NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tangisan Cinta

Malam itu langit Jogja diselimuti bintang-bintang yang malu-malu menampakkan sinarnya.

Azam memasuki halaman rumah Nayla dengan langkah panjang penuh semangat. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rona bahagia—seakan pulang dari perantauan panjang dan kini kembali ke pangkuan rumah yang paling menenteramkan hatinya.

Nayla menyambut di ambang pintu dengan senyum hangat, meski dalam dadanya masih tersisa sedikit kegelisahan yang tak pernah benar-benar hilang.

“Sudah makan, Mas?”

“Belum. Tapi melihat kamu... rasanya semua lapar hilang.”

Jawaban itu membuat pipi Nayla sedikit merona. Ia memalingkan wajah sambil menyembunyikan senyumnya.

Malam itu mereka makan malam bersama. Obrolan ringan dan gelak tawa kembali menyatu seperti dulu. Seolah tak ada luka, tak ada luka lama, hanya dua hati yang saling mencintai dengan cara yang dewasa dan lapang.

Setelah makan dan salat berjamaah, Azam dan Nayla menghabiskan waktu dengan membaca buku di ruang tengah. Dengan manja Nayla meletakkan kepalanya di atas pangkuan Azam. Nayla tertidur di atas pangkuan Azam.

Dengan hati-hati Azam membopong Nayla, memindahkannya ke kamar, kepalanya bersandar di bahu Azam. Azam menghela napas pelan, menatap wajah istrinya dalam diam.

Ia memindahkan kepala Nayla perlahan ke atas bantal, lalu duduk di sisi ranjang, menatap wajah itu dalam senyap.

Mata Nayla terpejam tenang.

Dalam remang lampu kamar, Azam menelusuri setiap garis wajahnya. Perempuan yang begitu kuat, yang sanggup menyerahkan segalanya tanpa menuntut, bahkan ketika hatinya pasti hancur.

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Dada Azam sesak oleh perasaan bersalah dan cinta yang menggunung. Ia menyentuh jemari Nayla, menggenggamnya erat.

“Maafkan aku, Nayla… Kalau boleh memilih, aku hanya ingin satu... kamu,” bisiknya.

“Tapi kamu terlalu kuat, terlalu ikhlas... sampai Allah tahu, kamu mampu berbagi, dan aku... aku hanya manusia lemah yang tak bisa melawan takdir.”

Azam menyeka air matanya, lalu perlahan membungkuk, mengecup kening Nayla lama, hangat, dan penuh cinta.

“Terima kasih... karena tak pernah meninggalkanku.”

“Terima kasih... karena masih mencintaiku meski aku tak layak mendapatkannya sebesar ini.”

Dan malam itu, Azam pun terlelap di samping Nayla memeluknya erat—dengan air mata yang belum kering, dan cinta yang kian dalam.

Pagi menjelang.

Cahaya matahari menerobos perlahan melalui tirai jendela kamar. Aroma seduhan teh wangi menguar dari dapur. Azam terbangun lebih dulu, namun kali ini ia tidak langsung beranjak. Ia hanya duduk di sisi ranjang, memperhatikan Nayla yang tengah mengaduk teh dengan pelan.

“Kamu nggak tidur lagi?” tanya Azam dengan suara parau samnil memeluk Nayla dari belakang.

Nayla menoleh, lalu menggeleng lembut. “Aku cuma… pengen menikmati pagi ini lebih lama, bareng kamu Mas...”

Azam melepas pelukannya, lalu berjalan ke arah meja makan dan menarik kursi, Azam menatap Nayla yang tengah menuang teh. Ia menggenggam tangan Nayla—erat. Ada sesuatu dalam genggaman itu yang berbeda pagi ini.

“Nay…” suara Azam nyaris berbisik.

Nayla menatap dalam, tak menjawab.

“Kalau boleh aku egois sebentar... boleh nggak aku minta kamu berhenti menguatkan aku terus?”

“Aku tahu kamu kuat, aku tahu kamu ikhlas, tapi aku juga tahu… kamu pasti capek.”

Nayla tersentak. Bibirnya bergetar, tapi ia mencoba tersenyum.

“Aku nggak capek… aku cuma takut kehilangan kamu, Mas.”

Azam menarik napas panjang, lalu memeluk Nayla lama dan mendudukkan di atas pangkuannya. Pelukan itu bukan sekadar rindu, tapi juga penyesalan, ketakutan, cinta, dan rasa bersalah yang tak pernah terucap utuh.

“Aku juga takut, Nay... Takut kehilanganmu karena rasa ini bikin kamu semakin menjauh. Padahal, satu-satunya tempat aku bisa pulang... ya kamu.”

“Mereka bisa melihatku sebagai suami dari dua wanita. Tapi hanya kamu yang tahu, aku ini laki-laki yang terus belajar mencintai dengan cara yang Allah ridai.”

Air mata Nayla tumpah. Di balik segala ketegaran, ia juga hanya manusia biasa yang ingin dipeluk dan dimengerti.

“Aku mungkin nggak bisa jadi ibu, Mas... Tapi aku ingin jadi rumah buat kamu pulang. Kalau aku harus berbagi, aku ingin hatiku tetap jadi tempatmu kembali.”

Azam mencium ubun-ubun Nayla.

“Dan kamu... adalah rumah yang tak pernah bisa kugantikan.”

Kalimat itu, ucapan itu, adalah pelukan yang tak akan pernah Nayla lupakan seumur hidupnya.

Mereka saling menggenggam. Mungkin tidak memiliki semua hal di dunia ini. Tapi mereka punya satu hal yang cukup untuk bertahan, cinta yang bertumbuh karena Allah.

Pagi yang cerah di hari Sabtu.

Azam izin pada Nayla untuk mengantar Humairah kepengajian.

Suasana kompleks perumahan tampak lebih ramai dari biasanya. Para ibu-ibu duduk rapi beralas sajadah di sebuah musholla kecil, menanti kajian rutin yang sudah mereka tunggu sejak sepekan lalu. Tak lama, sebuah mobil sederhana berhenti di depan musholla. Pintu terbuka, dan turunlah seorang wanita muda berbalut gamis sederhana berwarna lembut, dengan jilbab rapi menutupi dada.

Humairah.

Namanya mulai dikenal di lingkungan itu. Bukan karena ia istri dari seorang dosen ternama, tapi karena tutur katanya yang lembut dan ilmu tafsirnya yang menyejukkan hati.

Di balik kemudinya, Azam turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Humairah. Wajah Azam tampak tenang, penuh kebanggaan.

“Bismillah ya, Dek.” bisik Azam sembari tersenyum.

“Doain selalu, Mas...” jawab Humairah lirih, menunduk. Mereka saling bertukar pandang sejenak, lalu berpisah.

Humairah masuk ke musholla dengan langkah ringan. Setelah salam dan pembukaan, ia mulai menyampaikan materi tafsir Surat Al-Baqarah ayat 286, tentang ujian yang tak pernah melebihi kemampuan hamba-Nya.

“Ibu-ibu, kadang kita merasa hidup ini tidak adil. Tapi percayalah, Allah tidak pernah salah menakar beban,” suara Humairah lembut, namun tegas.

“Tugas kita bukan bertanya ‘kenapa aku?’, tapi bertanya ‘untuk apa Allah menitipkan ini padaku’…”

Beberapa ibu mengangguk haru. Beberapa menyeka air mata. Kajian itu bukan hanya menyentuh, tapi juga membangkitkan semangat.

Selesai mengisi kajian, Humairah pamit dengan senyum ramah dan pelukan hangat. Di luar, Azam sudah menunggu di mobil.

“Alhamdulillah, selesai juga,” ucap Humairah, masuk ke mobil.

Azam menoleh sebentar, “Aku dengar dari luar, bagus banget isiannya. Kamu bikin banyak hati tenang hari ini.”

Humairah tertunduk, malu.

“Aku cuma nyampaikan yang aku pelajari, Mas…”

Azam tersenyum, menggenggam tangan istrinya yang bersandar di sampingnya.

“Dan kamu telah jadi manfaat. Itu yang paling mulia.”

Mereka pun pulang.

Namun di antara canda kecil dan kebersamaan itu, Azam tak pernah lupa membagi waktunya dengan adil—sebab ada satu hati lain yang juga menanti. Dan Humairah, dengan kedewasaan yang Allah titipkan dalam jiwanya, tak pernah menuntut lebih dari apa yang ia tahu harus ia jaga, rida, cinta, dan keikhlasan.

Dua hari berlalu, Nayla dan Humairah mendapatkan undangan, sebagai narasumber disatu acara kajian islam di kampus tempat Azam mengajar.

Auditorium kampus Islam ternama di Yogyakarta dipadati ratusan peserta.

Hari itu, ada seminar bertema “Menjadi Keluarga Bahagia di Era Penuh Ujian” yang menghadirkan dua narasumber istimewa: Ustadzah Nayla Azahra, M.Ag. pakar tasawuf yang dikenal karena kelembutan tutur dan kedalaman jiwanya, dan Ustadzah Humairah Salsabila, Lc. M.Tafsir, ustadzah muda pengampu ilmu tafsir yang sedang naik daun.

Keduanya duduk berdampingan di atas panggung anggun, dengan balutan gamis syar’i. Untuk menyampaikan materi. Di antara keduanya, duduk sang moderator, yang dengan senyum ramah membuka sesi tanya jawab.

“Baik, kita buka sesi pertanyaan. Boleh dari peserta yang ingin langsung bertanya pada narasumber kita.”

Seorang perempuan paruh baya mengangkat tangan.

“Saya ingin bertanya pada Ustadzah Humairah… maaf sebelumnya, saya hanya ingin tahu dari sisi pribadi. Dalam Islam memang poligami diperbolehkan, tapi bagaimana caranya istri kedua bisa disebut bukan pelakor? Bukankah dia tetap merebut apa yang sudah menjadi milik perempuan pertama?”

Ruangan langsung hening.

Pertanyaan itu menusuk. Humairah sempat terdiam. Tangannya yang memegang mikrofon sedikit bergetar.

Azam yang duduk di barisan tamu undangan tampak menatap istri keduanya, lalu menunduk, hatinya ikut sesak.

Humairah menunduk sejenak, menahan napas, lalu menjawab dengan suara lirih yang pelan-pelan mulai tegas.

“Terima kasih atas pertanyaannya. Bismillah, saya akan coba menjawabnya. Saya tahu... banyak yang mungkin melihat saya seperti itu. Saya juga dulu berpikir seperti itu, sampai saya sendiri mengalami menjadi orang yang ditunjuk oleh istri pertama, oleh Mbak Nayla...”

Air mata Humairah mulai menetes.

“Saya tidak pernah meminta. Saya tidak pernah merebut. Saya justru merasa... ini amanah yang sangat berat. Saya tidak berdiri di sini sebagai perusak, tapi sebagai penjaga titipan cinta yang dibagi karena keimanan, bukan karena nafsu.”

Tangisnya pecah. Ruangan sunyi, hanya terdengar helaan napas berat dari para hadirin. Beberapa peserta ikut mengusap air mata.

Melihat itu, Nayla menggenggam tangan Humairah, lalu mengambil mikrofon.

“Izinkan saya menanggapi,” ucap Nayla dengan senyum menenangkan.

“Dalam tasawuf, kita belajar untuk menerima dengan hati yang lapang dan membersihkan diri dari prasangka buruk. Tidak semua istri kedua itu pelakor, karena pelakor adalah dia yang merebut dengan cara licik, sembunyi-sembunyi, dan memecah. Tapi bila pernikahan terjadi dalam syariat yang jelas, dengan izin dan niat yang bersih, maka tidak ada lagi yang direbut, dan tidak ada istilah pelakor. Yang ada hanyalah pembagian amanah cinta dalam ridha yang sakinah.”

“Saya bersaksi, Humairah tidak pernah merebut apapun dari saya. Dia datang dalam restu dan ridha saya sendiri. Dan saya bersyukur... karena saya tidak kehilangan suami, tapi justru mendapatkan saudari sejiwa.”

Sontak tepuk tangan pecah. Isak tangis terdengar dari beberapa sisi ruangan.

Humairah memeluk Nayla di atas panggung. Sebuah pelukan dua wanita yang saling mencintai karena Allah, bukan karena keterpaksaan.

Panggung itu menjadi saksi: bahwa cinta tak harus memiliki sepenuhnya, tapi harus dijalani sepenuhnya dalam keikhlasan dan iman.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!