Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam dan Panggilan Tengah Malam
Malam itu, empat hari setelah ponselku disita dan kontak dengan Revan terputus, tubuhku menyerah. Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi baju, kepalaku berdenyut-denyut. Tenggorokanku terasa kering dan sakit.
Aku mencoba bangkit, tetapi kepalaku terasa pening. Suara batukku yang keras rupanya membangunkan Bunda Fatma yang tidur di kamar sebelah.
"Indira? Kamu kenapa, Nak?" Bunda langsung bergegas masuk.
Seketika Bunda menyentuh dahiku, matanya membelalak panik. "Ya Allah, Indira! Tubuhmu panas sekali!"
Kepala Bunda langsung menoleh ke arah kamar utama. "Yah Ayah! Bangun, Yah! Indira demam tinggi!"
Ayahku, segera keluar. Beliau mendekat dan menyentuh dahiku dengan punggung tangannya, wajahnya langsung berubah tegang.
"Astaga, Ra. Sudah berapa lama?" tanya Ayah, suaranya mengandung nada bersalah yang tidak ia tunjukkan saat sidang.
Bunda sudah mulai panik. "Yah, bagaimana ini? Kita ke rumah sakit saja, ya? Tubuhnya panas sekali! Pasti dia terlalu memikirkan sesuatu!"
Ayah memegang bahu Bunda, menenangkan. "Tenang, Bunda. Jangan panik. Demam bisa terjadi karena kelelahan juga. Ayo, Bunda ambil air hangat, kompres dia dulu. Mas akan telepon Mbak Luna."
Ayah menenangkan Bunda, tetapi matanya menatapku dengan sorot yang menunjukkan bahwa Ayah tahu, demam ini adalah harga yang harus kubayar karena keputusannya memutus paksa hubunganku dengan Revan. Di dalam hati, Ayah mungkin hancur melihatku menderita, tetapi prinsipnya tetap teguh.
Ayah segera mengambil ponselnya dan menjauh sedikit untuk menelepon. Aku samar-samar mendengar Ayah menyebut nama kakaknya dengan nada panik yang jarang sekali ia tunjukkan.
Tiga puluh menit kemudian, sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah. Mbak Luna (Bude Luna) masuk lebih dulu, dengan pakaian seadanya. Ia seorang dokter umum yang praktiknya laris. Ia datang bersama suaminya, Mas Karto (Pakde Karto), seorang dosen filsafat.
"Bimo! Ya Allah, ada apa dengan Indira?" Mbak Luna langsung menghampiriku, wajahnya khawatir.
"Mbak, tolong lihat dia. Demamnya tinggi sekali. Bundanya panik," kata Ayah.
Pakde Karto, yang berbadan besar dan biasanya jenaka, berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya kini serius. "Ada apa ini, Bimo? Kenapa keponakan kami bisa sakit sampai begini?"
Bude Luna segera bertindak profesional. Ia memeriksa suhu tubuhku, mendengarkan detak jantungku, dan menanyakan gejala-gejala lain.
"Ini demam karena stress berat, Bim. Tubuhnya drop karena terlalu banyak tekanan batin," kata Bude Luna setelah selesai memeriksa. Ia menatap Ayah dengan sorot mata yang penuh pertanyaan, seolah menuntut jawaban. "Bimo, kamu apakan anak ini? Kenapa dia tiba-tiba bisa stress sampai begini?"
Ayah hanya bisa menunduk.
"Mbak Luna, beri dia obat penurun panas dan vitamin. Kita harus pastikan dia istirahat total," ujar Ayah yang seolah tidak memperdulikan ucapan dari Bude Luna.
Bude Luna memberikan obat padaku, lalu ia menoleh pada Ayah dan Bunda. "Kalian berdua, keluar dulu. Biar Bundanya yang kompres dan saya siapkan makanan. Bimo, ikut saya sebentar. Mas Karto, tolong jaga di sini sebentar."
Ayah mengangguk patuh pada kakaknya. Bude Luna menarik Ayah keluar. Sementara Bunda merawatku, aku samar-samar mendengar suara Ayah dan Bude Luna berbicara di ruang tamu.
"Aku tahu dia sedih, Mbak Luna. Aku tahu dia hancur. Tapi aku harus melakukannya. Demi agamanya," kudengar suara Ayah, yang terdengar sangat rapuh.
"Aku mengerti prinsipmu, Bimo," balas Bude Luna, nadanya kini tegas. "Tapi kamu hampir membunuh dia. Apa yang sebenarnya terjadi, Bimo? Anak itu pacaran dengan siapa? Kamu harus memikirkan cara lain agar dia bisa melupakan anak itu, bukan dengan menyita ponselnya dan membuatnya depresi seperti ini!"
Perdebatan itu menunjukkan bahwa Bude Luna, meskipun belum tahu detail penuh tentang Revan Elias Nugraha dan salib, sudah mencurigai bahwa penyebab demam ini adalah tekanan yang diberikan Ayah terkait hubungan asmara.
Aku memejamkan mata, membiarkan obat mulai bekerja. Di tengah demam dan kelelahan ini, aku tahu, pertarungan untuk melepaskan Revan baru saja dimulai, dan kini melibatkan seluruh anggota keluarga yang menyayangiku, termasuk Bude Luna yang akan menantang prinsip keras Ayahku demi kesehatan mental dan fisikku.
Di ruang tamu, suasana hening menyelimuti keempat orang dewasa itu. Bunda Fatma baru saja kembali dari kamar setelah memastikan Indira sudah tertidur pulas dan demamnya mulai turun. Ayah Bimo duduk tegak di sofa tunggal, wajahnya kusut oleh rasa bersalah dan kekhawatiran.Bude Luna duduk di depannya, melipat tangan dengan ekspresi serius, sementara Pakde Karto duduk di sampingnya, menjadi pendengar yang bijak.
"Demamnya sudah sedikit turun, Mas," lapor Bunda, suaranya pelan. "Tapi dia tidur sambil terus menangis. Dia menderita, Mas."
Ayah menunduk dalam-dalam. "Aku tahu, Bunda. Aku tahu keputusanku menyakitinya. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus melakukannya sebelum terlambat."
"Bimo, prinsipmu benar. Tapi caramu salah," tegas Mbak Luna. "Menyita ponsel, memutuskan komunikasi paksa, itu hanya akan membuat Indira memberontak dalam diam. Itu hanya akan membuat Revan terlihat semakin heroik di mata Indira, seolah dia adalah cinta yang harus diperjuangkan."
"Lalu aku harus bagaimana, Mbak?" tanya Ayah, nada suaranya menunjukkan keputusasaan.
Pakde Karto menyela dengan bijak. "Kita tidak bisa hanya fokus pada larangan, kita harus fokus pada alternatif. Kamu harus menunjukkan pada Indira bahwa ada jalan yang halal dan masa depan yang terjamin yang sama indahnya."
Bunda Fatma menatap Ayah dengan mata memohon. "Mas, aku setuju dengan Mbak Luna. Dia perlu kesibukan, dia perlu... seorang laki-laki yang tepat."
Ayah Bimo merenung lama. Ide perjodohan itu kini menjadi satu-satunya pilihan yang realistis.
"Kamu punya ide, Mbak?" tanya Ayah pada kakaknya.
Mbak Luna tersenyum tipis. Senyum yang penuh rencana. "Aku punya. Bapak Kyai di klinikku sering membicarakan tentang putranya. Anak muda yang cerdas, baru lulus S2 dari Al-Azhar, dan yang terpenting, dia sangat sholeh. Dia bukan mengajar di pondok, tapi dia memimpin perusahaan start-up teknologi besar yang bergerak di bidang syariah. Karakternya dingin, profesional, dan sangat teguh."
Ayah Bimo menegakkan duduknya. Wajahnya berseri. Ini adalah solusi yang sempurna.
"Siapa namanya, Mbak?"
"Namanya Ammar Fikri. Anak itu... dia punya gelar 'Gus', Bimo. Dia adalah calon menantu idaman semua keluarga Muslim. Dia sosok yang kuat, berprinsip, modern, dan sudah pasti sejalan dengan akidah kita," jelas Mbak Luna, antusias. Gus Ammar Fikri adalah kebalikan total dari Revan. Kehadirannya akan menjadi penegasan bahwa Garis Batas Keyakinan adalah segalanya.
"Kita akan lakukan ini, Bimo. Tapi perlahan," kata Mas Karto. "Pertama, kamu kembalikan ponselnya. Beri dia waktu untuk bangkit, tapi dengan syarat dia tidak boleh menghubungi Revan. Kedua, kamu harus meminta maaf padanya, Bimo. Katakan kamu menyakitinya, tapi kamu tidak menyesalinya demi agamanya. Baru kemudian, kita kenalkan dia dengan Gus Ammar Fikri."
Ayah Bimo mengangguk.
"Baik, Bunda. Kamu siapkan mental Indira. Mbak Luna, tolong hubungi Kyai itu. Aku akan mulai merencanakan pertemuan perkenalan. Tapi aku akan pastikan, Gus Ammar Fikri harus menjadi sosok yang bisa membuat Indira melupakan Revan Elias Nugraha selamanya."
Rapat keluarga usai. Pintu menuju perkenalan Gus Ammar Fikri, sang CEO dingin lulusan Al-Azhar, telah terbuka lebar.