NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 3

Bianca tiba di depan rumah Sadewa bersama kedua orang tuanya. Karena rumah Bianca berseberangan langsung dengan rumah Sadewa, mereka hanya perlu menyeberang jalan kecil yang sejak pagi sudah dipenuhi kursi tamu dan hiasan tenda.

Langkah Bianca sempat melambat. Dari balik riasan sempurna dan kebaya sage yang anggun, ada firasat aneh yang membuat dadanya terasa tak nyaman.

Belum sempat mereka benar-benar masuk ke area tenda, salah seorang tetangga yang sejak pagi membantu acara menghampiri Hendrawan dan Lestari. Wajahnya tampak cemas, nada bicaranya diturunkan, seolah tak ingin banyak orang mendengar.

“Pak… Bu…” katanya pelan. “Kayaknya ada yang nggak beres sama pernikahannya Mas Sadewa.”

Hendrawan mengernyit. “Kenapa, Bu?”

“Tadi neneknya Mbak Sarah datang,” lanjut tetangga itu. “Datangnya sendirian, nangis, bajunya juga nggak kayak mau kondangan. Langsung diajak masuk sama orang tuanya Mas Sadewa. Setelah itu suasananya berubah.”

Lestari saling pandang dengan Hendrawan. Bianca yang berdiri tepat di belakang mereka ikut menangkap setiap kata. Jantungnya berdegup lebih cepat, tanpa ia tahu sebab pastinya.

“Berubah bagaimana?” tanya Lestari pelan.

“Ya… kayak ada musibah,” jawab tetangga itu ragu. “Tenda masih ada, tapi orang-orang di dalam rumah kelihatannya tegang semua.”

Bianca menelan ludah. Tangannya mencengkeram tas kecilnya sedikit lebih erat. Pandangannya tertuju pada rumah Sadewa di seberang rumah yang hari ini seharusnya dipenuhi bahagia.

Entah kenapa, langkahnya terasa semakin berat saat ia bersiap menyeberang.

Bianca dan kedua orang tuanya akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah Sadewa. Suasana yang menyambut mereka jauh dari bayangan sebuah hari pernikahan.

Tangis pecah memenuhi ruang tamu.

Di sana, Hanum meraung-raung di dalam pelukan suaminya. Tubuhnya bergetar hebat, suaranya parau oleh isak yang tak tertahan. Yudistira memeluk istrinya erat, mencoba menenangkan meski wajahnya sendiri tampak pucat dan kehilangan kata-kata.

Tak jauh dari mereka, nenek Sarah bersimpuh di lantai. Punggungnya membungkuk, tangannya bertumpu pada ubin dingin, air matanya jatuh satu per satu. Ia tak berani mengangkat kepala, seolah seluruh dunia sedang menekannya dari atas.

Langkah Bianca terhenti.

Semua suara seakan mengabur ketika pandangannya tertarik ke satu titik.

Sadewa.

Ia berdiri sedikit menyendiri, masih mengenakan beskap pengantin yang sempurna namun matanya kosong. Tatapannya tertuju pada secarik kertas di tangannya, surat yang digenggamnya seolah itu satu-satunya hal yang tersisa. Tidak ada emosi di wajahnya. Tidak marah. Tidak menangis.

Hanya hampa.

Dada Bianca terasa dihantam keras. Napasnya tertahan, jantungnya berdegup tak beraturan. Untuk pertama kalinya sejak ia pulang, Bianca melihat Sadewa dalam keadaan yang begitu rapuh lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.

Ia tak bergerak. Tak berani mendekat.

Di antara tangis dan keheningan yang menyayat, Bianca hanya bisa berdiri, menyadari satu hal yang membuat hatinya perih.

hari ini, hidup Sadewa berubah dan ia berada di sana untuk menyaksikannya.

Keheningan di ruang tamu akhirnya pecah ketika Hendrawan melangkah sedikit ke depan. Suaranya tenang, tapi tegas seorang kepala keluarga yang terbiasa mengambil keputusan sulit.

“Hanum… Yudis,” katanya hati-hati, “para tamu sudah mulai berdatangan. Di luar sudah terdengar bisik-bisik. Mungkin sebaiknya kita beri penjelasan dulu, supaya tidak makin liar.”

Yudistira menghela napas berat. Wajahnya mengeras, bukan karena marah, tapi karena sadar betul akan konsekuensi dari setiap pilihan.

“Tidak bisa,” jawabnya pelan namun pasti. “Malam ini ada resepsi di hotel. Tamu-tamu penting. Kolega bisnis. Investor. Semua sudah terjadwal.”

Hanum menggeleng keras, air matanya masih mengalir. “Kalau kabar ini sampai bocor sekarang, nama keluarga kita habis,” ucapnya lirih penuh tekanan. “Bukan cuma Sadewa yang hancur. Semua ikut terseret.”

Hendrawan terdiam. Ia mengerti. Dunia mereka bukan sekadar soal perasaan—ada reputasi, ada jaringan, ada ribuan mata yang mengamati.

Di tengah ketegangan itu, Hanum tiba-tiba terdiam.

Tangisnya mereda perlahan. Pandangannya yang semula kosong bergerak… dan berhenti pada satu sosok di dekat pintu.

Bianca.

Gadis itu berdiri anggun dalam kebaya sage, riasannya sempurna, sikapnya tenang meski matanya jelas menyimpan keterkejutan dan iba yang dalam. Untuk sesaat, Hanum hanya menatapnya seolah baru benar-benar melihatnya hari itu.

Sebuah pikiran yang tak masuk akal… tapi terasa terlalu logis untuk diabaikan, perlahan terbentuk di benaknya.

“Bianca…” suara Hanum serak ketika memanggil.

Semua orang menoleh.

Hanum melangkah mendekat, menatap wajah Bianca lama, lalu melirik ke arah Sadewa yang masih terpaku pada surat di tangannya hancur, tapi berdiri.

“Bagaimana kalau…” Hanum menelan ludah, jantungnya berdegup keras. “Bagaimana kalau Bianca yang menjadi pengantin Sadewa?”

Kalimat itu jatuh seperti petir di tengah ruangan.

Lestari refleks menutup mulutnya. Hendrawan terbelalak. Yudistira membeku.

Dan Bianca napasnya seolah berhenti di tenggorokan.

Di sudut ruangan, Sadewa akhirnya mengangkat pandangannya dari surat itu. Matanya bertemu dengan Bianca untuk pertama kalinya sejak kekacauan ini terjadi.

Tatapan kosong itu berubah menjadi keterkejutan yang tak terucap.

Hari yang seharusnya menjadi akhir sebuah kisah, tiba-tiba berbelok ke arah yang tak pernah mereka bayangkan.

Sadewa akhirnya bergerak. Ia melangkah maju satu langkah, wajahnya mengeras untuk pertama kalinya sejak surat itu jatuh ke tangannya.

“Tidak,” ucapnya tegas. “Aku nggak setuju.”

Ruangan kembali sunyi.

“Ini gila, Ma,” lanjut Sadewa, suaranya tertahan tapi jelas. “Aku nggak akan menyeret Bianca ke dalam kekacauan ini. Pernikahan bukan solusi untuk menutup aib.”

Kalimat itu seperti memantik sesuatu yang selama ini ditahan Hanum.

“Cukup!” bentaknya keras.

Sadewa terdiam. Semua orang tersentak.

Hanum menatap putranya dengan mata merah membara. “Untuk sekali ini, jangan sok benar di depan Mama! Kamu tahu apa yang dipertaruhkan hari ini? Nama keluarga kita, masa depanmu, hidup Papa dan Mama yang kita bangun puluhan tahun!”

Sadewa menggeleng pelan. “Tapi Ma—”

“Diam!” Hanum memotong, suaranya pecah antara marah dan putus asa.

Lalu Hanum berbalik. Tatapannya kini tertuju penuh harap pada Bianca. Langkahnya melemah, suaranya turun, tak lagi membentak melainkan memohon.

“Bianca…” katanya lirih. “Mama mohon.”

Bianca refleks menegang. Dadanya sesak, kepalanya berdenyut.

Namun sebelum Bianca sempat membuka mulut, Hendrawan dan Lestari serempak berdiri.

“Maaf, Hanum,” ucap Hendrawan tegas. “Kami tidak bisa. Anak kami bukan penutup masalah siapa pun.”

Lestari menggenggam tangan Bianca erat, matanya berkaca-kaca namun sorotnya mantap. “Kami tidak akan mengorbankan kebahagiaan Bianca.”

Hanum terhuyung kecil. Harapan di wajahnya runtuh seketika. Ia tertawa pendek tawa pahit yang penuh kelelahan.

“Begitu…” gumamnya.

Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menatap Lestari lurus-lurus. Tidak ada lagi amarah yang meledak. Yang tersisa hanya keputusasaan.

“Kalau begitu,” suara Hanum bergetar, “izinkan aku menagih satu janji.”

Lestari membeku.

“Lima belas tahun lalu,” lanjut Hanum pelan namun menghantam, “kamu hampir meninggal karena penyakit liver. Kamu butuh donor. Semua orang menyerah.”

Ruangan terasa menyempit.

“Dan yang mendonorkan liver itu… aku.”

Lestari terhuyung, tangannya refleks mencengkeram dada. Hendrawan menoleh cepat ke arah istrinya.

“Sejak hari itu,” Hanum melanjutkan dengan mata berkaca-kaca, “kamu berjanji, Lestari. Kamu bilang suatu hari, apa pun yang aku minta, kamu akan memberikan sebagai membalasnya.”

Suara Hanum nyaris menjadi bisikan. “Hari ini… aku menagih janji itu.”

Bianca merasa dunia di sekelilingnya runtuh perlahan. Tangannya gemetar di genggaman ibunya. Ia menatap Lestari wajah yang ia cintai, wajah yang selama ini menyimpan rahasia sebesar ini.

Dan di sudut ruangan, Sadewa berdiri kaku.

Baru kali ini ia menyadari bukan hanya cintanya yang sedang dipertaruhkan, tapi hutang nyawa yang tak pernah ia ketahui keberadaannya.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!