Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIDANG PERCERAIAN
Pagi itu, udara sekitar Pengadilan Agama terasa segar, namun hati Shima berdegup lebih cepat. Ia menapak di halaman gedung dengan langkah mantap, sepatu hak tinggi menapak di lantai marmer. Gaun blouse putihnya rapi, lipstik merah menyala di bibir menegaskan aura percaya dirinya sebuah pernyataan diam bahwa Shima Lyra Senja hari ini berbeda.
Arya, yang sudah menunggu, menoleh begitu melihat sosok Shima berjalan masuk. Detak jantungnya tiba-tiba tak teratur. Ada sesuatu yang aneh dalam diri Shima pagi ini tidak ada kerutan sedih, tidak ada tatapan cemas. Hanya ketegasan yang membuat Arya sejenak pangling.
Ruang sidang Pengadilan Agama dipenuhi cahaya pagi yang lembut, tapi di dalamnya, suasana terasa tegang. Shima melangkah masuk dengan langkah mantap, mata menatap lurus ke depan, bibir merah menyala tetap tersenyum tipis. Semua mata tertuju padanya tetapi Shima tidak peduli. Hari ini, ia bukan lagi wanita yang mudah terguncang oleh tatapan Arya atau bisikan Laura.
Arya duduk di sisi lain ruang sidang, wajahnya datar, tapi hatinya berkecamuk. Melihat Shima begitu percaya diri, bahkan setelah semua pengkhianatan, membuat perasaannya campur aduk. Ada rasa rindu yang tiba-tiba muncul, tapi juga rasa sakit yang membakar dada. Ia ingin bicara, ingin menahan, tapi Shima sudah terlalu tegas, terlalu berbeda dari sosok yang dulu ia kenal.
Ketika hakim membuka persidangan, Shima menunduk hormat sekilas, duduk di kursi yang disediakan dengan sikap profesional. Sidang berlangsung singkat dokumen perceraian lengkap, saksi telah hadir, dan semua persyaratan terpenuhi. Arya menandatangani surat perceraian dengan tangan gemetar. Namun yang mengejutkan, ia menandatanganinya tanpa protes lebih lanjut, dipaksa menelan rasa sakitnya sendiri di hadapan Shima.
Begitu sidang selesai, Shima berdiri, menatap Arya sekali lagi, tanpa rasa dendam atau airmata. Ia hanya tersenyum tipis, lalu melangkah keluar dengan kepala tegak. Di luar, mobilnya menunggu mobil yang sama yang sebelumnya ia gunakan untuk menembus kekacauan hotel, simbol kebebasan baru dalam hidupnya.
Dan di saat itu, dari sisi lain gedung, Arru berdiri, menunggu. Ia melihat Shima melangkah keluar, setiap gerakannya mantap, setiap tatapannya tegas. Ethan berdiri di sampingnya, memegang beberapa dokumen penting. Arru menatap Shima sejenak, matanya tipis, menilai, dan di balik ekspresi dingin itu, ada rasa ingin melindungi cara Arru sendiri menunjukkan bahwa ia peduli.
Shima berhenti sejenak saat melihat Arru, menunduk hormat secara profesional, meski hatinya masih campur aduk. Arru hanya mengangguk, tanpa sepatah kata pun. Itu cukup pengakuan diam bahwa ia telah mengamati, memahami, dan menghargai kekuatan Shima.
Setelah itu, Shima melangkah ke mobilnya. Ethan mengikuti, menyerahkan kontrak pernikahan yang telah disiapkan Arru. Shima membuka kontrak itu, membaca dengan cermat, menyadari kompleksitas aturan Arru, tapi juga memahami logika dan perlindungan yang tersembunyi di balik setiap kata.
Kontrak itu bukan hanya sekadar dokumen ia adalah jendela menuju perjanjian yang akan mengikat mereka, resmi di publik, tapi rahasia dalam isi dan aturan. Arru memastikan bahwa, meski pernikahan ini terlihat formal, ia memiliki kendali atas hal-hal yang paling penting: keamanan, reputasi, dan perlindungan bagi Shima.
Shima menutup kontrak, tersenyum tipis kepada Ethan, lalu menatap ke arah Arru. Tanpa bicara, keduanya saling memahami bahwa apa pun yang akan terjadi selanjutnya, ini adalah awal dari babak baru dimana Shima tidak lagi menjadi korban, tapi wanita yang kuat dan siap menghadapi dunia, bahkan di bawah aturan pernikahan Arru Vance.
“Shima…” Arya mencoba memanggil, suara tercekat, hampir tak terdengar. Ia ingin bicara, menyentuh, bahkan mencoba mengulur sedikit waktu seakan pagi itu adalah kesempatan terakhir untuk menahan apa pun yang tersisa di hatinya.
Shima menatap Arya sekilas, senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya tetap fokus ke arah pintu masuk. “Hari ini aku ada jadwal operasi. Maaf, Arya, aku tidak bisa menunggu atau menunda,” ucapnya dengan nada sopan, tetapi ada sedikit kekakuan yang menusuk bahasa tubuh dan kata-katanya sekaligus menunjukkan ketegasan dan jarak.
Arya mengerutkan kening, langkahnya mendekat. “Boleh kita pergi ke rumah sakit bersama, Shima? Hanya sebentar, aku ingin bicara…”
Shima menatap Arya lebih dalam kali ini, sejenak membuat Arya terguncang. “Maaf, Arya. Aku sedang tidak tersedia untuk membicarakan hal yang tidak penting. Waktu adalah hal yang sangat berharga, terutama bagi yang harus menyelamatkan nyawa orang lain.”
Kata-kata itu, meski terdengar profesional, seperti jarum halus yang menusuk Arya. Shima tidak hanya menolak; ia menolak dengan elegan, dingin, dan di matanya Arya sedikit menyakitkan.
Arya terdiam, tersadar bahwa Shima hari ini berbeda. Wanita yang dulu rapuh dan mudah tersentuh kini berdiri tegak, percaya diri, dengan lipstik merah yang membara seperti peringatan tidak ada tempat untuk kelemahan, tidak ada tempat untuk rayuan.
Shima, tanpa menunggu jawaban Arya, melangkah ke ruang sidang. Setiap langkahnya mantap, setiap gerakannya menunjukkan bahwa ia adalah versi baru dari dirinya sendiri Shima yang bebas dari ketergantungan, yang menolak rasa kasihan, dan yang siap menghadapi perceraian dan apa pun yang menanti di depannya. Arya hanya bisa menatap dari jauh, campuran antara kekaguman, sakit hati, dan rasa kehilangan yang semakin menusuk.
****
Arya duduk di meja makan bersama Laura, piring berisi salad dan sandwich di depannya. Suasana tenang, hanya suara garpu dan gelas yang bersentuhan. Namun matanya tak bisa lepas dari sosok Shima yang duduk sendirian beberapa meja jauhnya, tampak rapi, percaya diri, dan berbeda dari beberapa minggu terakhir.
Shima menggeser kartu hitamnya, membayar tanpa ragu, sambil tersenyum tipis kepada kasir. Arya menatap, alisnya berkerut. “Siapa yang memberinya kartu itu?” pikirnya dalam hati. Segala logika mencoba menebak arrangement apa yang bisa memberinya akses seperti itu, padahal secara resmi, Shima tidak memiliki apa-apa setelah perceraian mereka.
Laura, yang duduk di sampingnya, menangkap tatapan Arya. Suara lembutnya tapi tajam:
“Masih memikirkan dia, ya? Kalau memang masih suka, seharusnya kamu menghargai aku sebagai calon istrimu.”
Arya menelan ludah, terguncang oleh ucapan Laura, tapi tatapannya tak lepas dari Shima. Ada rasa gelisah bercampur penasaran dan sedikit ketakutan. Shima, di sisi lain, sama sekali tidak menoleh. Ia tahu mata mereka mengintai, namun ia tetap tenang, mengatur ritme napas, dan fokus pada makanan dan percakapannya dengan rekan dokter.
Di luar, suasana rumah sakit tetap sibuk, suara monitor pasien berdenging, langkah cepat perawat dan dokter terdengar jelas. Arya merasakan kontras yang menusuk antara Shima yang terlihat kuat dan mandiri, dengan dirinya yang masih terguncang oleh semua kejadian terakhir. Laura menepuk tangan Arya perlahan, memberi kesan manja tapi ada kepanikan di matanya dia juga mulai sadar bahwa Shima kini berbeda, tak tergantung pada Arya lagi.
Arya menatap Shima lagi, kali ini lebih lama. Ia mulai menyadari satu hal: Shima tidak lagi lemah, tidak lagi tergantung padanya, dan kini memiliki pengaruh yang Arya tidak bisa kontrol.
Laura menarik lengan Arya, menekankan kepanikan dan cemburu:
“Kamu lihat kan? Dia santai, bahkan makan sendirian dan tetap terlihat elegan. Itu semua karena siapa yang membantunya. Kalau itu aku, Arya… kamu akan tahu rasanya dihargai.”
Arya menelan ludah. Sekalipun ia ingin membalas dengan kata-kata pedas atau gerakan marah, ia tak mampu. Shima bukan lagi wanita yang bisa ia intimidasi dengan kata-kata atau sikap. Arya hanya bisa duduk, menatap, dan merasakan rasa kehilangan kontrol untuk pertama kalinya setelah semua drama perceraian dan pengkhianatan itu.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.