NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Almost Mine

Sara melangkah cepat menuju pintu. Rasa tidak nyaman di tubuhnya belum juga reda, dan keberadaan Nathaniel semakin menyesakkan.

Namun sebelum sempat menyentuh gagang pintu, tangan Nathaniel menangkap pergelangan tangannya. Genggamannya kuat, tidak kasar, tapi cukup untuk menghentikannya.

"Sara, tunggu," ucapnya, napasnya berat, seperti menahan amarah dan kekecewaan yang meletup perlahan.

Sara menoleh cepat, menatap tangannya yang digenggam, lalu mendongak menatap wajah Nathaniel dengan sorot tajam.

"Lepaskan," ucapnya datar.

Nathaniel tidak bergerak. Hanya tatapannya yang berubah. Lebih dingin. Lebih dalam.

"Kau selalu seperti ini, menghindar. Bahkan saat aku sudah membukakan semuanya untukmu." Suaranya berat, mengandung luka yang tak lagi bisa ditutupi.

Sara menyentakkan tangannya kuat hingga lepas, lalu mundur satu langkah.

"Aku tidak pernah minta semuanya, Nathaniel. Kau yang memilih memberi tanpa pernah bertanya apa aku memang menginginkannya?"

Nathaniel menghela napas tajam. "Lalu apa gunanya aku bertanya jika jawabanmu selalu sama"

Sara memejamkan mata sejenak. Mencoba menahan emosinya yang mulai mendidih,

Tubuhnya gemetar, entah karena efek obat atau kemarahan yang mulai muncul bersamaan.

"Sudahlah Nate. Jangan paksa aku untuk menyesal datang malam ini" ucapnya pelan, tapi penuh tekanan.

Wajah Nathaniel mengeras. Ada kilatan emosi yang berbahaya di matanya.

"Lalu siapa yang pantas kau beri tempat itu, hah? Rayden? Atau pria lain yang belum tentu bisa menjaga bahkan menyebut namamu dengan hormat?"

Sara terdiam. Rahangnya mengeras.

"Aku tidak mencari siapa yang pantas, Nathaniel. Yang kubutuhkan adalah seseorang yang tahu kapan harus berhenti memaksakan perasaanya padaku," katanya dingin.

Nathaniel terdiam sejenak. Lalu, dengan nada suara yang lebih dalam, lebih dingin, ia berkata:

"Kalau aku tak bisa jadi orang itu, maka tak seorang pun akan bisa. Kau tak tahu apa yang sudah kukorbankan untuk sampai di titik ini, Sara."

Sara menggeleng perlahan, matanya berkaca-kaca bukan karena takut, tapi karena muak.

"Pengorbanan tak berarti jika tujuannya adalah memaksa orang lain."

Ia pun berbalik, kali ini benar-benar menuju pintu.

Langkah Nathaniel terdengar berat saat menyusul Sara yang hendak pergi dari kamar. Dalam sekejap, tubuhnya yang tinggi menjulang menghampiri, dan tanpa peringatan, ia mengangkat Sara ke dalam gendongannya.

"Lepaskan aku!" seru Sara panik, memukul dada Nathaniel, tetapi kekuatannya tak cukup berarti.

Langkahnya cepat dan mantap membawa Sara ke atas ranjang, lalu tubuhnya menunduk, mengurung gadis itu.

Wajah Sara memucat, napasnya memburu. "Nathaniel... jangan."

Senyum pria itu tak berubah. Dingin. Penuh sesuatu yang tak bisa didefinisikan.

"Kau tak bisa pergi malam ini. Tak akan kubiarkan."

Tatapan Sara menusuk. "Apa kau sadar apa yang kau lakukan?"

"Justru karena aku sadar."

Ia mendekat, suaranya serak menekan.

"Malam ini, aku akan membuatmu tahu, betapa aku menginginkanmu."

Sara menoleh, mencoba menghindar, tapi Nathaniel lebih cepat. Ia menangkap pergelangan tangan Sara, menekannya ke atas kepala seolah menolak untuk kehilangan kendali.

Ciumannya datang tiba-tiba keras, dalam, dan tanpa memberi jeda. Bibir Nathaniel menghantam bibir Sara, menekannya hingga punggungnya makin tertanam ke kasur. Napas protes yang sempat terkumpul di tenggorokannya langsung pecah, tertelan oleh lidah pria itu yang menyusup paksa, mengeksplorasi setiap inci mulutnya.

Bibirnya bergerak tak memberi kesempatan, kadang menekan kuat, kadang menyeret perlahan seperti sengaja mempermainkan. Jemari Nathaniel mencengkeram rahang Sara, menahan agar wajahnya tetap di tempat, memastikan ia menerima setiap sentuhan itu. Tubuhnya menindih penuh, hangat dan berat, membuat Sara tak punya ruang untuk mengelak.

Tubuh Sara menegang, bukan karena gairah... tapi karena ketakutan. Ia bisa merasakan bagaimana Nathaniel berusaha menahannya bukan hanya secara fisik, tapi juga mengurungnya dalam emosi yang tak diminta.

Sara terengah, tubuhnya mulai kehilangan kendali atas napas sendiri. Pagutan Nathaniel tak juga kendur, seakan ia ingin menenggelamkan seluruh kesadarannya dalam ciuman itu.

Sara berusaha melawan, meronta di bawah himpitannya, tapi kekuatan pria itu jauh di luar jangkauannya. Usahanya seperti menabrak tembok yang tak bergeming.

Dalam sisa keberaniannya yang rapuh, Sara menggigit bibir Nathaniel, bukan karena keberanian, tapi sebagai bentuk perlawanan terakhir.

Nathaniel tersentak. Setitik darah terlihat di sudut mulutnya, menyelinap turun dalam garis tipis.

Namun, bukannya mundur, tatapan matanya justru berubah lebih pekat, lebih kelam. Bukan kemarahan yang muncul, tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Obsesi yang tak mengenal batas.

"Sara..." nadanya mengancam lembut, napasnya terasa panas di kulitnya.

"Sekali lagi kau melawan… aku akan membuatmu menyerah dengan caraku."

Tubuhnya menekan, menahan Sara dalam kurungan bayangannya yang gelap. Satu tangannya bergerak dengan gelisah...tergesa, tak terkendali. Jemarinya menarik paksa sisi bawah gaun Sara, membuat suara robekan halus terdengar di antara napas mereka yang tak teratur.

Sara terkejut. Ia membeku sesaat, lalu matanya membulat saat menyadari apa yang baru saja terjadi. Gaunnya terkoyak sampai ke atas, mengekspos sebagian kulitnya dalam balutan yang seharusnya tak dilihat siapa pun tanpa izinnya.

Rasa dingin dan malu bercampur di tubuhnya. Tapi lebih dari itu, ada kemarahan yang melonjak, menyusul rasa takut yang belum sempat mengendap.

"Berhenti! Kau... gila Nate!" teriaknya lantang, matanya menatap tajam walau tubuhnya bergetar.

Nathaniel membungkam Sara dengan ciuman yang mendesak, liar dan penuh desakan, seakan ia tengah berusaha menaklukkan sesuatu yang terus menjauh darinya. Tangannya menahan pergelangan Sara di atas kepala, sementara satu sisi dirinya terus mendesak mendekat, menahan setiap kemungkinan bagi Sara untuk pergi.

Sara menggeliat, mencoba menarik napas, memukul bahunya, mencakar lengan kemeja yang membungkus pria itu, namun Nathaniel tetap tak bergeming. Tubuhnya yang tinggi dan kokoh menjadi penghalang, bukan perlindungan.

Air mata mulai mengalir di pipi Sara, panas, diam-diam mencerminkan ketakutan yang perlahan berubah menjadi keputusasaan. Ia tak bisa menjerit. Tak bisa bicara. Suaranya tenggelam dalam ciuman. Napasnya tersengal dalam cengkeraman Nathaniel yang tak kunjung mengendur. Tubuhnya sudah kehabisan tenaga.

Tatapannya terarah ke samping dan di sanalah, tepat di atas bed table, sebuah vas kaca tinggi berdiri, setengah berisi air dan bunga putih yang sudah mulai layu.

Tangannya bergetar, pelan, mencoba melepaskan diri dari tekanan dada Nathaniel. Ia melirik ke arah pria itu masih membungkuk, menciumi sisi lehernya, menggigit pelan seolah mengukir tanda miliknya.

Dengan sisa tenaga dan keberanian yang ia kumpulkan, Sara bergerak cepat. Tangan kirinya berhasil meraih vas itu. Beratnya lumayan, membuatnya nyaris kehilangan grip. Tapi ia tidak boleh gagal.

Dan saat Nathaniel menurunkan wajahnya ke dada Sara.

Pyarrr!

Suara kaca pecah menggema tajam di kamar.

Nathaniel terhuyung, kepalanya terdorong ke samping, darah mulai mengalir dari belakang telinganya . Pecahan kaca menempel di sisi rambut dan bahunya. Ia mengerang pelan, satu tangan terangkat ke belakang kepala, napasnya tercekat.

"Sialan..."

Sara segera bangkit dengan tubuh gemetar, dressnya koyak, tangannya berdarah terkena serpihan kaca. Ia berusaha menarik potongan kainnya untuk menutupi tubuhnya semampunya.

Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pintu. Namun saat tangannya menyentuh gagang, pintu itu.

Terkunci.

Sara memegangi sisi perutnya yang terbuka sebagian, napas memburu, matanya terus berpindah antara pintu yang terkunci dan Nathaniel yang masih meringis sambil menekan sisi kepalanya.

Dia belum pingsan. Masih sadar.

Sara menoleh cepat ke meja konsol di sisi seberang tempat tidur. Di sanalah telepon hotel berada.

Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi cukup dekat dengan Nathaniel.

Kau harus cepat, Sara... sebelum dia kembali berdiri.

Dengan langkah gemetar dan tubuh setengah membungkuk menahan rasa sakit, ia melangkah. Satu tangan menahan sobekan gaunnya, satu lagi menggenggam ujung meja untuk menjaga keseimbangan.

Ia hampir sampai.

Namun... suara gerakan dari arah ranjang membuat darahnya membeku.

Nathaniel menggeliat. Menggeram pelan. Tangannya kini meraih sisi ranjang, mencoba mendorong tubuhnya bangkit.

Sara memutar arah. Insting bertahan membuatnya menoleh ke sisi lain ruangan dan di situlah ia melihatnya.

Pintu balkon.

Dibingkai tirai tipis berwarna gading, pintu itu setengah terbuka. Angin malam menyusup masuk bersama bunyi samar kota Paris di kejauhan.

Tanpa berpikir, Sara melompat kecil ke arahnya. Membuka pintu lebar-lebar, ia segera keluar ke balkon.

Udara dingin malam menyentuh kulitnya. Ia menggigil, bukan hanya karena suhu, tapi juga karena adrenalin dan ketakutan yang belum turun.

Ia berdiri di pinggiran balkon, memandang ke bawah.

Deg.

Jantungnya nyaris copot.

Empat lantai. Terlalu tinggi untuk melompat.

Namun setidaknya di sana ia bisa-

Sebuah tangan mendadak membekap mulutnya dari belakang keras, kasar, tanpa peringatan.

Sara membelalak. Napasnya tertahan. Ia mencoba meronta, tapi lengan di belakangnya jauh lebih kuat. Tubuhnya tertarik ke belakang, dibekap dalam diam yang mencekam.

Tangan itu terasa hangat... tapi lengket. Ada sesuatu yang menetes pelan ke pipinya.

Darah.

Dan ketika suara berat itu berbisik dekat ke telinganya, bergetar, serak, menahan sesuatu yang meledak di dalam. Sara tahu. Ia tahu betul.

Nathaniel.

Masih hidup. Masih berdiri. Dan lebih berbahaya dari siapa pun malam itu.

"Ssst..." bisiknya, seperti desis ular yang siap menyergap.

"Jangan bergerak, Sara... aku tidak mau menyakitimu. Tapi aku akan melakukannya... kalau kau memaksa."

Sara ingin menjerit, tapi hanya bisa mengeluarkan erangan tercekik. Tubuhnya ditarik kasar menjauhi balkon, diseret masuk kembali ke dalam kamar.

Sara diseret mundur, tubuhnya setengah tertarik menuju pintu kamar. Ia mencoba menginjakkan kaki, menghalangi, tapi Nathaniel membuka pintu dengan bahunya dan mereka kembali masuk ke kamar yang tadi ditinggalkan.

Begitu pintu tertutup, Nathaniel limbung.

Tubuhnya jatuh, dan Sara ikut terjatuh bersamanya ke atas sofa.

Brugh!

Sofa berguncang saat berat badan mereka menghantamnya. Sara meringis, tangannya menyentuh ujung bantal, sementara punggungnya terasa nyeri karena terlipat paksa.

Tubuh Nathaniel separuh menindihnya, tapi bukan dengan tekanan mengancam. Lebih pada bobot tubuh yang kehabisan tenaga. Darah masih menetes dari kepala belakangnya, membasahi bagian samping bantal dan lengan kemejanya.

Vas bunga yang sempat ia gunakan untuk memukul Nathaniel sebelumnya, kini pecah tak jauh dari sofa. Pecahannya tersebar, bersama kelopak peony yang tampak tak berdaya, persis seperti dirinya saat ini.

Botol mineral yang sebelumnya dibawa Nathaniel pun terguling, menyisakan jejak embun di meja kecil. Semua benda itu membentuk satu adegan kacau yang membungkam malam dengan cara yang sangat dingin.

Sara menahan napas, tangannya mulai gemetar. Luka di telapak kirinya-hasil dari pecahan kaca saat pertarungan singkat di ranjang tadi-mulai terasa perih dan hangat. Tapi ia tetap bertahan, tetap sadar, meski tubuhnya mulai limbung.

Nathaniel bergeser pelan, terengah di sampingnya. Wajahnya nyaris jatuh ke bahunya sendiri.

"Sara..." gumamnya, suara yang pelan dan penuh luka. "Jangan pergi..."

Sara menoleh perlahan. Tubuh Nathaniel bergetar pelan, tangannya yang berdarah mencoba meraih ujung gaunnya, namun hanya menggantung lemah.

"Kau... masih di sini, kan..." lanjutnya. Matanya mulai mengabur oleh darah yang menetes dari belakang telinganya, namun tetap terarah pada Sara. "Aku tak ingin sendirian malam ini..."

Sara hanya bisa menatapnya seluruh tubuhnya menggigil hebat, bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang mencabik dari dalam, membuat napasnya tercekat di tenggorokan. Tapi dia tetap berdiri. Retak, tapi belum runtuh.

Dan saat ia hendak mundur mencoba menjauh meski hanya beberapa inci-

BZZZ-BZZZ-

Ponsel di saku jas Nathaniel bergetar keras. Jas itu teronggok di sisi sofa, tempat Nathaniel meletakkannya sejak pertama kali mereka masuk.

Sara menoleh cepat ke arah sumber suara. Ia tahu itu mungkin harapan satu-satunya. Tapi saat ia hendak meraih...

Nathaniel lebih dulu menyambar jas itu dan dengan satu hentakan frustrasi, melempar ponsel ke lantai.

BRAK!

Ponsel itu terpental, layar pecah menghantam kaki meja. Suaranya memantul keras di ruangan yang sunyi seperti mimpi buruk yang baru saja dikonfirmasi.

Sara tersentak, tubuhnya membeku sejenak.

Lalu, secepat itu...

"TIDAK!!" serunya keras, nyaris teriakan penuh panik dan ketakutan.

Tangannya terulur ke arah lantai, meski ia tak sempat menyentuh apa-apa.

"Itu satu-satunya...!" suaranya pecah. "Satu-satunya cara aku bisa keluar dari ini!"

Napasnya memburu, matanya mulai basah. Bukan sekadar karena ponsel yang hancur, tapi karena kenyataan pahit yang datang bersamanya:

Tak ada yang tahu.

Tak ada yang bisa ia hubungi sekarang.

Nathaniel hanya menatapnya, terengah. Wajahnya terlihat lebih hancur dari sebelumnya... tapi bukan karena rasa bersalah. Lebih karena kehilangan kendali.

Dan Sara, di titik itu, tahu satu hal:

Ia harus tetap sadar.

Harus tetap bertahan.

Karena satu-satunya yang tersisa... hanyalah dirinya sendiri.

Sara menutup mata sejenak, tubuhnya berguncang tak hanya karena ketakutan, tapi juga karena kenyataan yang terlalu kejam untuk diterima. Tubuh Nathaniel masih limbung di sebelahnya, napasnya berat, tapi itu tak membuatnya aman. Tidak malam ini.

Jantungnya berdetak terlalu cepat, terlalu nyaring. Ia bisa mendengarnya di telinga, seakan tubuhnya mencoba mengingatkannya: bertahan. Bertahan, meski semuanya terasa mustahil.

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!