Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Angka-Angka yang Berbicara dan Sebuah Identitas Baru
Keesokan harinya, Rangga terbangun dengan rasa lelah yang aneh. Bukan lelah fisik dari bekerja di kafe, melainkan lelah mental dari sesi live stream semalam. Namun, rasa lelah itu segera tergantikan oleh lonjakan adrenalin saat ia membuka ponsel. Notifikasi email dan pesan langsung di Instagram-nya membanjiri. Aisha tidak berbohong. Ada puluhan tawaran endorsement, kolaborasi, dan undangan wawancara yang menunggunya.
Ia membuka salah satu email dari perusahaan gaming gear terkenal. Mereka menawarkan kontrak endorsement yang besar, mengharuskannya untuk mempromosikan produk mereka di live stream dan media sosial. Nominal yang tertera membuat mata Rangga membelalak. Ini adalah uang yang jauh lebih besar dari gajinya di kafe selama setahun penuh.
Dengan bimbingan Aisha melalui pesan teks, Rangga mulai mempelajari seluk-beluk dunia endorsement. Aisha mengajarinya cara membaca kontrak, menegosiasikan harga, dan memastikan hak-haknya terlindungi. Aisha kembali dominan dalam hal ini, membimbingnya dengan arahan yang jelas dan tegas.
"Jangan pernah takut minta harga tinggi, Ren. Mereka butuh exposure dari kamu. Tapi juga jangan terlalu serakah. Cari yang win-win," pesan Aisha.
Rangga, dengan canggung, mencoba menerapkan nasihat itu. Ia menghabiskan jam-jam luangnya, setelah bekerja, untuk membalas email, membaca kontrak, dan sesekali mencoba membuat story Instagram dengan ponsel barunya yang sudah ia beli dengan uang hadiah turnamen. Ia bahkan mulai berani mengambil beberapa foto selfie dengan gaming setup barunya, meskipun masih merasa aneh melihat dirinya sendiri di layar.
Semua angka-angka itu – jumlah follower, nominal endorsement, jumlah penonton stream – seolah berbicara kepadanya, memvalidasi eksistensi "Ren". Ini bukan lagi sekadar hobi. Ini adalah karir nyata.
Perubahan gaya hidup Rangga terjadi begitu cepat dan drastis. Ia resmi berhenti bekerja di kafe. Sebuah keputusan yang ia buat dengan berat hati, namun ia tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil untuk fokus sepenuhnya pada karir gaming-nya. Dodi, yang kaget namun juga bangga, memeluknya saat perpisahan. "Sukses ya, Ren! Jangan lupa sama kita-kita kalau sudah jadi sultan!"
Kini, Rangga bisa menghabiskan seluruh waktunya untuk berlatih di Zero Point Survival, membuat konten, dan berinteraksi dengan followers. Ia membeli pakaian yang lebih layak, yang sesuai dengan citra "Ren" di media sosial. Ia mulai mencoba berbagai makanan baru, pergi ke tempat-tempat yang dulunya hanya ia impikan. Ia bahkan mulai merasa lebih percaya diri saat berjalan di jalanan Bandung, meskipun terkadang ia masih merasa risih dengan tatapan orang.
Namun, di tengah semua kesuksesan itu, Rangga tetap berjuang dengan identitas aslinya. Di depan kamera, ia adalah "Ren" yang karismatik dan jago. Ia belajar berbicara lebih banyak, bercanda dengan penonton, dan membangun engagement. Ia bahkan mulai menyukai prosesnya. Namun, begitu stream mati, begitu kamera mati, ia kembali menjadi Rangga.
Rasa malu itu masih ada. Terutama saat Aisha kembali mengajaknya live stream bersama. Interaksi mereka di dunia virtual selalu lancar, penuh tawa, dan profesional. Namun, setiap kali Aisha menyarankan untuk bertemu di dunia nyata—misalnya, untuk membicarakan kolaborasi atau strategi—Rangga selalu mencari alasan untuk menghindar.
"Ren, kita harus meeting nih sama sponsor baru. Mau ketemuan di kafe dekat kantorku?" tanya Aisha suatu pagi.
"Uhm... Teteh Aisha... aku... aku lagi kurang enak badan," Rangga berbohong lagi. Ia membenci dirinya sendiri karena berbohong, tapi rasa takutnya terlalu besar. Ketakutannya bahwa Aisha akan melihat Rangga yang berbeda dari Ren, bahwa ia akan mengecewakan Aisha.
Ia sering menghabiskan waktu berjam-jam menatap akun Instagram Aisha. Melihat foto-foto endorsement-nya, video daily vlog-nya yang tampak sempurna, dan interaksinya dengan penggemar. Aisha adalah bintang, influencer sejati. Sementara ia… ia masih merasa seperti Rangga, seorang pria yang tidak pernah punya apa-apa, yang hanya menemukan kejayaan di dunia virtual.
Suatu malam, setelah sesi live stream yang sangat sukses, Ren duduk di kursi gaming-nya, menatap langit-langit kosan barunya. Kosan ini memang lebih besar, lebih nyaman, dan dilengkapi dengan segala pernak-pernik gamer profesional. Ia tidak lagi kekurangan uang. Ia tidak lagi merasa kesepian dalam artian yang sama. Jutaan orang tahu namanya, memuji keahliannya.
Namun, ada kekosongan yang tersisa. Kekosongan yang diisi oleh rasa tidak nyaman setiap kali ia harus tampil di depan publik di dunia nyata. Kekosongan yang tercipta dari kesenjangan antara "Ren" yang ia ciptakan dan "Rangga" yang sesungguhnya. Ia tahu ia tidak bisa selamanya lari dari kenyataan. Suatu hari, cepat atau lambat, dua dunia itu harus bersatu. Atau ia akan selamanya terjebak dalam bayangan identitasnya sendiri.
Ia mengambil ponselnya, mengetik pesan pada Aisha, namun tangannya berhenti di tengah jalan. Apa yang harus ia katakan? Kapan ia harus memberanikan diri untuk menunjukkan siapa dirinya yang asli? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya. Ia tahu, langkah selanjutnya dalam karirnya sebagai Ren, mungkin bukan di dalam game, melainkan di dunia nyata.