NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Leonard kembali ke kamar dengan tangan kosong. Rokoknya sudah habis, ponselnya hancur dan sudah ia buang ke tempat sampah. Suasana sunyi menyelimuti kamar, hanya terdengar detak jam di dinding.

Saat tiba di kamar, matanya langsung menangkap sosok Leora yang sedang tidur. Wajahnya terlihat lelah, bibirnya sedikit mengatup, napasnya tenang namun tampak berat. Leonard, tanpa sadar, terpikir untuk membenarkan selimut yang tidak menutupi tubuhnya dengan sempurna. Namun, begitu pandangannya menatap wajah Leora, ia segera mengalihkan mata.

Dengan langkah pelan, Leonard pergi ke kamar mandi. Ia membuka bajunya, memperlihatkan perut kotak-kotak dan otot-otot tubuhnya yang terlihat jelas seolah sudah terlatih sejak lama. Tubuhnya menunjukkan disiplin dan wibawa, sekaligus aura ketenangan yang tajam.

Setelah itu, Leonard keluar dari kamar mandi. Tanpa membangunkan Leora, ia memilih sofa, berbaring dengan cepat, menutup mata, mencoba tidur. Tubuhnya yang lelah menempel di sofa, namun pikirannya masih sibuk memikirkan pernikahan paksa, drama Jaesica, dan kekacauan emosional yang baru saja terjadi.

Meski tubuhnya beristirahat, jiwanya tetap gelisah seorang pria yang di luar tampak sempurna, kaya, dan wibawa, tapi hatinya sedang menghadapi pergolakan yang tak bisa diungkapkan kepada siapa pun.

Leonard tertidur di sofa, tubuhnya berbaring lelah setelah hari yang panjang. Namun, Leora belum benar-benar tertidur di kasurnya. Selama ini, ia hanya pura-pura tidur, menahan napas dan mendengar percakapan Leonard dengan wanita itu , percakapan yang membuat hatinya berdebar dan bingung.

Dari kasur, ia menatap Leonard yang tampak begitu tenang di sofa, sosoknya yang wibawa dan elegan tetap memancarkan aura kuat, meski ia lelah. Dengan suara pelan, nyaris berbisik agar tidak membangunkan Leonard, Leora berkata:

“Sebenernya… aku juga tidak ingin bersatu denganmu di sebuah ikatan seperti ini.”

......................

Pagi datang dengan cahaya lembut menembus tirai kamar. Leonard membuka mata perlahan, menatap sekeliling. Ia tidak menemukan Leora di kasur. Ia mengernyit, berpikir mungkin Leora sudah turun lebih awal, bersiap kembali ke rumah Alastair.

Namun, dugaan Leonard salah. Dari pintu kamar mandi, tiba-tiba muncul Leora, hanya dibalut handuk yang menutupi sebagian tubuhnya.

“Kau sudah bangun! Kenapa tidak bilang sih?!” suara Leora terdengar setengah kesal, setengah canggung.

Leonard, yang tiba-tiba tersadar dan merasa malu karena pemandangan itu, segera berbalik tubuhnya, menatap ke arah lain. Nada suaranya tetap tenang tapi sedikit canggung,

“Aku gak tau. Cepat pakai bajumu"

Tiba-tiba terdengar langkah cepat Leora langsung berlari masuk ke kamar mandi .

Hening sejenak. Tak lama kemudian, Leora keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah dipersiapkan. Wajahnya sedikit merah, masih setengah kaget.

“Maaf..aku tidak tahu kalau kau sudah bangun” ujarnya pelan.

Leonard menguap tipis, bangun dari sofa dan duduk di kasur. Ia mengucek matanya, tidak menanggapi kata-kata Leora.

Leora menatap wajah Leonard dari kaca yang ada di depannya, menilai ekspresi dingin pria itu. Dengan nada lebih tegas, ia berkata,

“Cepat bersiap, kita harus pergi.”

Leonard menoleh sebentar, suara datar dan sedikit malas,

“Aku sudah tahu,” katanya.

Tanpa banyak bicara lagi, Leonard berdiri dan langsung pergi ke kamar mandi, meninggalkan Leora menatap dari kaca. Suasana pagi tetap hening, hanya terdengar suara aliran air dan langkah kaki mereka masing-masing yang bergerak cepat menyiapkan diri.

Begitu pintu kamar mandi tertutup di belakang Leonard, Leora menghembuskan napas panjang. Ia tidak menunggu lebih lama. Tas kecil sudah berada di tangannya, langkahnya cepat saat ia keluar dari kamar dan menuju lift.

Beberapa menit kemudian, Leora tiba di lantai satu apartemen.

Ruang makan utama sudah tertata rapi. Aroma kopi hangat dan roti panggang memenuhi udara. Di sana telah duduk Minjae Alastair dengan sikap anggun seperti biasa. Di seberangnya, Presdir Lee tampak membaca sesuatu di tabletnya. Sementara Damian, ayah Leora, duduk tenang namun sorot matanya langsung berubah lembut begitu melihat putrinya datang.

“Leora,” panggil Damian pelan.

Leora tersenyum kecil dan langsung menghampiri.

“Selamat pagi Ayah,” katanya sambil sedikit menunduk hormat ke arah Presdir Lee dan Minjae.

Minjae mengangkat wajahnya, menatap Leora dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum tipis—senyum seorang ibu mertua yang sulit ditebak artinya.

“Kau turun sendiri?” tanya Minjae tenang.

“Di mana Leonard?”

Leora terdiam sepersekian detik, lalu menjawab sopan,

“Leonard masih bersiap, Bu.”

Minjae mengangguk pelan.

“Seperti biasa,” gumamnya singkat, membuat Presdir Lee melirik sekilas tanpa berkomentar.

Damian berdeham kecil, mencoba mencairkan suasana.

“Leora memang selalu tepat waktu. Sejak kecil begitu,” katanya, nada suaranya mengandung kebanggaan.

Minjae tersenyum lebih ramah kali ini.

“Itu kualitas yang baik untuk menjadi istri keluarga Alastair.”

Leora hanya menunduk, menyembunyikan ekspresi yang sulit dibaca.

Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi ding dari arah lift.

Pintu lift terbuka, dan Leonard muncul dengan setelan rapi—hitam, presisi, wajahnya kembali pada ekspresi dingin yang khas. Langkahnya tenang, matanya langsung menangkap keberadaan semua orang di ruangan itu.

“Pagi,” ucapnya singkat.

“Leonard,” Minjae menoleh, suaranya lembut namun tegas.

“Kemarilah.”

Leonard melangkah tanpa ragu, namun alih-alih duduk di kursi kosong di samping Leora, ia justru menarik kursi di sebelah Minjae dan duduk di sana.

Gerakan itu sederhana, tapi cukup jelas.

Leora menatap lurus ke depan, pura-pura tidak memperhatikan. Damian menangkap perubahan kecil itu, rahangnya mengeras sebentar, namun ia memilih diam.

Presdir Lee akhirnya angkat bicara,

“Baik. Karena semua sudah lengkap, kita sarapan.”

Meja makan perlahan terisi. Hidangan sederhana namun tertata rapi tersaji roti panggang, sup hangat, buah segar, dan kopi. Minjae mengangkat cangkirnya lebih dulu, lalu menoleh ke Leora.

“Bagaimana tidurmu semalam, Leora?” tanyanya lembut.

Leora tersenyum kecil, menjaga sikap sopan.

“Cukup baik, Bu. Tempatnya tenang.”

Minjae mengangguk puas.

“Apartemen ini memang dipilih agar jauh dari hiruk-pikuk. Kau cocok dengan suasananya?”

“Ya, Bu. Saya menyukainya.”

Damian ikut tersenyum mendengar itu.

“Leora memang mudah menyesuaikan diri sejak kecil,” katanya. “Dia tidak pernah mengeluh soal tempat.”

Presdir Lee menurunkan tabletnya, menatap Leora dengan sorot mata menilai namun ramah.

“Itu kelebihan yang jarang. Tidak semua orang bisa tetap tenang di lingkungan baru.”

“Terima kasih, Tuan,” jawab Leora tenang.

"Jangan panggil Tuan lagi, panggil aku Ayah"

Ucap Presdir Lee

"Hahaha sepertinya ada dua ayah sekarang" Ucap Damian sambil menuangkan teh hangat ke gelas Leora.

Minjae lalu menoleh pada Damian.

“Pak Damian, bagaimana kondisi pekerjaan Anda akhir-akhir ini?”

Damian mengangguk sopan.

“Puji Tuhan, berjalan baik. Saya bersyukur Leora selalu membantu untuk mengatasi kendala keuangan dan pengarsipan.”

Minjae tersenyum tipis, paham maksud kalimat itu.

“Kami memastikan menantu kami tidak kekurangan apa pun. Leora sudah memenuhi semua kriteria menantu Alastair. Dia cantik, putih, baik, pintar, dan lulusan tinggi. ”

Leora tersenyum

" Saya berharap dapat memberikan yang terbaik bu"

"Iya sayang, itu baru menantu ibu" Ucap Minjae sambil mencubit hidung mancung Leora.

Sarapan telah selesai. Peralatan makan mulai dirapikan oleh staf apartemen. Presdir Lee berdiri lebih dulu, membenahi jasnya.

“Kalau begitu, setelah ini kita langsung kembali ke kediaman Alastair,” ujarnya tenang. “Tidak baik terlalu lama di sini.”

Minjae mengangguk setuju.

“Mobil sudah disiapkan.”

Leora yang sejak tadi diam, menoleh ke arah ayahnya. Nada suaranya lembut, sedikit ragu.

“Nanti ayah ikut ke kediaman Alastair juga?”

Damian tersenyum kecil, menggeleng pelan.

“Tidak, Leora. ayah akan kembali ke rumah kita.”

Leora terkejut kecil.

“Sendiri?”

“Iya,” jawab Damian ringan, seolah itu bukan hal besar. “Rumah itu sudah terlalu lama jadi tempat ayah. Ayah nyaman di sana.”

Leora mengernyit halus.

“Tapi… siapa yang akan mengurus Ayah?”

Damian tertawa pelan, hangat.

“Leora,” katanya sambil menepuk tangan putrinya perlahan, “di rumah itu ada banyak pembantu. Mereka sudah lama bersama Ayah. Lebih dari cukup.”

Minjae ikut menimpali dengan nada ramah,

“Pak Damian tidak perlu khawatir. Kami juga tetap akan memperhatikan.”

Presdir Lee mengangguk singkat.

“Kediaman Alastair selalu terbuka jika Anda berkenan berkunjung.”

Damian menunduk sopan.

“Terima kasih, Lee”

Mobil sudah menunggu di depan apartemen. Udara pagi terasa dingin, menusuk pelan. Damian berdiri di hadapan Leora, menatap putrinya lama seolah ingin menyimpan wajah itu dalam ingatan.

“Ayah benar-benar tidak ikut?” suara Leora bergetar, nyaris tak terdengar.

Damian tersenyum kecil, meski matanya berat.

“Tidak, Nak,” katanya pelan. “Sudah waktunya Ayah melepasmu.”

Leora menunduk. Bahunya bergetar.

“Leora belum terbiasa..”

Damian membuka kedua tangannya.

“Ke sini.”

Leora langsung memeluk ayahnya erat. Tangannya mencengkeram jas Damian, wajahnya tertanam di dada pria itu. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan.

Damian memeluk balik dengan kuat, satu tangannya mengusap rambut Leora, seperti yang selalu ia lakukan sejak kecil.

“Takut itu wajar,” katanya lirih. “Tapi kau tidak sendiri.”

Air mata Leora terus jatuh.

“Leora cuma punya Ayah..”

Damian menutup mata sejenak, menahan perasaannya sendiri.

“Dan Ayah akan selalu ada,” ucapnya lembut. “Ke mana pun kau melangkah.”

Minjae melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Leora dengan penuh empati.

“Tenang saja sayang, sekarang ada ibu..” katanya pelan.

Presdir Lee berdiri tak jauh, menatap dalam diam. Leonard pun sama—wajahnya tetap dingin, namun sorot matanya tidak sepenuhnya acuh.

Damian perlahan melepas pelukan, lalu mengangkat wajah Leora dengan kedua tangannya.

“Dengarkan Ayah,” katanya tegas namun penuh kasih.

“Jangan pendam semuanya sendiri. Dan jangan lupa pulang.”

Leora mengangguk cepat.

“Iya, Ayah… Leora janji.”

Damian kemudian menoleh ke arah Presdir Lee. Suaranya rendah, serius.

“Jaga putriku, Lee.”

Presdir Lee mengangguk mantap.

“Itu tanggung jawab kami.”

Minjae menggenggam pundak Leora, membimbingnya menuju mobil. Leora menoleh sekali lagi ke arah ayahnya, tangisan itu sudah sedikit mereda.

Damian berdiri tegak, mengangkat tangan kecil senyum tipis terukir, meski matanya sendu.

Mobil perlahan bergerak, meninggalkan seorang ayah yang berdiri sendiri dengan dua bodyguard di sampingnya dan seorang anak yang baru saja benar-benar belajar melepaskan.

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!