Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Arsha menahan napasnya, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, langkah yang ia ambil ini adalah garis tipis antara niat suci dan jurang dosa. Ia harus menyetujui "pesanan" ini agar bisa bertemu Ayesha di luar pengawasan ketat The Scarlet Lounge.
"Baiklah kalau begitu, saya setuju"
Pria di ujung telepon itu, yang kemudian Arsha kenali sebagai 'Bos' yang bernama Jefri, tertawa sinis. "Ah, Tuan. Saya sudah tahu selera Anda. Wanita secantik dia memang layak dibayar mahal, apalagi saat libur. Dua kali lipat. Berapa lama Anda menginginkannya?"
Arsha menelan ludah. "Dua jam. Saya ingin dia datang ke apartemen saya. Kirim dia malam ini, jam sembilan. Tolong pastikan dia datang sendirian, tanpa pengawal. Saya tidak suka keramaian," Arsha berbohong, memaksakan suaranya terdengar dingin dan otoriter, layaknya seorang pelanggan kelas atas.
Jefri terdengar mencatat. "Baik, Tuan. Totalnya akan menjadi dua puluh juta rupiah. Transfer ke rekening yang saya kirimkan sekarang. Begitu dana masuk, Ayesha akan dikirim ke sana."
Dua puluh juta rupiah. Jumlah itu sangat besar untuk dua jam. Arsha tahu ia baru saja menghabiskan sebagian besar tabungannya hanya untuk mendapatkan waktu bicara satu jam. Uang ini seharusnya ia gunakan untuk menebus Ayesha sepenuhnya.
"Baik. Kirimkan detail rekeningnya," jawab Arsha, suaranya mantap.
~~
Setelah Arsha selesai melakukan transfer dua puluh juta rupiah, ia segera mempersiapkan apartemennya. Ia menyingkirkan semua yang berbau kemewahan yang tidak perlu, memastikan ruangan itu terasa bersih dan netral. Ia meletakkan Al-Qur'an dan sajadah di sudut ruangan.
Ia menjalankan salat Maghrib dan Isya, memohon petunjuk. Ia tahu, langkahnya ini sangat berisiko, tetapi ia yakin niatnya murni, menyelamatkan Ayesha.
Pukul delapan lewat, Arsha mulai gelisah. Ia mengenakan baju koko putih bersih, berharap penampilannya bisa meyakinkan Ayesha tentang keseriusan niatnya. Ia mondar-mandir di ruang tengah, dekat dengan pintu masuk. Setiap detik terasa seperti berjam-jam.
Bayangan Ayesha yang terbaring lemah di sofa berganti dengan bayangan Ayesha yang tersenyum menggoda di klub malam. Kontras itu menyiksa batinnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 21.00. Arsha menahan napas. Ini adalah waktu yang disepakati. Ia menajamkan telinga, menunggu suara langkah kaki atau dering bel pintu.
Namun, bukan suara bel yang terdengar. Justru ponsel Arsha-lah yang bergetar nyaring, menampilkan nomor yang tidak ia kenal, nomor yang baru saja mengirimkan rekening bank. Itu pasti Jefri, bos Ayesha.
Arsha segera mengangkatnya, berusaha menenangkan napasnya agar tidak terdengar panik.
"Ya, halo," jawab Arsha, berusaha terdengar tenang.
Suara serak Jefri terdengar dari ujung telepon, terdengar santai dan tanpa basa-basi. "Halo, Tuan. Maafkan saya, Ayesha tetap tidak bisa diganggu malam ini. Kami tidak ingin mengambil keputusan sepihak."
Darah Arsha terasa mendidih. Ia sudah membayar harga yang sangat mahal, mempertaruhkan reputasinya, dan mengorbankan waktu yang berharga di Pesantren.
"Tapi saya sudah membayar penuh untuk janji temu ini," tekan Arsha, suaranya kini terdengar tegang. "Bisa kau jelaskan kenapa ini dibatalkan secara mendadak?"
Jefri tertawa singkat, tawa yang meremehkan. "Saya bilang, dia tidak bisa diganggu. Saya akan kirim kembali uang Anda besok pagi, Tuan. Anda bisa memesannya lagi minggu depan, kalau dia sudah kembali bekerja. Selamat malam."
Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon diputuskan sepihak.
Arsha berdiri mematung, ponsel di tangannya terasa panas. Ia tidak pernah merasa sehina dan semarah ini seumur hidupnya. Dibohongi, dibatalkan, dan diperlakukan seperti pelanggan yang tidak penting. Setelah semua yang ia bayar dengan harga diri dan sebagian besar tabungannya.
Ia menghela napas kasar, menyalurkan frustrasinya dengan membanting ponselnya pelan ke atas sofa.
"Ayesha..." gumam Arsha.
Arsha berjalan ke sudut ruangan, semua persiapan, semua harapan, sia-sia.
"Aku tidak bisa membiarkannya kembali ke sana," kata Arsha pada dirinya sendiri, suaranya rendah dan penuh tekad. "Aku tidak akan kembali ke Pesantren sebelum aku bertemu dengannya. Waktu yang diberikan Abah untuk mencari donasi adalah alasan yang sempurna."
Arsha mengambil jaket kulitnya dan topi baseball yang tergantung di gantungan. Ia menatap pantulan dirinya di jendela. Gus Arsha kini telah bertransformasi menjadi sosok yang keras dan penuh perhitungan.
"Aku harus mendatangi lokasi klub tempat Ayesha bekerja besok," gumamnya, matanya menyala. "Aku akan menemui dia di sarangnya. Dan aku akan mencari tahu berapa jumlah besar kontraknya kepada Jefri."
Arsha menghabiskan sisa malam itu dengan menyusun rencana. Ia tidak lagi mengandalkan cara yang halus. Ia harus memasuki dunia Ayesha, belajar aturan main mereka, dan menghadapi Jefri, secara langsung.
Ia tahu, risikonya kini berlipat ganda. Bukan hanya reputasi, tetapi juga keselamatannya. Tetapi demi menebus satu jiwa, Arsha bersedia menjadi kotor. Ia akan menggunakan dua hari yang ia miliki ini untuk mencari informasi vital.
Keesokan harinya, Arsha bersiap. Ia mengganti baju kokonya dengan kemeja kasual yang lebih gelap dan mahal. Ia harus terlihat seperti pria yang kaya, berkuasa, dan berani untuk menghadapi dunia gelap The Scarlet Lounge.
Tepat pukul delapan malam setelah Salat Isya, Arsha menaiki mobilnya menuju club malam tempat Ayesha bekerja. Ia ingin mencari tahu kebenarannya sendiri di sana.
Tak lama kemudian, Arsha sudah sampai di Club itu. Ia mengubah ekspresinya agar terlihat meyakinkan sebagai seorang pelanggan. Begitu masuk, Arsha terus berzikir dalam hati tanpa henti. Ia tidak ingin terjerumus ke dalam lembah dosa yang lebih dalam.
Di sana, Arsha disambut oleh para 'kupu-kupu malam' yang seksi dan cantik. Ada yang mendekatinya saat Arsha duduk di kursi konter bar.
"Hai, Tuan... Anda terlihat baru di sini, apa Anda butuh teman tidur?" rayu salah satu wanita yang kelasnya di bawah Ayesha itu.
"Maaf, jangan sentuh saya. Saya hanya ingin minum saja di sini," jawab Arsha datar dan dingin.
"Oh... Begitu, ya? Anda terlihat sombong sekali," kata wanita yang bernama Erna itu, yang masih terus berusaha merayunya.
Arsha menepis lembut tangan Erna yang berani menyentuh dada bidangnya. "Ck! Jangan sentuh aku!" pekik Arsha, tidak suka jika dirinya disentuh oleh wanita.
Seorang pria yang berkuasa di tempat itu melihat dan mendengar sedikit kekacauan dari kejauhan. Ia segera menghampiri Erna dengan wajah tenang namun tegas.
"Ada apa, Erna?" tanya pria itu, yang tak lain adalah Jefry.
"Baru saja aku menyentuh dadanya, dia sudah marah padaku," jawab Erna ketus.
"Pergilah, aku yang akan bicara dengannya," kata Jefry. Ia maju beberapa langkah menghampiri Arsha yang duduk di kursi konter bar. "Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Jefry dengan sopan.
"Ya, saya ingin memesan The Red Rose sekarang juga," jawab Arsha santai.
Jefry yang mendengar itu tersenyum tipis, "Maaf, Tuan. Ayesha belum bisa bekerja. Dia masih libur, dan dia akan kembali ke sini minggu depan, tepatnya pada malam Minggu."
Kali ini Arsha menatap Jefry dengan tatapan mengintimidasi. Ia mencari kebohongan di mata Jefry. Tapi tetap saja, ia tidak menemukan kebohongan di sana.
"Kalau begitu, aku minta nomor ponselnya saja. Aku akan menemui dia di luar jam kerja," balas Arsha, tak mau menyerah.
"Maaf, Tuan, tidak bisa. Memberi nomor ponsel dan menemuinya di luar jam kerja itu di luar aturan. Jika Anda ingin bertemu dengannya, temui dia minggu depan, tepat jam 8 malam, di sini. Nanti, aku yang akan menjadwalkannya pada Ayesha," jelas Jefry panjang lebar.
Arsha tak menjawab. Dia hanya menghela napas, frustrasi. Meskipun sudah datang untuk menemuinya di Club, dia masih saja tidak bisa bertemu Ayesha. Padahal, hari ini adalah hari terakhirnya di Jakarta. Besok subuh, dia harus kembali ke Pesantren.
...----------------...
**Next Episode**.....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.