"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Syifa melangkah menuju musala. Ruangan yang digunakan sebagai musala itu cukup sederhana, tapi nyaman. Saat dia sampai di pintu, dia terkejut melihat Sadewa sudah berada di sana, berdiri di depan rak sepatu setelah melepas sepatunya.
Melihatnya di sana membuat Syifa sedikit tertegun. Kehadirannya membuat suasana menjadi lebih hening, seolah-olah semua orang di sekitar mereka diam-diam mengamati. Beberapa karyawan yang sedang lewat berhenti sejenak, merasa heran dengan pemandangan tak biasa itu.
Indri, yang sedang berada di tempat wudhu, mengintip melalui kaca kecil yang memisahkan ruangannya dari musala. Dia melihat Syifa dan Sadewa berdiri di sana dan hanya terdiam saling berpandangan lalu tersenyum kecil. Indri merasa penasaran dan mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan hubungan mereka. Apakah Syifa adalah seorang ustazah yang mengajarkan Sadewa tentang agama? pikirnya, penuh rasa ingin tahu.
Kemudian Syifa bersiap-siap untuk mengambil wudhu. Dia melepaskan hijabnya dengan hati-hati, menaruhnya melingkar di bahunya, dan mulai mencuci tangan.
Tanpa sadar, Indri mengamati gerak-gerik Syifa melalui kaca kecil dari ruang wudhu. Pandangannya kemudian tertuju pada alat bantu pendengaran yang terpasang di telinga Syifa. Dia terkejut melihatnya.
Dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, Indri melangkah keluar mendekati Syifa yang sedang menyelesaikan wudhunya. Saat Syifa selesai, Indri bertanya pelan, "Syifa, ini apa?" sambil menunjuk ke alat bantu pendengaran yang terpasang di telinganya.
Syifa tersenyum ringan, merasa sedikit canggung. "Oh, ini? Ini alat bantu pendengaran. Aku memang memiliki gangguan pendengaran sejak 12 tahun yang lalu karena kecelakaan. Tapi ini tidak menghalangi saya untuk bekerja atau berinteraksi," jawab Syifa sambil tersenyum. Dia memakai kembali hijabnya.
"Maaf, Syifa. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Hanya saja, aku tidak tahu sebelumnya. Tapi keren juga, kamu tetap bisa menjalani semua itu dengan sangat baik."
Syifa tertawa kecil mendengar kata-kata Indri. "Tidak apa-apa. Memang seperti ini keadaanku. Aku sudah terbiasa."
Indri mengangguk, merasa terkesan dengan sikap positif Syifa. "Tapi... apakah kamu mengajar Pak Dewa tentang agama? Maksudku, kamu ustazah yang mengajari Pak Dewa?" tanyanya, masih penasaran dengan pemandangan yang dilihatnya tadi.
Syifa terkejut, kemudian tertawa kecil. "Tidak, Mbak Indri. Aku hanya staf di sini."
Indri merasa sedikit malu dengan pertanyaannya yang terkesan terlalu berlebihan. "Oh, aku kira... maaf, aku hanya penasaran," ucapnya sambil tersenyum canggung.
"Tidak apa-apa, Mbak Indri. Pasti semua orang berpikir aku punya hubungan dengan Pak Dewa, tapi tenyata Pak Dewa memang baik."
Indri hanya mengangguk pelan, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Syifa. "Pak Dewa memang baik, tapi hati-hati, kalau Pak Dewa marah sangat menakutkan. Ada yang bilang, Pak Dewa itu mantan mafia. Ada tato naga hitam di lengan kanannya."
"Mafia?" Syifa terdiam. Dia terkejut dengan hal itu. Dia sudah mengira bahwa Sadewa memang bukan orang sembarangan, tapi apa mungkin Sadewa pria menakutkan seperti itu.
Syifa tak bertanya lagi, mereka berdua kemudian keluar dari ruang wudhu, dan masuk ke dalam musala.
***
Lina baru saja kembali dari acara pembukaan supermarket. Dia merasa sedikit lelah, sehingga memutuskan untuk ke pantry terlebih dahulu dan membuat secangkir kopi hangat untuk menyegarkan dirinya.
Saat sedang membuat kopi, dia mendengar bisikan-bisikan dari dua staf perempuan yang sedang berbincang di sudut pantry, seolah sengaja memilih tempat tersembunyi agar tidak ketahuan. Lina awalnya tidak begitu peduli, tapi ketika nama Sadewa dan Syifa disebut, telinganya langsung terangkat tajam.
"Aku masih nggak percaya, Pak Dewa tadi makan di kantin. Duduk di depan staf baru yang pakai hijab itu," kata salah satu staf dengan suara setengah berbisik namun penuh semangat.
"Iya, terus habis itu... Pak Dewa ke musala pas dzuhur. Bareng dia juga," timpal yang lain dengan mata berbinar, seolah mereka baru saja menyaksikan sebuah keajaiban.
Lina berhenti mengaduk kopinya. Sadewa ke musala? Itu di luar kebiasaan Sadewa yang selama ini seperti tidak percaya dengan adanya Sang Pencipta.
"Terus, tahu nggak? Tadi pas di musala, katanya ada yang lihat Syifa buka hijabnya waktu wudhu dan di telinganya ada alat bantu pendengaran," bisik salah satu staf.
"Serius? Jadi dia pakai alat itu biar bisa dengar? Itu berarti dia sebenarnya tunarungu?" sahut temannya, semakin bersemangat bergosip.
Mendengar itu, Lina tersenyum miring sambil perlahan mengangkat cangkir kopinya. Matanya menyipit licik, pikirannya mulai berputar cepat.
"Jadi dia cacat?" gumam Lina setengah berbisik, tapi cukup jelas untuk dirinya sendiri, dengan nada mengejek seolah menemukan celah untuk merendahkan Syifa.
Senyum puas mengembang di wajahnya. Di dalam pikirannya, dia mulai merangkai berbagai kemungkinan.
Lina mengambil kopinya dan berbalik meninggalkan pantry dengan langkah ringan. Dia sudah menemukan cara untuk membuat Syifa menjauh dari Sadewa.
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔