Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Harga yang Harus Di Bayar
Telepon itu datang saat hujan turun perlahan, menyisakan embun di kaca jendela toko buku tempat Paijo bekerja. Ia baru saja merapikan buku-buku diskon bertema pengembangan diri ketika layar ponselnya menyala: PAIMAN – KAMPUNG.
“Halo, Man?” Paijo menjawab sambil berjalan ke pojokan, menjauh dari pengunjung.
“Jo… ini aku, Paiman. Mbok Sarni, Jo… beliau sakit keras. Batuknya makin parah, gak bisa napas. Dokter bilang harus dirawat di rumah sakit segera. Tapi, biayanya gak kecil…”
Jantung Paijo mencelos.
“Aku kirim sekarang… eh… tunggu dulu. Nanti aku usahain, Man. Tenang aja.”
Tapi kenyataannya, isi dompetnya saat itu cuma cukup buat beli kopi instan dan mi gelas selama seminggu. Gaji penjaga toko buku tak lebih dari cukup untuk bertahan hidup di Jakarta. Tabungannya? Sudah terkuras habis saat ia menolak semua panggilan sebagai gigolo. Pilihannya menebus dosa, nyatanya tak seindah kata-kata motivasi di rak buku sebelahnya.
Paijo terduduk di lantai ruang istirahat toko. Tangannya gemetar. Kalau dia tetap keras kepala… bisa-bisa Mbok Sarni—
Tok. Tok. Tok.
Pintu toko terbuka, membawa aroma parfum mahal dan suara hak tinggi yang terdengar seperti lonceng kematian bagi ketenangan batin Paijo.
Claudia.
Wanita itu melangkah masuk seperti pemilik dunia. Bibir merahnya menyungging senyum kemenangan.
“Sudah kuduga kau akan sampai pada titik ini, Jo,” katanya tenang sambil membuka mantelnya. “Aku dengar dari seseorang... kampungmu sedang gawat ya?”
Paijo langsung bangkit, wajahnya dingin.
“Jangan ikut campur…”
“Terlalu terlambat untuk itu,” Claudia mendekat, tangannya menyentuh lengan Paijo. “Kau tahu aku bisa bantu. Semua pengeluaran rumah sakit. Bahkan lebih. Kau cuma perlu kembali… menerima klien. Dan ada satu bonus: job film besar. Internasional. Bayarannya bisa buat rawat Mbok Sarni seumur hidup.”
Paijo menatap mata wanita itu. Matanya penuh jebakan. Tapi yang paling mengerikan adalah kalimat berikutnya.
“Dan kalau kau menolak… ya, barangkali aku akan bercerita sedikit pada Suzy. Tentang siapa kau sebenarnya.”
Dunia Paijo berhenti sejenak.
Mata Claudia menari-nari, puas. “Kau punya waktu semalam untuk berpikir. Tapi aku tahu jawabannya.”
Malamnya.
Paijo menatap langit-langit apartemen yang tiba-tiba terasa seperti penjara. Hatinya dililit rasa bersalah. Ia tahu, menghubungi Suzy saat ini hanya akan membuat segalanya makin sulit. Dia pernah berjanji berhenti. Janji yang diucapkan dengan sepenuh hati di hadapan gadis yang membuatnya ingin menjadi orang baik.
Tapi kenyataan tak semudah niat.
Dengan tangan gemetar, ia membuka daftar kontak lama di ponselnya. Kontak yang selama ini tak pernah ia buka lagi. Klien-klien lama. Ibu pejabat, tante sosialita, janda crazy rich, mahasiswi eksperimental…
Satu per satu, ia aktifkan kembali.
Satu per satu, dunia lamanya menyambutnya kembali.
Dan seperti menjual jiwanya sekali lagi, Paijo kembali tenggelam dalam peran.
Namun malam-malamnya tak lagi sama.
Setelah setiap sesi, ia menatap langit-langit kamar hotel dengan wajah kosong. Lalu memejamkan mata sambil membayangkan tawa Suzy. Membayangkan bau parfumnya. Membayangkan bagaimana dulu mereka duduk di sofa sambil makan almond cokelat dan menonton drama Korea.
Tapi kini ia tidak bisa melihat Suzy tanpa merasa kotor.
Hari demi hari berlalu.
Suzy mulai mengirim pesan lebih jarang. Dan Paijo selalu menjawab dengan singkat. Dia tidak sanggup menatap layar saat nama Suzy muncul. Apalagi saat Suzy mengirim foto randomnya di kampus, tertawa di kantin. Dunia Suzy terlalu bersih.
Dan Paijo?
Paijo telah kembali ke lubang yang dulu ingin ia tinggalkan.
...****************...
Suzy menatap ponselnya untuk kesekian kali pagi itu. Sudah tiga hari pesan terakhirnya hanya dibalas dengan "Maaf, lagi sibuk."
Sibuk. Kata yang sebelumnya terasa keren, kini terasa seperti pagar berduri yang dibangun perlahan-lahan oleh Paijo—atau Joe Gregorius, atau siapa pun dia sekarang.
Dia menarik napas dalam, menatap selfie mereka berdua yang dulu ia simpan diam-diam—saat mereka masih bisa tertawa sambil makan mi instan di pinggir kolam apartemen.
Sementara itu, di sisi lain kota, Paijo sedang mengenakan setelan jas hitam ketat yang membuatnya tampak seperti model dalam iklan parfum, kecuali bahwa iklan ini bukan untuk parfum.
Hari ini dia harus menghadiri meeting dengan produser film semi-komedi dewasa, lengkap dengan skenario absurd yang membuatnya ingin menyumpahi hidup.
"Mas Paijo, nanti di adegan pertama, Mas akan jadi satpam kompleks yang menemukan celana dalam misterius yang ternyata bisa bicara," kata asisten sutradara sambil menyerahkan naskah.
Paijo hanya tersenyum miring.
Dalam hatinya: Mungkin Mbok Sarni lebih baik tak tahu cucunya sekarang harus mengobrol dengan CD ajaib untuk cari uang.
Setelah sesi baca naskah, Paijo memutuskan kembali ke apartemen. Bukan karena dia ingin istirahat. Tapi karena tubuhnya lelah, dan hatinya lebih lelah lagi.
Begitu masuk kamar, ia menyalakan TV. Drakor yang biasanya ditonton bareng Suzy muncul sekilas di layar. Tapi kali ini tak ada suara tawa Suzy. Tak ada pipinya yang menempel di bahunya.
Yang ada hanya kesunyian… dan rasa bersalah.
Hari berikutnya.
Paijo menerima lagi dua job tambahan dari Claudia. Salah satunya benar-benar di luar nalar: klien cosplay yang menginginkan Paijo berpura-pura menjadi vampir yang alergi bawang putih, tapi bukan karena mitos, melainkan karena IBS (gangguan pencernaan).
Dan Paijo—sialnya—melakukan semuanya. Demi Mbok Sarni. Demi rasa takut. Dan demi kebohongan yang makin hari makin membuatnya ingin lenyap.
Namun semua itu punya harga.
Suzy mulai berhenti mengirim pesan panjang. Ia mulai hanya mengirim stiker lucu, lalu esoknya, hanya emoji jempol.
Dan Paijo? Paijo tak lagi menjawab.
Bahkan ketika Suzy mengirim,
"Kamu sibuk terus, ya? Aku mulai ngerasa kayak orang asing."
Paijo hanya menatap layar ponsel, lalu menguncinya lagi tanpa membalas.
Karena bagaimana ia bisa menjawab?
Maaf, mbak Suzy. Aku sibuk jadi vampir IBS dan harus pulang dengan darah palsu di kerah baju demi bayar tagihan rumah sakit Mbok Sarni.
Oh, dan aku juga habis tidur sama klien yang cosplay jadi elf berdialek Rusia.
Tidak, dia tidak bisa menulis itu.
Di malam hari, Paijo berdiri di balkon, memandangi langit Jakarta yang tak berbintang. Ia menghela napas panjang. Tangannya menggenggam ponsel dengan kuat, membuka chat Suzy… lalu menutupnya lagi.
Dalam kepalanya:
Kalau aku bilang sebenarnya, dia pasti pergi. Tapi kalau aku terus begini, dia juga akan hilang pelan-pelan.
Dunia Paijo kini terbelah dua. Satu sisi ingin mencintai Suzy dengan jujur. Sisi lain terperangkap dalam kebohongan yang semakin menjerat. Dan untuk pertama kalinya, Paijo benar-benar merasa: sendirian.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️