"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Larangan Masuk Paviliun Belakang
Kirana merasa sesuatu merayap di punggungnya, panas dan berat, sementara suara Nyi Laras berteriak dari luar Pendopo, "Gendong! Jangan sakiti Larangan Masuk Paviliun Belakang itu! Biarkan dia yang melakukannya!"
Cairan panas dan amis yang menetes di tangan Kirana ternyata adalah air liur Gendong. Makhluk itu kini merayap di punggung Kirana, mengeluarkan suara mendesis yang memekakkan telinga di ruang terowongan yang sempit.
Kirana meronta. Ia tahu Gendong adalah perwujudan fisik dari Gendong Waris, sekte yang mengambil janin kakak-kakaknya. Jika Nyi Laras melarang Gendong melukainya, itu berarti Kirana harus melukai dirinya sendiri melalui perlawanan yang memicu Penanda atau melalui ketakutan.
"Menjauh dariku, makhluk kotor!" teriak Kirana, mendorong kakinya ke dinding terowongan, mencoba melompat ke depan.
Dorongan itu membuat perutnya terbentur keras ke tanah yang berbatu. Aduh! Rasa sakit yang menusuk menjalar dari rahimnya. Seketika, rasa sakit itu memicu kemunculan Penanda baru.
Di tulang selangkanya, memar ungu pekat muncul. Rasa sakitnya begitu hebat hingga Kirana harus menahan napas.
Gendong yang tadinya hendak mencakar Kirana, tiba-tiba berhenti. Makhluk itu mencium udara, lalu mundur perlahan, desisannya berubah menjadi suara dengkuran puas.
"Bagus. Waris suka pengorbanan kecil," suara Nyi Laras terdengar melalui dinding Pendopo. "Sekarang keluar, Kirana! Kau tidak boleh masuk Paviliun Belakang, dan terowongan ini adalah jalan menuju larangan itu!"
Kirana menyadari maksud Nyi Laras. Terowongan dari Pendopo ini pasti terhubung ke Kolam, yang merupakan bagian terlarang di dekat Paviliun. Nyi Laras tidak ingin Kirana memasuki area larangan itu.
Kirana meraih ponselnya yang terjatuh, menyalakannya. Gendong sudah melarikan diri kembali ke celah di dinding.
Ia harus terus maju. Kolam itu lebih penting daripada melarikan diri kembali ke kamar dan diracun lagi.
Ia merangkak cepat menuju cahaya gemericik di ujung terowongan. Bau anyir dan melati di sana bercampur dengan bau lumpur segar.
Terowongan itu berakhir di sebuah ruangan kecil dari batu yang gelap dan lembap. Di tengah ruangan itu, ada sebuah kolam batu yang berbentuk seperti rahim, dengan air hitam diam. Di tepi kolam, terukir tulisan Jawa kuno yang tidak bisa ia baca.
Kirana mendekati kolam. Begitu ia melihat ke airnya, ia merasakan kengerian yang dijelaskan dalam memori Laksmi. Airnya bukan bening. (Show, Don't Just Tell: Visualisasi kengerian air kolam.)
Air itu kental dan berwarna merah kecokelatan, seperti darah yang sudah lama mengering. Dan di permukaannya, mengambang banyak kelopak bunga Kamboja, serta bulu-bulu hitam seperti bulu Gendong.
Air Kolam yang Berubah Merah.
Kirana mencengkeram tangan. Ia menekan Penanda di pergelangan kakinya.
...Emas... Leher...
Kunci Emas di Leher Ibu.
Nyi Laras pasti menggunakan kolam ini untuk ritual pemindahan 'inti sari' janin, dan kunci itu adalah kunci yang membuka rahasia terbesar.
"Kirana! Keluar sekarang, Ibu bilang!" Suara Nyi Laras kini sangat dekat.
Kirana melihat sekeliling ruangan batu. Ia harus bersembunyi. Tidak ada tempat. Lalu matanya tertuju pada salah satu batu ukiran di tepi kolam. Ia menyentuh batu itu, dan merasakan dingin yang luar biasa.
Ia memutar batu itu.
Klek!
Di bawah batu itu, ia menemukan sebuah lubang kecil yang mengarah ke dalam dinding. Di dalamnya, tergantung seutas tali rami yang tebal.
"Apa yang kau pegang? Kenapa kau tidak menyahut!?" Pintu terowongan mulai didobrak paksa oleh Nyi Laras.
Kirana tidak punya waktu. Ia menarik tali rami itu sekuat tenaga. Tali itu terasa berat, seperti menarik beban mati.
Srett!
Tali itu terlepas dari lubang, dan di ujung tali itu, terikat erat sebuah benda. Itu adalah buku bersampul kulit kusam, berukuran saku, yang sudah menghitam karena kelembapan dan waktu.
Penemuan Buku Harian Kakak petunjuk selanjutnya.