Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Dan juga Bayiku
Cahaya pagi Boston menyelinap masuk melalui celah gorden, membelai kamar Claire dengan lembut. Namun, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya yang terasa dingin dan kosong, ada semacam kehangatan yang merambat. Claire membuka matanya perlahan. Kelelahan dari insiden kemarin masih terasa, namun rasa pusing di kepalanya sedikit mereda. Hal pertama yang ia ingat adalah Aaron. Aaron telah kembali. Ia tidak hanya menelepon, ia benar-benar ada di sini, di penthouse ini.
Ia bangkit, duduk di tepi ranjang, dan menghela napas panjang. Ada campuran rasa lega, kebingungan, dan harapan yang samar merayap dihatinya hari ini. Apa yang akan terjadi pagi ini? Apakah Aaron akan kembali ke sikap dinginnya yang biasa? Atau ada sesuatu yang berbeda?
Claire memutuskan untuk tidak berdiam diri. Ia harus menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rumah yang nyaman, ia menuruni tangga menuju ruang makan. Langkahnya masih sedikit gontai, namun semangatnya sedikit terangkat.
Saat mencapai lantai dasar, ia terkejut melihat Aaron sudah duduk di meja makan, membaca koran dengan secangkir kopi di sampingnya. Pemandangan itu begitu asing, namun entah mengapa, membuat jantung Claire berdetak lebih cepat. Biasanya, Aaron sudah pergi ke kantor sebelum ia bangun, atau setidaknya sudah sarapan sendirian.
"Selamat pagi," sapa Claire, suaranya sedikit canggung. Ia berjalan menuju kursi yang berhadapan dengan Aaron.
Aaron menurunkan korannya, menatap Claire. Sorot matanya masih tajam, namun ada kilatan aneh di dalamnya—bukan kemarahan, melainkan sesuatu yang samar seperti perhatian.
"Selamat pagi," jawab Aaron, nadanya lebih lembut dari biasanya. "Bagaimana tidurmu? Apa kau merasa lebih baik?"
Claire mengerjap. Pertanyaan itu, dengan nada yang begitu... normal, membuatnya sedikit terkejut. "Aku... aku tidur nyenyak. Dan ya, aku merasa lebih baik, terima kasih." Ia duduk perlahan, mencoba menyembunyikan keterkejutannya yang luar biasa.
Susan segera muncul dari dapur, membawa sepiring roti panggang dan semangkuk buah-buahan segar, diikuti secangkir teh herbal hangat.
"Nyonya Claire, ini sarapan Anda. Tuan Aaron meminta saya menyiapkan ini khusus untuk Anda, katanya harus yang ringan dan bernutrisi," kata Susan ramah, meletakkan piring di hadapan Claire.
Claire melirik Aaron, yang kini kembali menatap korannya, seolah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Susan. Namun, ia tahu ini bukan kebetulan. Hatinya menghangat. Aaron meminta Susan menyiapkan sarapan untuknya? Secara spesifik?
"Terima kasih, Susan," ucap Claire, menatap makanan itu dengan rasa lapar yang tiba-tiba muncul. Aroma roti panggang itu begitu menggoda.
Aaron, tanpa mengangkat pandangannya dari koran, berujar, "Makan yang banyak. David bilang kau kurang nutrisi." Nadanya masih terdengar seperti perintah, tapi di telinga Claire, itu terdengar seperti perhatian yang canggung.
Claire mulai makan, sesekali melirik Aaron. Pria itu terus membaca koran, namun ia bisa merasakan mata Aaron sesekali melirik ke arahnya. Ia pura-pura tidak menyadarinya, sibuk dengan makanannya, meskipun dalam hati ia merasa berbunga-bunga.
Kenapa Aaron tiba-tiba seperti ini? Kendatipun demikian disisi lain ia merasa gelisah. Apa aku membuat kesalahan lagi?
Setelah beberapa suap, Claire merasa tenggorokannya kering. Ia meraih gelas air di samping piringnya, namun tangannya sedikit gemetar dan hampir menjatuhkannya. Gawat!
"Hati-hati," suara Aaron terdengar cepat. Ia menurunkan korannya, lalu meraih gelas air lain yang sudah terisi di dekatnya dan menggesernya sedikit mendekat ke Claire. "Minum ini saja. Jangan sampai tumpah."
Tindakan kecil itu membuat Claire tertegun. Aaron memperhatikanku... Apa dia sedang peduli padaku?
Claire mengambil gelas itu, dan menyesap airnya perlahan. Ia merasakan kehangatan yang aneh menyebar di dadanya. Ini bukan Aaron yang dingin dan acuh tak acuh yang ia kenal. Ini adalah Aaron yang... sedikit lebih peduli.
"Setelah sarapan, jangan langsung beraktivitas berat," kata Aaron lagi, matanya kini menatap Claire sepenuhnya, mengunci pandangan mereka. "Istirahat saja di kamar. Atau duduk di ruang keluarga jika kau bosan. Aku akan bekerja dari rumah hari ini."
Claire menatapnya, bingung. "Kau... kau tidak ke kantor?"
"Tidak," jawab Aaron singkat, suaranya kembali ke intonasi biasanya, namun dengan sentuhan yang lebih lembut. "Ada beberapa hal yang bisa kukerjakan dari sini. Dan aku harus memastikan kau baik-baik saja." Ada jeda singkat, Aaron seperti mencari kata yang tepat, lalu melanjutkan dengan sedikit terpaksa, "Dan juga bayiku."
Kalimat terakhir itu, "Dan juga bayiku," seolah menjadi jembatan antara sikap dinginnya dan perhatian barunya. Claire merasa sedikit kecewa karena perhatian itu masih disangkutpautkan dengan bayi, namun setidaknya itu sebuah bentuk perhatian. Sebuah awal yang baru. Sebuah bukti bahwa ia tidak lagi sendirian.
Claire selesai makan. Aaron kembali membaca korannya, namun Claire bisa merasakan kehadirannya yang kini berbeda. Ia tidak lagi merasa tertekan, melainkan sedikit gugup, namun dengan cara yang menyenangkan.
Setelah sarapan, Claire kembali ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Wajahnya memerah, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Lihat, Sayang?" bisiknya pada perutnya, suaranya dipenuhi kelegaan. "Ayahmu ada di sini... dia selalu kembali, kan? Ibu tahu, di mana pun dia berada, hatinya selalu akan menemukan jalan kembali padamu. Dia tidak akan pernah bisa benar-benar jauh dari kita." Claire tersenyum lebih lebar. Ia merasa ikatan yang lebih dalam dan tak terputus dengan "Ayah" yang ia maksud, sebuah ikatan yang melampaui kerumitan hubungan mereka. Ia menyentuh perutnya dengan lembut. Ini adalah awal yang baru, kan?
Ia membaringkan tubuhnya, namun bukannya tidur, ia justru terus memikirkan Aaron. Aaron yang kembali. Aaron yang berbicara dengan lembut. Aaron yang memerintahnya untuk makan. Aaron yang memutuskan untuk bekerja dari rumah, demi dirinya. Setiap detail kecil itu terasa seperti tetesan embun di padang gersang hatinya. Ia mencoba menenangkan diri, jangan sampai terlalu berharap. Aaron bisa berubah lagi. Tapi, ada bibit harapan yang sudah tertanam, dan sulit untuk dicabut.
Beberapa jam kemudian, Aaron memang bekerja dari ruang keluarga bukan diruang kerjanya yang ada dilantai dua. Claire bisa mendengar suara ketikan keyboard dan sesekali suara Aaron berbicara melalui telepon. Kehadirannya yang konstan, meskipun tidak ada interaksi langsung, memberikan Claire rasa aman yang aneh. Rasa sepi yang mencekik kini sedikit menghilang, tergantikan oleh kecanggungan yang manis dan perasaan menduga-duga.
Terkadang, Aaron akan muncul di ambang pintu kamarnya, hanya untuk melirik sekilas, lalu kembali ke ruang keluarga. Atau ia akan memanggil Susan, bertanya apakah Claire sudah makan camilan atau minum vitaminnya. Setiap kali itu terjadi, jantung Claire berdesir, senyumnya nyaris tak tertahan. Aaron tidak lagi mengabaikannya. Aaron tidak lagi menganggapnya tak terlihat. Aaron, untuk pertama kalinya, benar-benar ada di sana. Dan itu sudah cukup baginya untuk hari ini.