Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Selesai
Akhirnya Zahra, Althaf, Mak Mia, serta si kembar Karel dan Lisa pulang ke rumah. Udara malam terasa lebih lengang, hanya suara jangkrik yang menemani langkah mereka menaiki rumah panggung itu. Begitu tiba, Zahra langsung meregangkan otot-ototnya sambil menguap lebar.
Malam itu, semuanya telah berakhir dengan sebuah kesepakatan. Para warga sepakat membuat pernyataan tertulis agar tidak lagi membuat onar atau mengganggu keluarga Althaf. Satu per satu mereka menandatangani perjanjian tersebut di hadapan Pak RT dan polisi. Meski begitu, Zahra sama sekali tidak merasa puas.
Baginya, mereka semua seharusnya merasakan dinginnya hotel prodeo, meski hanya semalam. Namun ada satu hal yang cukup mengobati kekesalannya, Pak Samsul dan Bu Mirna tetap harus masuk penjara, meski hanya beberapa hari.
Zahra kembali menguap dan berkata, “Ada-ada aja tuh warga. Ganggu tidur cantik aku.”
Lisa mengangguk setuju. “Iye kak. Bikin ribut-ribut saja.”
Zahra mendengus pelan, lalu menimpali,
“Aku heran kok mereka masih percaya gituan. Emang sih, kalau suatu kampung sudah berbuat dosa, pasti akan dihukum. Lah ini, hanya karena provokasi si Mirna itu langsung percaya deh.”
Karel mengangkat bahu. “Memang begitu kak. Di sini masih kental soal takhayul. Tapi kak Zahra hebat, kasih Bu Mirna tai kucing.”
Ucapan itu membuat mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, mengingat kejadian memalukan Bu Mirna beberapa saat lalu.
Mak Mia langsung menegur lembut, “Sudah. Ayo tidur kembali. Besok kau berdua mau sekolah.”
Si kembar mengangguk patuh, lalu masuk ke kamar masing-masing. Rumah kembali terasa tenang.
Mak Mia kemudian menatap Zahra dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih nah. Sudah bela keluarga ini.”
Zahra berdecak kecil. “Ih mamak. Kenapa harus terima kasih. Keluarga ini juga keluargaku.”
Mak Mia tersenyum haru. Dari sudut ruangan, Althaf menatap Zahra dengan senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan.
“Mamak mau tidur kembali nah,” ujar Mak Mia sebelum melangkah pergi.
Zahra mengangguk. Tak lama kemudian, ia kembali ke kamar bersama Althaf. Di dalam kamar sederhana itu, Zahra duduk di tepi ranjang sambil menatap Althaf yang sedang merapikan kasur tipis di atas lantai kayu.
Zahra berkata, “Kok bisa buku nikah kita udah jadi?”
Althaf menjawab santai, “Tentu saja. Kan semua sudah di urus sama papa.”
Zahra mengangguk pelan, lalu bersiap untuk berbaring. Namun sebelum sempat merebahkan diri, suara Althaf menghentikannya.
“Eh mau apa?”
“Tidurlah masa mau masak,” jawab Zahra cepat.
Althaf tersenyum tipis. “Karena sudah bangun, bagaimana kalau kita sholat subuh saja. Udah jam 4 juuga.”
Zahra terdiam sejenak, berpikir, lalu mengangguk. “Tapi temenin aku ya ambil air wudhu di sumur. Aku takut soalnya.”
Althaf terkekeh kecil. “Tadi tidak takut sama orang kesurupan. Sekarang malah takut ke sumur.”
Zahra langsung cemberut. “Ya itu kasus berbeda.”
Tanpa berkata lagi, keduanya akhirnya keluar dari kamar. Mereka turun ke bawah rumah, berjalan berdampingan menuju sumur untuk mengambil air wudhu.
*
Dua hari kemudian, Zahra melangkah keluar dari dalam rumah dan berhenti di teras. Ia berdiri sambil memandangi pemandangan di depannya, sesekali mengipasi wajahnya dengan kipas kecil yang ia genggam. Cuaca siang itu benar-benar terik, panasnya menyengat hingga membuat keringat cepat membasahi pelipisnya.
Zahra merasa sedikit bosan. Sejak pagi, Mak Mia sudah pergi ke lapangan bersama warga lain untuk menghias lokasi acara panen raya yang akan digelar besok. Rumah terasa sepi tanpa suara mamaknya.
Tak lama kemudian, ponsel Zahra berdering. Ia melirik layar dan langsung tersenyum lebar saat melihat nama yang tertera. Video call dari sang mama.
Zahra segera mengangkatnya. “Halo Mamaku sayang! Apa kabar?” tanyanya dengan suara ceira.
Di layar, Mama Rani terlihat tersenyum hangat. “Alhamdulillah, mama baik. Kamu sehat nak?”
Zahra mengangguk mantap. “Aku sehat Mak.”
Rani menatap putrinya lekat-lekat. “Kamu betah di sana?”
Zahra tersenyum santai. “Ya betah dong. Meski warganya rada-rada miring semua Mak. Tapi it's okay Ara bisa mengatasi masalahnya tanpa masalah.”
Mama Rani langsung berdecak kesal. “Pegadaian kali ah.”
Zahra terkekeh kecil, lalu bertanya, “Trus papa mana mah?”
Rani menjawab sambil berjalan masuk ke dalam mobil. “Papa di perusahaan. Ini mama mau anterin makanan.”
Zahra langsung menggoda, “Cie. Ingin jadi istri yang Sholehot kan?”
Mama Rani mendengus. “Iya domg. Biar gaak ditikung.” Lalu suaranya berubah sedikit curiga. “Gimana kamu di sana gak buat ulah kan?”
Zahra mengerucutkan bibirnya. “Ish mama. Ara ini anak baik dan rajin menabung dan tidak sombong loh. Lagian Ara juga udah bisa cuci piring mah, udah bisa cuci baju juga.”
Mama Rani langsung menimpali cepat, “Mama jadi curiga, jangan-jangan piring mertuamu pasti kamu pecahkan kan?”
Zahra langsung meringis.
Mama Rani kembali berkata, “Pasti saat kamu cuci baju di sumur. Kamu pasti bilasnya di dalam sumur kan?”
Lagi-lagi Zahra meringis. Dalam hati, ia bertanya-tanya kenapa sang mama bisa tahu begitu detail.
Awal-awal ia cuci piring dan cuci baju sendiri, Zahra melakukan kesalahan itu. Meski begitu, ibu mertuanya tetap sabar.
Belum sempat ia menjawab, Mama Rani kembali bicara seolah membaca pikirannya. “Tentu mama tahu. Mama ini ibumu tahu.”
Zahra berdecak kesal. “Mama ini kayak sanro (cenayang) aja deh.”
Mama Rani tertawa kecil. “Ya udah. Mama udah sampai. Entar mama telfon lagi ya.”
Zahra mengangguk. “Bye mah. Salam sama suamimu yaa.”
Mama Rani kembali berdecak kesal sebelum sambungan terputus. Zahra terkekeh kecil menatap layar ponselnya yang kini gelap.
Hampir bersamaan dengan itu, Karel muncul dari samping rumah sambil membawa kantong kresek hitam.
Zahra menoleh. “Apaan tuh?” tanya Zahra.
Karel mengangkat kantongnya. “Ini kak bunne sama coppeng mauki?”
Ia memperlihatkan dua buah berwarna gelap, satu kecil-kecil dan satunya agak besar.
Zahra mengernyit. “Kok item.”
Karel terkekeh. “Ya tentumi hitam, tapi ini enak kak. Mau ki coba?”
Zahra mengangguk. “Boleh deh.”
“Tunggu pale kak,” ujar Karel. “Moka cuci bersih dulu terus kasih gula biar mantap.”
Tak lama kemudian, Karel kembali membawa dua piring berisi buah yang sudah dilumuri gula pasir. Zahra mengambil satu potong dan mencicipinya. Matanya langsung melotot.
“Enak seger.”
Karel tersenyum bangga. Mereka pun makan bersama di teras dengan lahap, menikmati angin siang yang sesekali berembus.
Tiba-tiba, pandangan Zahra dan Karel tertuju ke arah jalan. Sebuah taksi berhenti di depan rumah Bu Mirna. Wanita itu turun bersama anaknya, Tiara.
Begitu melihat Zahra, Bu Mirna langsung melengos dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Tiara pun menatap Zahra dengan sorot mata penuh kebencian.
Namun Zahra hanya mengangkat bahunya acuh, kembali melanjutkan makannya seolah tak terjadi apa-apa.
Coppeng.
Bunne.
Bunne tuh buah Buni ya thor
kapok sukurin kau hahaha
pak sul sul ketauan juga kan heh
awas kau pak sul sul ketauan baru tau rasa wkwkwk
aku ngebayangin nya aja enek loh, apa lagi yang jadi bu mirna pingsan dah🤣🤣
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️