Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Telepon Dari Mama Riri
Arjuna menatap ke luar jendela kaca besar di belakangnya. Dari lantai 15, pemandangan Jakarta terlihat jelas — langit biru pucat, lalu-lalang kendaraan seperti semut dari kejauhan. Tapi pikirannya melayang jauh ke rumah Mama Riri.
Apakah Lidya sudah makan? Apakah demamnya sudah turun?
Ia menggeleng cepat, menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Kenapa aku mikirin dia?
Padahal, semalam pun ia sudah cukup “melibatkan diri” dengan memanggil dokter pribadi. Itu sudah lebih dari cukup.
Tapi sekarang … bahkan secangkir kopi pun terasa aneh tanpa Lidya.
Telepon di meja berdering, memecah lamunannya. “Halo,” sapanya singkat.
“Pak Arjuna, meeting akan dimulai lima menit lagi,” kata Raffi.
“Oke, saya ke sana.”
Arjuna menutup map, merapikan jas, lalu berdiri. Tapi sebelum melangkah ke pintu, pandangannya sempat kembali ke laptop — tepat ke pesan singkat Lidya yang masih terbuka di layar.
Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Terima kasih, Lidya,” gumamnya lirih. “Cepat sembuh.”
Ia berjalan keluar dengan langkah mantap, mencoba menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Tapi entah kenapa, setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaan, bayangan wajah Lidya selalu muncul.
***
Beberapa jam kemudian, di rumah Mama Riri.
Lidya menggeliat di bawah selimut. Tubuhnya masih panas, tapi keringatnya mulai berkurang. Suara notifikasi ponsel membuatnya membuka mata setengah sadar.
Satu pesan baru masuk.
“Meeting berjalan lancar. File kamu bagus sekali. Terima kasih.—A”
Ia menatap layar itu lama.
Hanya satu huruf inisial, tapi Lidya tahu persis siapa pengirimnya.
Arjuna.
Senyum samar terbit di bibirnya. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dadanya — bukan karena demam, tapi karena perhatian kecil yang tidak ia harapkan.
Ia meletakkan ponsel di dada, memejamkan mata. “Sama-sama, Kak,” gumamnya pelan.
Namun di balik senyum lemah itu, ada perasaan lain yang mulai tumbuh diam-diam — perasaan yang seharusnya tidak ada.
***
11.40 WIB — Ruang Meeting Utama Grup Adiwongso
Arjuna masih memimpin rapat dengan tenang. Suaranya mantap, ekspresinya fokus. Tapi di sela-sela pembahasan laporan dan grafik, pikirannya sempat melayang lagi.
Raffi memperhatikan perubahan halus itu dari sisi meja. Bosnya jarang sekali terlihat se-melankolis pagi ini.
“Pak, ini laporan dari Divisi Finance,” ujar salah satu manajer.
Arjuna menatap dokumen, lalu berkata datar, “Gaya penulisan ini … mirip Lidya. Kalian minta bantu dia, ya?”
“Ah, iya, Pak,” jawab manajer itu gugup. “Tiga hari yang lalu Mbak Lidya sempat bantu revisi.”
Arjuna menatap lembar itu sekali lagi, lalu tersenyum samar.
“Pertahankan format ini. Rapi dan enak dibaca.”
Meeting berlanjut tanpa banyak komentar lagi, tapi dalam hati Arjuna tahu — ia mulai kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar sekretaris direktur.
***
Sore hari, saat Arjuna kembali ke ruangannya, ponselnya bergetar.
Sebuah panggilan masuk — Mama Riri.
“Assalamu’alaikum, Arjun.”
“Wa’alaikum salam, Ma. Ada apa?”
“Ini, Jun … Lidya tiba-tiba pingsan. Tadi Mama kira cuma kelelahan, tapi sekarang badannya semakin panas. Tolong kasih tahu Eliza ya, soalnya dari tadi Mama telepon tidak diangkat-angkat.”
Arjuna membeku. “Apa? Di rumah, Ma?”
“Mama lagi di IGD sekarang. Dokternya bilang kemungkinan infeksi.”
“Rumah sakit mana, Ma?”
“Brawijaya.”
Telepon terputus.
Arjuna langsung berdiri dari kursinya, napasnya memburu. Untuk sesaat, dunia di sekelilingnya mendadak kabur. Satu-satunya yang terlintas di kepalanya hanyalah wajah pucat itu — dan rasa bersalah yang menghantam dadanya seperti ombak.
“Lidya .…”
Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar ruangan, meninggalkan semua agenda dan rapat penting di belakangnya.
Mobil hitamnya melesat di jalanan Jakarta sore itu — dan di dalamnya, Arjuna berperang dengan perasaan yang tidak lagi bisa ia tolak.
***
“Ma, aku udah di depan IGD.” Suara Arjuna terdengar berat di ponsel, napasnya masih terengah karena berlari dari parkiran. “Lidya di mana?”
“Oh, Arjun—” Suara Mama Riri terdengar cemas di seberang. “Mama di bagian administrasi, Nak. Lidya sudah dibawa masuk ke ruang observasi.”
“Oke. Aku ke sana sekarang.”
Arjuna memutus sambungan, lalu segera melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit yang berbau obat dan antiseptik. Sepatunya beradu dengan lantai marmer, menimbulkan gema kecil di antara suara langkah suster dan bunyi alat monitor dari ruang-ruang pasien.
Begitu sampai di depan meja administrasi, ia langsung melihat sosok Mama Riri — wajahnya tegang, tangan gemetar memegang map berisi dokumen.
“Ma,” panggilnya pelan.
Wanita paruh baya itu menoleh, matanya langsung basah melihat menantunya datang. “Syukurlah kamu datang, Nak. Mama tadi panik sekali. Tiba-tiba Lidya jatuh pingsan di kamar habis dari kamar mandi.”
Arjuna mengambil map dari tangan Mama Riri tanpa banyak bicara. “Biar aku bantu isi datanya, Ma.”
“Biar Mama aja, Nak—”
“Nggak apa-apa. Aku yang urus.”
Tangannya cepat menulis data pasien, menandatangani formulir, menyerahkan kartu asuransi, dan berkoordinasi dengan petugas administrasi seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan situasi darurat. Tapi di balik ketenangan itu, rahangnya mengeras menahan emosi.
“Dokternya bilang apa, Ma?” tanyanya tanpa menoleh.
“Katanya … dari hasil sementara, ada infeksi di tubuhnya. Mereka masih cari penyebabnya. Sekarang Lidya lagi diobservasi, barusan disuntik antibiotik juga.”
Arjuna berhenti menulis sejenak. Matanya terpejam, napasnya berat. “Infeksi ….” gumamnya. “Apa ini masih ada hubungannya dengan kejadian di Yogya,” batinnya.
Petugas menyerahkan kuitansi rawat inap. “Nanti akan dipindahkan ke ruang 506, Pak. Silakan tunggu di sana, pasien sebentar lagi dipindahkan dari IGD.”
“Terima kasih.”
Arjuna menatap Mama Riri. “Ayo, Ma. Aku temani.”
Mereka berjalan beriringan melewati lorong. Udara dingin dari pendingin ruangan menusuk kulit, tapi dada Arjuna justru terasa panas. Ia tak berhenti menatap lantai, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Lidya semalam — pucat, tapi masih sempat memaksakan senyum.
“Ma, duduk dulu aja di ruang tunggu,” ujar Arjuna pelan. “Aku mau lihat kondisi Lidya sebentar di ruang observasi.”
Mama Riri mengangguk. “Iya, Nak. Mama tunggu di sini aja. Tolong tanyain dokternya juga ya.”
Arjuna berjalan ke arah ruang IGD. Dari balik pintu kaca, ia melihat Lidya terbaring di brankar dengan infus di tangan kanan. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Perawat sedang memeriksa tekanan darah.
Begitu Arjuna membuka pintu, aroma obat langsung menyeruak. Perawat menoleh. “Keluarga pasien?”
“Iya. Kakaknya.”
“Pasien baru saja selesai diberikan cairan dan antibiotik, Pak. Suhunya sudah mulai turun, tapi masih harus diobservasi dua puluh empat jam.”
“Baik.” Arjuna mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Begitu perawat keluar, Arjuna melangkah mendekat. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap wajah perempuan itu lama. Lidya tampak tertidur lemah, rambutnya menempel di dahi, ada sedikit keringat di pelipisnya.
Arjuna mengembuskan napas panjang, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Jemarinya secara refleks merapikan selimut yang agak bergeser. “Kamu selalu bikin orang khawatir,” gumamnya pelan. “Kenapa nggak pernah mau jaga diri. Seharusnya kemarin kita tidak usah langsung pulang ke Jakarta, kalau kamu masih sakit, biar kamu bisa istirahat dulu?”
Belum sempat ia berkata lagi, ponselnya bergetar. Nama Eliza 💕 terpampang di layar.
Bersambung ... ✍️
Mampir yuk ke karya Reni t
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄
cemburu yee 🤭