Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penulis Bayangan
Pagi itu, rumah Rian baunya aneh. Campuran antara aroma kopi arabika mahal, telur dadar, dan... minyak tawon.
Elara mengerjapkan mata, menyesuaikan pandangan dengan cahaya matahari yang menerobos masuk lewat celah gorden ruang tengah. Badannya masih pegal-pegal, rasanya kayak habis ikut lomba lari maraton tanpa pemanasan. Di karpet sebelahnya, tempat Bobi tidur semalam, kosong. Cuma ada guling yang terpelintir dan selimut yang berantakan.
"Udah bangun, Tuan Putri?"
Elara menoleh. Rian muncul dari dapur dengan nampan di tangan. Jalannya masih agak pincang, bertumpu pada satu kruk, tapi wajahnya... fresh banget. Nggak ada lagi bayangan suram Adrian di sana. Cuma ada Rian, cowok dengan kaos oblong putih dan senyum yang bikin jantung Elara langsung jogging pagi.
"Jam berapa, Yan?" tanya Elara dengan suara serak khas bangun tidur. Dia buru-buru merapikan rambutnya yang pasti udah kayak singa.
"Jam sembilan. Yang lain udah pada sarapan," jawab Rian sambil meletakkan segelas kopi susu hangat di meja depan Elara. "Nih, minum dulu. Spesial, gulanya dikit aja, biar manisnya dari kamu."
Elara nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Sejak kapan lo jadi jago gombal gini?"
Rian ketawa renyah, lalu duduk hati-hati di sofa dekat Elara. "Sejak semalam? Efek samping kesurupan kali ya, jadi lebih jujur."
Pipi Elara langsung panas. Memori kejadian di balkon semalam langsung berputar ulang di kepalanya kayak film HD. Ciuman itu. Janji itu. Rasanya surreal banget, mengingat beberapa jam sebelumnya mereka nyaris mati dipanggang hantu pianis.
"Ehem! Mohon maaf nih, ada pasien mau lewat."
Bobi muncul dari arah kamar mandi, jalannya miring-miring sambil memegangi pinggang. Di belakangnya ada Sarah yang mukanya masih agak bengkak, tapi udah kelihatan lebih hidup daripada semalam.
"Gila ya," keluh Bobi sambil mendudukkan pantatnya pelan-pelan di karpet. "Gue berasa kakek-kakek umur 90 tahun. Encok semua, Boy. Yan, lo punya stok koyo lagi nggak?"
"Di laci meja TV, ambil aja," sahut Rian santai.
Sarah duduk di sebelah Bobi, mengambil sepotong roti bakar yang ada di meja. Dia masih irit bicara karena lehernya sakit, tapi dia sempat melirik Elara dan Rian bergantian dengan tatapan menyelidik. Lalu, ujung bibirnya naik sedikit. Senyum jahil. Sarah tahu. Jelas dia tahu ada "sesuatu" antara dua sahabatnya ini.
Suasana pagi itu terasa damai banget. Mereka ngobrolin hal-hal receh, menghindari topik "villa" atau "piano" seolah itu adalah kata tabu. Bobi cerita soal kucingnya yang ternyata dititipin di pet shop mahal, Sarah ngomel soal kliennya yang rese, dan Rian cuma dengerin sambil sesekali nambahin komentar sarkas.
Menjelang siang, Elara ngerasa ada dorongan aneh.
Tangannya gatal. Bukan gatal alergi, tapi gatal ingin nulis. Sebagai penulis yang sempat macet ide berbulan-bulan, perasaan ini langka banget. Adrenalin dan trauma semalam seolah-olah menjebol bendungan kreativitas di kepalanya. Dia butuh menumpahkan semua rasa takut, lega, dan... cinta itu ke dalam tulisan.
"Gue pinjem meja kerja lo di kamar tamu ya, Yan?" izin Elara. "Mau nulis dikit. Mumpung idenya lagi ngalir."
"Pakai aja, El. Wi-Fi-nya kenceng kok," jawab Rian. "Password-nya: KopiTanpaGula."
Elara masuk ke kamar tamu yang dijadikan ruang kerja Rian. Ruangannya rapi, didominasi warna monokrom. Dia mengeluarkan laptopnya dari tas, lalu duduk di kursi ergonomis yang nyaman.
Saat merogoh saku tas untuk mengambil flashdisk, jari Elara menyentuh benda keras itu lagi.
Tuts piano hitam.
Elara mengeluarkannya. Benda itu kecil, terbuat dari kayu eboni tua yang halus. Anehnya, benda itu nggak terasa dingin lagi kayak pas di mobil. Sekarang suhunya hangat, seolah-olah benda itu hidup dan punya detak jantung sendiri.
Elara menatapnya lama. Harusnya dia buang benda ini. Harusnya dia nggak bawa "oleh-oleh" dari neraka. Tapi ada bagian dari dirinya, mungkin insting penulisnya yang merasa perlu menyimpan ini sebagai bukti. Bukti kalau Elena nyata. Bukti kalau mereka selamat.
Dia meletakkan tuts hitam itu di samping laptopnya. Sebagai jimat, pikirnya. Atau peringatan.
Elara membuka dokumen baru. Kursor berkedip-kedip di layar putih, menantang.
Dia mulai mengetik. Bukan novel romantis yang dulu macet itu. Dia mengetik kisah mereka. Dia mengganti nama-namanya, tentu saja. Rian jadi "Raka", dia jadi "Elena" eh, jangan Elena. "Elisa" saja.
Jari-jarinya menari di atas keyboard. Lancar banget. Kata-kata meluncur deras kayak air bah. Dia mendeskripsikan badai salju, dinginnya villa, dan suara piano itu. Rasanya melegakan, kayak terapi. Satu jam berlalu tanpa terasa, dan dia sudah menulis tiga bab awal.
Ting.
Bunyi notifikasi email masuk membuyarkan konsentrasinya.
Elara berhenti ngetik. Dia ngecek pojok kanan bawah layar. Notifikasi dari aplikasi pengolah katanya.
"Seseorang sedang menyunting dokumen Anda."
Kening Elara berkerut. Hah?
Ini kan dokumen offline. Dia belum nyimpen ini ke cloud atau Google Docs. Wi-Fi emang nyala, tapi dia ngetik di Word biasa. Kok bisa ada yang nyunting?
Mungkin salah baca, pikirnya. Dia mengabaikan notifikasi itu dan lanjut ngetik.
Tapi tiba-tiba, kursor di layarnya bergerak sendiri.
Elara refleks menarik tangannya menjauh dari keyboard kayak abis kesetrum.
Kursor itu mundur ke paragraf terakhir yang baru aja dia tulis, adegan di mana karakter Raka dan Elisa sampai di villa. Kursor itu memblok satu kalimat: "Mereka merasa aman begitu pintu tertutup."
Lalu, kalimat itu dihapus. Backspace, backspace, backspace.
Jantung Elara mulai berdegup kencang. Bug? Virus? Atau ada yang nge-hack laptop gue?
"Rian?" panggil Elara, suaranya agak bergetar. Tapi pintu kamar tertutup rapat, suara TV di luar cukup kencang menutupi suaranya.
Di layar laptop, kursor itu diam sebentar. Lalu, mulai mengetik kalimat baru. Huruf demi huruf muncul dengan lambat, seolah ada yang menekannya satu per satu dengan penekanan yang berat.
Elara menahan napas, matanya terpaku ngeri ke layar.
Kalimat baru itu berbunyi:
"Mereka pikir mereka sudah keluar. Padahal mereka hanya pindah ke sangkar yang lebih besar."
Darah di wajah Elara surut seketika.
Itu bukan kalimat yang dia tulis. Itu bukan gaya bahasanya.
Tiba-tiba, tuts piano hitam di samping laptopnya bergetar.
Brrrrt.
Getarannya halus, tapi cukup bikin benda itu bergeser sedikit di atas meja kayu. Dan bersamaan dengan getaran itu, terdengar suara ping yang nyaring dari laptop.
File dokumennya berubah nama sendiri.
Dari "Draf Liburan" berubah menjadi:
"BAB 15: KUNJUNGAN BALASAN"
Elara langsung membanting tutup laptopnya. Napasnya memburu. Dia mundur sampai punggungnya nabrak lemari buku.
Nggak mungkin. Adrian udah mati. Elena udah bebas. Piano itu udah hancur.
"El? Kenapa?"
Pintu kamar terbuka. Rian berdiri di sana, wajahnya khawatir. Dia pasti denger suara Elara yang tadi sempat memanggil, atau suara kursi yang bergeser kasar.
Elara menunjuk laptopnya dengan tangan gemetar. "Laptop gue... ada yang ngetik sendiri. Dia... dia bilang kita belum bebas."
Rian mengerutkan kening, langsung mode siaga. Dia masuk, mendekati meja. "Hacker? Virus?"
"Bukan, Yan," bisik Elara, matanya basah. "Kata-katanya... itu personal banget."
Rian membuka kembali laptop Elara. Layarnya menyala.
Tapi tulisannya sudah hilang. Dokumen itu kosong melompong. Bersih.
"Nggak ada apa-apa, El," kata Rian lembut, menoleh ke Elara. "Mungkin kamu kecapekan? Halusinasi sisa trauma kemarin?"
Elara menggeleng keras. "Gue nggak gila, Rian! Gue liat sendiri! Tadi tuts pianonya juga gerak!"
Elara menunjuk ke meja.
Rian dan Elara sama-sama melihat ke meja, ke samping laptop.
Tuts piano hitam itu sudah tidak ada di sana.
"Mana?" tanya Rian bingung. "Tuts apa?"
Elara melotot. Dia jelas-jelas menaruhnya di situ tadi. Dia nggak mungkin salah. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ke lantai, ke kolong meja. Nihil.
"Tadi di situ, Yan! Sumpah!" Elara mulai panik. Rasa aman yang baru dibangun beberapa jam lalu runtuh seketika.
Tiba-tiba, dari ruang tengah, terdengar suara Bobi berteriak kaget.
"WOY! ANJIR! APAAN NIH?!"
Rian dan Elara saling pandang, lalu lari keluar kamar.
Bobi berdiri di tengah ruang tamu, menunjuk ke arah paket yang tergeletak di depan pintu depan. Pintu itu sedikit terbuka, seolah ada kurir yang baru aja nganterin tapi nggak ngetuk pintu.
"Kenapa, Bob?" tanya Rian tegang.
"Ada paket, Yan. Nggak ada nama pengirimnya," kata Bobi, wajahnya pucat lagi. "Tapi liat isinya."
Kotak paket itu sudah dibuka oleh Bobi. Isinya bukan bom, bukan bangkai hewan.
Isinya adalah sebuah metronom kayu tua. Persis sama dengan yang mereka lihat di bawah piano Villa Edelweiss.
Dan di sebelah metronom itu, tergeletak tuts piano hitam milik Elara yang tadi hilang dari kamar.
Metronom itu mulai bergoyang sendiri.
Tik... tok... tik... tok...
Dan seiring dengan irama itu, sebuah kertas kecil yang terselip di bawah metronom melayang jatuh ke lantai. Tulisannya singkat, diketik dengan mesin tik kuno:
"Ceritanya harus sampai 88 Bab. Jangan berhenti menulis, Elara. Atau aku yang akan menulis ending-nya untuk kalian."