NovelToon NovelToon
BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / One Night Stand / Selingkuh / Pernikahan Kilat / Roman-Angst Mafia
Popularitas:658
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.

Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.

Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.

•••

Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.

Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.

Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.

⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Culik?

***

Besok paginya… untungnya gak ada kejadian apa-apa.

Brea bangun sambil narik napas panjang. Kepalanya terasa lebih enteng, gak lagi berdenyut kayak semalam. Tapi hidungnya langsung diserang aroma tumisan dan daun bawang dari dapur, tanda masakan sang mamak sudah matang.

'Kriyuttt,,,,'

“Duh… laper.”

Perutnya spontan keroncongan. Tubuh kecilnya auto loncat dari tempat tidur buat cari sarapan.

Tapi, pas di ruang makan, begitu Brea mengangkat sendok, matanya langsung ketemu tatapan Pak Mora. Tatapan yang jelas-jelas bilang: kau hutang penjelasan sama ayah.

Mayang, mamaknya, paham banget aura itu. Dia meletakkan sendoknya pelan, tersenyum tipis.

“Aku… mau ambil uang dulu, Yah, di ATM. Gak lama kok,” katanya, meraih tas lalu melangkah keluar.

Brea menarik napas, menatap cangkir tehnya yang berembun.

“Yah… gimana ceritanya, tiba-tiba aku bisa pulang?” tanyanya pelan.

Pak Mora menaruh sendok, mengusap dagu sebentar.

“Oh, itu? Kau ditolong orang baik. Orang yang pernah ku tolong dulu.”

Brea mengangkat wajah. “Orang baik? Siapa?”

Pak Mora geleng pelan, bibirnya menekan ke dalam, pandangannya menghindar.

“Bah, kau gak kenal juga kalau ku sebut namanya. Yang jelas, dia sekarang orang berpengaruh. Punya bisnis besar. Kebetulan… pengawalnya lagi ngejar Renggo—orang yang nyuri aset mereka. Waktu itu mereka nemuin kau pingsan, terus dibawa ke rumahnya.”

Brea menunduk. Jemarinya saling meremas di pangkuan.

“Kemarin malam… aku lagi nunggu taksi online. Tiba-tiba orang-orangnya Renggo datang. Mereka banyak, Yah. Kupikir mereka begal. Jadi… ku lempar tas. Biar mereka ambil aja, supaya aku bisa lari.”

Suara Brea mulai bergetar.

“Tapi… mereka malah nyumpel mulutku pake sapu tangan… terus gelap. Aku gak bisa napas… sadar-sadar, aku udah di ruangan bau, lembap, gelap. Dan…”

Matanya membesar. Nafasnya patah-patah.

“Dia ada di situ. Renggo… duduk di kursi. Mukanya… ngeri banget, Yah.”

Suara Brea akhirnya pecah. Air mata mengalir, membasahi bulu matanya.

Pak Mora menggeser kursi, mendekat, lalu menepuk bahunya pelan.

“Sudah… lupakan aja. Kau aman di sini,” ucapnya menenangkan.

Brea mengangguk, tapi tatapannya tetap kosong.

“Untuk sementara… bisa gak kau jangan terlalu sering keluar rumah? Renggo belum ketangkap sampai sekarang. Aku gak tahu, entah trik apa lagi yang dia pake buat nangkap kau.”

Brea terdiam lama, lalu mengangguk kecil.

Bagi Pak Mora, ini aneh sekaligus melegakan. Aneh, karena Brea yang biasanya keras kepala sekarang nurut. Tapi juga sedih, karena itu berarti anaknya benar-benar ketakutan—sampai kepribadiannya yang tangguh, tukang berontak, seolah menciut.

Renggo! Memang kau anak setan! Awas kau, kalau sampai kutangkap… kubikin lembek kau di tanganku!

Geram Pak Mora dalam hati.

***

Dua hari berlalu, tapi penangkapan Renggo masih buntu. Semuanya serba abu-abu. Seolah makhluk bernama Renggo itu ibarat siluman bunglon, kadang terasa keberadaannya, tapi sekali dicari, sudah lenyap entah ke mana.

“Kek mana? Kalian belum capek standby, kan?” tanya Pak Mora lewat telepon ke Saloka.

Untuk sementara, keamanan Brea masih dijaga Tim Khusus Aurora. Sedangkan Pak Mora? Dia memilih terjun langsung memburu Renggo. Setiap petunjuk sekecil apa pun ia datangi. Bahkan beberapa anggota sudah mengintai kediaman Renggo di Medan.

“Baru dua hari, Om. Belum bisa dibilang capek. Udah biasa,” jawab Saloka santai.

“Om sendiri gimana? Ada petunjuk baru?” tanya Saloka balik.

“Belum. Semuanya makin nggak jelas. Semua jejak udah ku datangi, tapi nihil. Anak setan itu kayak punya pelindung iblis,” geramnya, sampai giginya bergemeletuk.

“Tenenet,,,,! Cintai ususmu, minum Yakult tiap hari!”

Suara marah Pak Mora langsung tenggelam, kalah oleh lantangnya pedagang Yakult keliling yang mengayuh sepeda. Situasi tegang mendadak berubah absurd.

Saloka menghela napas panjang, matanya tetap awas menatap pedagang Yakult itu, yang… ternyata, masih sama saja kayak orang yang kemarin.

“Sabar aja dulu, Om. Yang penting kita terus gerak. Aku juga bakal terus jaga di sini sampai dia ketangkap,” ucap Saloka, setengah yakin, setengah pasrah.

Sekarang, dua orang yang bertelepon itu persis seperti manusia kehabisan petunjuk.

Sementara itu, di samping rumah, Brea sedang melamun. Rasa menyesal pernah mengenal El Renggo bercampur takut, mengingat malam penculikan itu.

Tapi lamunannya terpotong waktu ia melihat pedagang Yakult datang. Minuman yang terlalu sering ia minum, dan stok di kulkasnya sudah habis.

“Buk! Beli Yakult!” Teriak Brea memanggil.

Wanita paruh baya itu berhenti, tersenyum seperti biasa, lalu mulai masuk ke halaman rumah.

“Beli dua pack ya, Buk,” ucap Brea sambil merogoh kantong celana. Dia ingat tadi memasukkan uang ke kantong kanan, tapi setelah diraba… ternyata kosong.

“Bentar ya, Buk, aku ambil uangnya dulu,” katanya lagi, lalu masuk ke dalam rumah.

Hari ini, pedagang Yakult itu diam saja. Gak membalas perkataan Brea, padahal biasanya ramah. Malah kadang-kadang suka curhat sambil ngaso di teras. Tapi Brea gak menyadari keanehan itu.

Tak lama, Brea keluar lagi sambil membawa uang.

“Ini buk, uangnya…” ucapnya, menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.

Wanita itu menerima, lalu Brea membuka salah satu botol Yakult, dan meminumnya langsung di depan Ibu itu. Yang masih tersenyum tipis, sementara tangannya yang lain mengaduk-aduk dompet mencari uang kembalian.

Brea mengulurkan tangan, siap menerima uang kembaliannya… tapi tiba-tiba, dia tertegun.

Senyuman ibu itu… tatapan mata itu… entah kenapa rasanya beda, tapi juga terlalu familiar. Sorotnya tajam, bikin bulu kuduknya merinding.

‘Aku kenal sorot mata ini… tapi di mana?’ pikir Brea, jantungnya mulai berpacu. Tapi bodohnya, ia tetap menunggu kembalian, gak sadar tubuhnya lagi diincar.

Dan dalam sekejap, lengan Brea sudah ditangkap.

“Diam. Kalau mau selamat, jangan bersuara sedikit pun,” bisik si pedagang Yakult—dengan suara berat bariton yang jelas bukan suara ini uty bisanya.

Brea langsung sadar, hampir menjerit, tapi sebuah moncong pistol mendadak menempel di pinggangnya. Rasanya dingin, dan mematikan.

“Easy… babby… Diam, ya. Kalau nggak mau pinggangmu meletup sekali tembak,” ucapnya, lirih namun mengancam.

Sekujur tubuh Brea langsung merinding. Ia kenal suara itu.

“Ka… kamu?” suaranya tercekat, nyaris gak terdengar.

Pistol itu ditekan makin keras ke pingganh Brea. Bunyi “klik” terdengar saat pelatuknya digerakkan.

Renggo!

Yah ternyata itu dia, lagi menarik paksa tubuh Brea ke depan.

‘Ya Allah… kenapa sepi banget di sini?’ batin Brea, panik. Ia menoleh, berharap ada orang lewat buat minta tolong, tapi nihil.

Lalu, rasa pening menyerang kepalanya sekali lagi. Pandangannya mulai kabur. Samar. Dan… oh jangan lagi… sensasi ini, mirip malam penculikan itu. Tubuhnya limbung, kesadaran lenyap, buminya mendadak gelap.

Sekejap setelah Brea terkulai, Renggo yang lagi menyamar dengan topeng kulit menyerupai pedagang Yakult biasanya, mulai bergerak cepat. Ia membuka tas besar bermerek Yakult yang ternyata kosong, gak ada isi Yakult sama sekali.

Dan sialannya,,,, Tubuh mungil Brea malah muat, waktu di masukkan ke dalam tas besar itu.

Gobloknya, gak ada seorang pun sadar. Bahkan Saloka, yang lagi minum es teh gak jauh dari sana, dia tak melihat apa-apa.

Renggo berjalan santai, menenteng tasnya, bahkan melewati Saloka, mengayuh sepeda.

“Buk! Mau beli Yakult!” teriak seorang bocah dari belakangnya.

Tapi Renggo gak menoleh sama sekali. Gak berhenti. Ia terus berjalan, menghilang di persimpangan depan.

***

1
Xavia
Jelek, bosen.
Yuni_Hasibuan: Boleh di skip ya say.

Lain kali, lebih baik diam daripada dapat dosa, karena menghina karya orang lain.
total 1 replies
Esmeralda Gonzalez
Aku suka banget sama karakter tokoh utamanya, semoga nanti ada kelanjutannya lagi!
Yuni_Hasibuan: Sip,,,,
Terimakasih banyak Say.
Tetep ikutin terus.. Ku usahakan baka update setiap hari.


Soalnya ini setengah Based dari true story. Ups,,, keceplosan.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!