
Ia kini tak sendiri.
Di sekelilingnya, tetangga dan kerabat memenuhi ruang tengah rumah.
Beberapa menyeka air mata.
Beberapa berdoa dalam hati.
Tatang mencengkram lututnya.
“Gila… ternyata masuk wilayah terlarang. Kenapa bisa-bisanya kapal nelayan nyasar ke sana?”
Seorang tetangga tua berbisik,
“Mungkin mereka kehabisan ikan di wilayah biasa...lalu coba cari di luar batas. Tapi kalau sampai ke pulau suku primitif… itu artinya…”
Ia tak melanjutkan kalimatnya.
Siti,anak tertua Bu Ani, memeluk adik-adiknya. “Rudi… Ayu… tenang ya. Ayah pasti pulang.”
Rudi mengangguk lemah, sementara Ayu hanya diam dengan jari di mulutnya, memeluk boneka kelinci lusuh.
-----
Pikiran Bu Ani
Pikiran Bu Ani berkelana. Ia membayangkan pakJono tergeletak di pantai itu, mungkin luka-luka, mungkin kelaparan. Atau mungkin… bertemu dengan orang-orang yang tinggal di pulau itu. Suku asing yang belum pernah bertemu dunia luar. Ia pernah menonton dokumenter tentang mereka,hidup seperti manusia zaman purba, tak segan membunuh siapa pun yang mendekat.
"Ya Allah..lindungi suamiku," bisiknya pelan.
Ia menatap ketiga anaknya yang kini tertidur di pangkuannya.
Ia tak boleh runtuh. Ia tak boleh patah. Pak Jono masih hidup. Ia yakin itu.
-----
Sementara itu.
Di layar TV, berita terakhir menampilkan suara dari juru bicara Basarnas:
“Kami terus memantau wilayah sekitar sekoci yang terdampar. Kami percaya, jika ada yang selamat, mereka akan berusaha meninggalkan jejak. Kami mohon doa dan kesabaran dari keluarga korban.”
Dan di seberang samudra,di pulau yang diliputi kabut dan bayangan pohon raksasa, sebuah sekoci terkoyak masih berdiri miring di tepi pantai.
Tak jauh dari sana,jejak kaki samar menuju hutan lebat, lalu menghilang…