Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Belum Berhenti
“Ichaaaa!”
Dinda, sahabat Icha sejak SMP, sudah melambai dari meja kantin yang paling pojok. Rambut kritingnya yang diikat dua seperti tanduk terlihat mencolok dari kejauhan. Icha segera menghampiri, meletakkan tas dengan berat seolah menaruh seluruh beban hidupnya.
“Lo bawa bom, Cha?” canda Dinda melihat wajah sahabatnya yang kusut.
“Bukan bom. Beban hidup gue namanya Albar.”
“Oh… si wifi berjalan,” gumam Dinda sambil mengunyah keripik.
Icha menarik napas panjang. “Gue tuh heran, Din. Udah dua tahun. Dua tahun loh! Lo pikir cowok itu bakal nyerah. Tapi enggak! Dia makin gila!”
Dinda terkekeh. “Ya mungkin emang udah rusak dari sononya.”
Sementara mereka berbincang, dari kejauhan Albar juga sedang duduk di bangku kantin lainnya, bersama Rio—sahabat satu geng dan satu frekuensi gilanya. Rio adalah versi lebih kalem dari Albar, meski tetap suka usil.
“Gue rasa Icha makin suka lo, Bar,” kata Rio sambil menyeruput es campur.
Albar mengangkat alis. “Suka nendang gue, iya.”
“Bro, itu bentuk cinta yang terpendam. Kadang orang gengsi nunjukin perasaan, makanya mereka pakai emosi.”
“Kayak wifi-nya lemot tapi tetap dicari, gitu?”
Rio nyengir. “Ya gitu lah…”
Kembali ke meja Icha dan Dinda, percakapan masih panas.
“Gue beneran mikir mau ganti sekolah,” keluh Icha.
Dinda melotot. “Woi! Jangan gila. Lo mau ninggalin gue demi cowok sinting itu?”
“Kalau nggak gitu, bisa-bisa gue gila beneran. Pagi-pagi disambut wajah dia, siang diteror di kelas, sore kadang ngikutin gue sampe halte. Besok-besok gue dikuntit sampe kamar mandi!”
Dinda tertawa ngakak. “Kalau itu kejadian, gue akan kasih dia sertifikat ‘Cowok Paling Nggak Punya Kesadaran’.”
Icha mengangkat kepala, memperhatikan Albar dari kejauhan yang sedang tertawa bareng Rio. Sejenak, dia mengerutkan kening.
“Eh, Din. Temennya Albar itu siapa sih? Yang gondrong-gondrong kalem itu.”
“Rio. Kelas sebelah. Katanya anak klub musik. Gitaris.”
Icha mendengus. “Kenapa cowok kayak gitu bisa punya temen nyebelin kayak Albar, ya?”
Dinda mengedikkan bahu. “Yang sabar itu biasanya dapet cobaan.”
Keesokan harinya, Albar kembali dengan rencana baru.
Pagi-pagi, saat Icha baru turun dari angkot, Albar sudah berdiri di depan gerbang. Tapi kali ini dia tak sendiri. Di tangannya, ada papan karton bertuliskan:
“Selamat Datang Sumber Wifi Hatiku – Jangan Block Aku Lagi 😢”
Icha langsung berhenti. Seketika wajahnya memanas.
“YA ALLAH, MALU-MALUIN AMAT!”
Siswa lain yang lewat ikut menoleh dan tertawa. Beberapa mengambil foto diam-diam.
Icha berjalan cepat, menunduk, sambil menahan amarah. Di belakangnya, Rio datang menghampiri Albar.
“Bro… itu udah bukan sinyal, itu sinyal SOS,” bisiknya.
Tapi Albar tetap berdiri gagah.
“Gue yakin hari ini hatinya Icha mulai konek.”
Di kelas, Icha duduk bersama Dinda, masih mendesis kesal.
“Lo liat tadi, Din? GILA! Gila banget tuh anak!”
Dinda menahan tawa. “Tapi kreatif sih. Gue belum pernah lihat cowok sekomitmen itu sama satu cewek.”
“Komitmen? Dia tuh kayak virus! Nggak ngerti privasi!” seru Icha.
“Kalau lo gak suka, kenapa gak lapor ke guru aja, Cha?”
Icha diam sejenak. Ia bisa saja. Tapi entah kenapa, ia tak sampai hati. Bukannya karena peduli, tapi… mungkin karena Albar tidak pernah kasar, tidak pernah menyerang. Dia hanya… menyebalkan. Sebel banget, tapi tidak jahat.
“Gue nggak tahu, Din. Gue cuma pengen hidup normal, tanpa dia kayak CCTV nempel terus.”
Dinda menepuk bahu Icha.
“Yaudah, Cha. Kita bikin strategi buat ngindarin dia. Tapi lo juga harus siap kalau suatu saat sinyal itu beneran ilang. Dan lo malah nyari-nyari.”
Icha memelototkan mata. “NO WAY.”
Tapi di lubuk hatinya… entah kenapa, kalimat Dinda sedikit mengganggu.