NovelToon NovelToon
Life After Marriage: My Annoying Husband

Life After Marriage: My Annoying Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:46
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.

"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"

"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"

Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Aroma mentega hangus kembali menguar di dapur minimalis keluarga Zayden. Arkan berdiri di depan kompor dengan keringat bercucuran, seolah sedang menjinakkan bom waktu dan bukan sedang menggoreng telur. Di tangannya, spatula kayu digenggam erat seperti pedang samurai.

Misi hari ini sangat berat. Membuat telur dadar berbentuk hati yang sempurna demi meredakan amarah istri dan menyelamatkan pernikahan dari bayang-bayang mantan tunangan.

"Arkan. Lama banget sih. Ayamnya keburu netes lagi kalau lo masaknya kelamaan," sindir Keira yang duduk di meja makan sambil mengetuk-ngetukkan sendok ke piring kosong.

"Sabar, Ra. Ini seni tingkat tinggi. Telurnya bandel, lari-lari terus pas mau dibentuk," sahut Arkan tanpa menoleh.

Sebenarnya Arkan tidak punya cetakan berbentuk hati. Jadi dia berusaha membentuk hati secara manual menggunakan spatula. Hasilnya? Sangat abstrak.

Lima menit kemudian, Arkan mematikan kompor dengan gaya dramatis. Dia memindahkan mahakaryanya ke atas piring nasi goreng, lalu membawanya ke hadapan Keira dengan wajah bangga.

"Silakan dinikmati, Nyonya Ratu. Nasi goreng spesial dengan topping Telur Cinta Zayden," ucap Arkan sambil meletakkan piring itu.

Keira menatap telur dadar di atas nasi gorengnya. Bentuknya jauh dari kata hati. Bentuknya lonjong, melengkung aneh di satu sisi, dan gepeng di sisi lain.

"Ini bentuk hati dari sisi mananya, Arkan? Ini lebih mirip ginjal. Atau ameba yang lagi membelah diri," komentar Keira jujur dan pedas.

Arkan duduk di hadapannya sambil menyengir.

"Ini filosofis, Ra. Ginjal itu organ vital. Manusia enggak bisa hidup tanpa ginjal. Begitu juga gue yang enggak bisa hidup tanpa lo. Jadi ini adalah simbol cinta yang vital," Arkan mengarang bebas dengan kecepatan cahaya.

Keira menahan tawa sampai perutnya sakit. Alasan suaminya selalu di luar nalar.

"Terserah lo deh. Yang penting matang dan enggak ada kulit telurnya," Keira memotong telur 'ginjal' itu dan memakannya. Rasanya enak, meski bentuknya menyedihkan.

"Enak?" tanya Arkan penuh harap.

"Lumayan. Nilainya enam dari sepuluh. Empat poin hilang karena bentuknya bikin gue inget pelajaran Biologi," jawab Keira.

Mereka makan dalam suasana yang cukup tenang. Namun di balik ketenangan itu, ada satu nama yang mengganjal di pikiran Keira. Vanessa Adhitama.

"Jadi," Keira meletakkan sendoknya setelah suapan terakhir. "Ceritain soal Vanessa. Gue enggak mau ada kejutan lagi. Gue mau tau seberapa bahaya dia."

Arkan menghela napas panjang. Dia sudah menduga sesi interogasi ini akan datang.

"Vanessa itu... cewek yang sempurna di mata orang tua kami," Arkan memulai ceritanya sambil memutar-mutar gelas airnya. "Dia anak rekan bisnis kakek gue. Kami dijodohkan sejak kecil. Tunangan resmi tiga tahun lalu."

"Terus? Kenapa batal?" tanya Keira.

"Dia itu seniman, Ra. Jiwanya bebas. Dia merasa terkekang sama aturan keluarga kami yang kaku. Dan gue waktu itu ... gue kaku banget. Gue cuma mikirin kerjaan dan perusahaan. Gue enggak bisa ngimbangi jiwa seni dia. Seminggu sebelum nikah, dia kabur. Dia ninggalin surat yang isinya bilang kalau dia mau ngejar mimpi jadi pelukis di Paris. Dia bilang gue membosankan kayak tembok beton," jelas Arkan dengan tatapan menerawang.

Keira terdiam. Dia melihat ada sorot terluka di mata Arkan. Ditinggalkan seminggu sebelum pernikahan pasti sangat menyakitkan dan memalukan.

"Lo ... cinta sama dia dulu?" tanya Keira pelan.

Arkan menatap Keira. "Dulu mungkin gue pikir itu cinta. Tapi setelah dia pergi, gue sadar gue cuma terbiasa sama dia. Gue enggak ngerasa kehilangan dia sebagai pasangan, gue lebih ngerasa kehilangan muka di depan keluarga. Harga diri gue hancur."

Keira mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Arkan di atas meja.

"Lo enggak membosankan kok, Arkan. Lo itu kayak pasar malam. Berisik, rame, dan penuh kejutan. Dia aja yang enggak bisa nikmatin wahana lo," hibur Keira tulus.

Arkan tertawa kecil. "Pasar malam? Baru kali ini gue disamain sama komedi putar. Tapi makasih, Ra. Lo emang paling jago bikin gue ngerasa lebih baik."

"Jadi, menurut lo dia balik buat apa? Ngajak balikan?" tanya Keira kembali ke mode detektif.

"Bisa jadi. Atau dia cuma mau pamer kesuksesan dia. Vanessa itu punya ego yang tinggi. Dia enggak suka kalau liat mantannya bahagia sama orang lain. Apalagi kalau orang lain itu lebih keren dari dia," kata Arkan sambil mengedipkan mata ke Keira.

Keira mendengus. "Pede lo. Tapi oke, gue paham musuh macam apa yang kita hadapi. Tipe elegan tapi manipulatif. Beda level sama Clara yang modal nekat."

"Tenang aja. Hati gue udah dikunci mati sama gembok yang kuncinya lo pegang. Dia mau jungkir balik juga gue enggak bakal goyah," janji Arkan mantap.

Keesokan harinya, Arkan memaksa masuk kantor meskipun Keira menyarankan istirahat satu hari lagi. Arkan beralasan banyak dokumen yang harus ditanda tangan basah. Akhirnya Keira mengalah dan ikut berangkat bersamanya karena mobil Keira masih 'rusak' (padahal Arkan belum memasang sekringnya kembali).

Suasana lobi Zayden Group pagi itu terlihat sibuk seperti biasa. Karyawan berlalu lalang dengan ID card tergantung di leher.

Saat Arkan dan Keira berjalan masuk bergandengan tangan, tiba-tiba suasana lobi mendadak hening. Beberapa karyawan berbisik-bisik sambil melihat ke arah sofa tunggu tamu VIP.

Di sana, duduk seorang wanita dengan postur tubuh semampai bak model internasional. Dia mengenakan dress sutra bermotif abstrak yang terlihat sangat mahal, dipadukan dengan trench coat warna krem yang disampirkan di bahu. Rambutnya dipotong bob pendek yang chic, dan dia memakai kacamata hitam cat-eye.

Wanita itu sedang membaca majalah Vogue Prancis dengan gaya yang sangat effortless.

Arkan berhenti melangkah. Cengkeramannya di tangan Keira mengeras.

"Itu dia," bisik Arkan.

Wanita itu seolah menyadari kedatangan mereka. Dia menurunkan majalahnya, melepas kacamata hitamnya, dan menatap lurus ke arah Arkan.

Wajahnya cantik. Cantik dengan cara yang mengintimidasi. Tulang pipinya tinggi, matanya tajam, dan bibirnya merah merekah.

Vanessa Adhitama berdiri perlahan. Dia berjalan menghampiri Arkan dan Keira dengan langkah anggun. Suara heels-nya beradu dengan lantai marmer terdengar berirama. Tak. Tak. Tak.

"Bonjour, Arkan," sapa Vanessa dengan aksen Prancis yang kental. Dia tidak mengulurkan tangan, melainkan langsung mencium pipi kanan dan kiri Arkan cipika-cipiki ala sosialita Eropa, membuat Arkan kaku seperti patung.

Keira berdiri di samping Arkan dengan wajah datar, tapi matanya memindai wanita di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Lama tidak jumpa. Kamu terlihat ... lebih berisi. Apa makanan Indonesia terlalu banyak lemak?" komentar Vanessa basa-basi yang langsung menyerang fisik.

Arkan berdeham, mencoba menguasai diri. Dia merangkul pinggang Keira erat.

"Halo Vanessa. Gue bukan berisi, gue bahagia. Kenalin, ini Keira. Istri gue," kata Arkan tegas.

Vanessa menoleh ke arah Keira seolah baru menyadari keberadaan lalat di sana. Dia menatap Keira dengan tatapan menilai yang merendahkan.

"Oh. Jadi ini istri kamu? Manis. Sangat ... lokal," kata Vanessa dengan senyum tipis. Kata 'lokal' diucapkan dengan nada seolah itu barang diskonan.

Keira tersenyum lebar. Senyum yang lebih manis dan lebih berbahaya.

"Halo Mbak Vanessa. Iya, saya produk lokal. Kualitas ekspor, tahan banting, dan yang pasti original. Enggak kayak barang impor yang kemasannya bagus tapi isinya angin," balas Keira telak.

Mata Vanessa berkilat sebentar, terkejut dengan keberanian Keira. Tapi dia dengan cepat menguasai ekspresinya kembali.

"Menarik. Arkan, seleramu berubah drastis ya. Dulu kamu suka wanita yang berkelas dan mengerti seni. Sekarang kamu suka yang ... fiery," kata Vanessa.

"Keira itu seni yang paling indah buat gue, Van. Dia abstrak tapi bikin nagih. Kayak telur dadar buatan gue pagi ini," jawab Arkan bangga, meski analoginya agak aneh.

Vanessa tertawa kecil. Tawa yang terdengar renyah tapi dingin.

"Kamu masih sama, Arkan. Selalu berusaha melucu. Anyway, aku ke sini bukan untuk debat. Aku cuma mau mampir. Aku baru buka galeri seni di Jakarta Selatan. Aku harap kalian bisa datang ke acara pembukaannya nanti malam. Anggap saja reuni kecil," Vanessa mengeluarkan sebuah undangan tebal berwarna emas dari tas Hermes-nya.

Dia menyerahkan undangan itu pada Arkan, tapi Keira yang menyambarnya dengan cepat.

"Makasih undangannya. Kami usahakan datang kalau enggak sibuk ngurusin bisnis atau ngurusin anak," kata Keira.

"Anak? Kalian sudah punya anak?" tanya Vanessa, alisnya terangkat sebelah.

"Lagi proses. Doain aja jadi kembar tiga," sahut Arkan asal.

Vanessa tersenyum miring. "Baiklah. Sampai jumpa nanti malam. Pakailah baju yang pantas ya. Acaranya black tie. Aku enggak mau istri kamu salah kostum pakai batik pasar malam."

Setelah melontarkan hinaan terakhir yang dibungkus senyuman, Vanessa berbalik dan berjalan pergi meninggalkan wangi parfum Chanel No. 5 yang menyengat.

Keira menatap punggung Vanessa yang menjauh. Dia meremas undangan di tangannya sampai lecek.

"Arkan. Tahan gue. Gue mau lempar sepatu gue ke kepalanya," desis Keira emosi.

"Sabar, Ra. Sabar. Kalau lo lempar sepatu, nanti dia malah seneng bisa nuntut kita. Orang kayak dia itu makannya gengsi," Arkan mengusap punggung Keira.

"Dia bilang gue lokal? Dia bilang batik pasar malam? Kurang ajar. Liat aja nanti malem. Gue bakal dateng dan bikin dia kelihatan kayak butiran debu," Keira berapi-api.

"Eh? Kita beneran mau dateng? Bukannya mending kita tidur di rumah?" tanya Arkan ragu. Dia malas berurusan dengan Vanessa.

"Harus dateng! Ini tantangan, Arkan. Kalau kita enggak dateng, dia bakal mikir kita minder. Kita harus tunjukin kalau kita pasangan paling bahagia dan paling hot se-Jakarta Raya. Lo siapin jas lo yang paling mahal. Gue mau ke salon dulu pulang kerja," perintah Keira.

Arkan menelan ludah. Keira mode kompetitif sudah aktif.

"Siap, Bos. Tapi jangan terlalu cantik ya. Nanti saingan gue nambah banyak," goda Arkan.

Malam harinya, galeri seni milik Vanessa sudah dipenuhi oleh tamu-tamu undangan dari kalangan elite. Lukisan-lukisan abstrak tergantung di dinding putih. Pelayan berlalu lalang membawa nampan berisi wine dan canape.

Vanessa berdiri di tengah ruangan, menjadi pusat perhatian dengan gaun malam berwarna merah darah yang mengekspos punggung mulusnya. Dia sedang berbincang dengan beberapa kolektor seni sambil sesekali melirik ke arah pintu masuk. Dia yakin Arkan akan datang, tapi dia ragu istri kampungannya itu punya nyali untuk muncul.

Tiba-tiba, pintu utama terbuka. Suasana ruangan mendadak senyap. Semua mata tertuju ke arah pasangan yang baru saja masuk.

Arkan Zayden terlihat sangat tampan dengan tuksedo hitam pas badan dan dasi kupu-kupu. Rambutnya ditata rapi ke belakang.

Namun yang mencuri perhatian adalah wanita di sebelahnya. Keira Anindya.

Dia mengenakan gaun malam off-shoulder berwarna emas champagne yang memeluk tubuh indahnya dengan sempurna. Gaun itu berkilauan di bawah lampu galeri. Rambutnya disanggul modern dengan menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah. Dia memakai perhiasan berlian sederhana namun elegan (pinjaman dari Mama Rina yang heboh saat tahu mereka mau ke pesta).

Keira berjalan dengan dagu terangkat, menggandeng lengan Arkan dengan percaya diri. Dia terlihat seperti Ratu yang sedang meninjau rakyatnya.

Vanessa mengepalkan tangannya yang memegang gelas wine. Dia tidak menyangka Keira bisa terlihat sekelas ini.

Arkan dan Keira berjalan menghampiri Vanessa.

"Selamat malam, Vanessa. Galeri yang bagus. Lukisannya unik, kayak coretan keponakan gue tapi versi mahal," sapa Arkan basa-basi.

Keira tersenyum manis. "Selamat ya Mbak Vanessa. Ramai sekali. Oh ya, saya pakai gaun lokal loh ini. Desainer Indonesia. Bagus kan? Ternyata produk lokal bisa bersaing sama produk impor ya. Malah lebih bersinar."

Skakmat.

Wajah Vanessa menegang. Dia memaksakan senyum.

"Terima kasih sudah datang. Silakan dinikmati pestanya. Oh ya Arkan, lukisan di sana itu," Vanessa menunjuk sebuah lukisan besar berwarna biru kelabu, "Itu aku buat waktu kita putus. Judulnya The Regret atau Penyesalan. Mahal loh harganya."

Arkan menatap lukisan itu. Cuma warna biru acak-acakan.

"Penyesalan? Wah, cocok banget. Soalnya gue enggak nyesel sama sekali. Mungkin yang nyesel lukisannya," jawab Arkan santai.

Keira menahan tawa. Suaminya memang juara kalau soal mematahkan argumen orang.

Vanessa terlihat kesal. Dia memberi kode pada pelayan untuk membawakan minuman.

"Minumlah. Ini wine terbaik dari Paris. Kalian pasti jarang minum yang beginian," kata Vanessa merendahkan lagi.

Arkan mengambil dua gelas. Dia memberikan satu pada Keira.

"Tos dulu, Sayang. Demi cinta kita yang enggak abstrak kayak lukisan di sini," kata Arkan sambil mendentingkan gelasnya ke gelas Keira.

Mereka minum dengan gaya elegan. Keira merasa menang. Dia berhasil membuktikan bahwa dia pantas berdiri di samping Arkan.

Namun, Vanessa belum selesai. Dia berjalan mendekati panggung kecil di ujung ruangan. Dia mengambil mikrofon.

"Perhatian semuanya. Terima kasih sudah datang. Malam ini sangat spesial karena ada seseorang dari masa lalu saya yang hadir. Arkan Zayden, maukah kamu naik ke panggung dan berdansa denganku? Sebagai penghormatan untuk kenangan lama?" tantang Vanessa lewat pengeras suara.

Semua tamu bertepuk tangan dan bersorak. Tekanan publik. Vanessa sengaja menjebak Arkan agar tidak bisa menolak tanpa terlihat kasar.

Arkan mematung. Dia menatap Keira. Keira juga kaget. Ini di luar skenario.

"Pergilah," bisik Keira. "Dansa sebentar. Jangan bikin malu. Tapi inget, tangan lo jangan gerayangan. Kalau macem-macem, gue patahin kaki lo di rumah."

Keira memberikan izin dengan berat hati demi menjaga nama baik suaminya di depan umum.

Arkan mengangguk kaku. Dia naik ke panggung. Vanessa menyambutnya dengan senyum kemenangan. Musik waltz yang romantis mulai mengalun.

Vanessa meletakkan tangannya di bahu Arkan. Arkan dengan enggan memegang pinggang Vanessa (dengan jarak aman). Mereka mulai berdansa.

"Kamu kelihatannya tegang, Arkan. Takut istrimu marah?" bisik Vanessa saat mereka berputar.

"Enggak. Gue cuma takut ketularan virus halu lo," balas Arkan dingin.

"Kamu bohong. Aku tahu kamu masih punya perasaan sama aku. Lukisan itu bohong, Arkan. Aku enggak pernah nyesel ninggalin kamu, karena aku tau kamu bakal ngejar aku lagi. Kamu selalu begitu dulu," kata Vanessa penuh percaya diri.

"Itu dulu, Van. Sekarang gue udah lari ke arah lain. Ke arah cewek yang lagi berdiri di sana liatin kita sambil megang pisau pemotong kue dalam imajinasinya," kata Arkan sambil melirik Keira yang sedang menatap tajam.

Di bawah panggung, Keira memperhatikan setiap gerakan mereka. Dia melihat Vanessa membisikkan sesuatu. Dia melihat Vanessa sengaja merapatkan tubuhnya.

Darah Keira mendidih. Cukup sudah toleransinya.

Keira meletakkan gelasnya. Dia berjalan menuju panggung dengan langkah mantap. Dia tidak akan membiarkan wanita Prancis KW itu mempermainkan suaminya lebih lama lagi.

Saat musik berhenti sejenak untuk pergantian lagu, Keira sudah berdiri di atas panggung, tepat di sebelah mereka.

"Maaf mengganggu reuni kecilnya. Tapi boleh saya pinjam suami saya? Soalnya dia punya jadwal minum obat cacing jam segini," kata Keira lantang di depan mikrofon yang masih menyala.

Tamu-tamu tertawa terbahak-bahak. Arkan menunduk menahan malu tapi juga lega diselamatkan.

"Obat cacing?" ulang Vanessa tak percaya.

"Iya. Arkan itu perutnya sensitif. Kalau deket-deket sama parasit, dia suka sakit perut. Jadi harus rutin minum obat," sindir Keira sambil menarik tangan Arkan.

"Ayo Pulang, Sayang. Kasur baru kita udah nunggu," ajak Keira sambil mengedipkan mata pada Arkan.

Arkan tersenyum lebar. Dia merangkul bahu Keira.

"Siap, Nyonya. Bye Vanessa. Good luck sama lukisannya. Semoga laku buat beli kaca biar bisa ngaca," pamit Arkan.

Mereka berdua turun dari panggung dan berjalan keluar dengan kemenangan telak, meninggalkan Vanessa yang berdiri kaku sendirian di tengah panggung dengan wajah merah padam menahan malu. Keira Anindya 2, Vanessa Adhitama 0.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!