Bagi Fahreza Amry, hinaan dan cemoohan ayah mertuanya, menjadi cambuk baginya untuk lebih semangat lagi membahagiakan keluarga kecilnya. Karena itulah ia rela pergi merantau, agar bisa memiliki penghasilan yang lebih baik lagi.
Namun, pengorbanan Reza justru tak menuai hasil membahagiakan sesuai angan-angan, karena Rinjani justru sengaja bermain api di belakangnya.
Rinjani dengan tega mengajukan gugatan perceraian tanpa alasan yang jelas.
Apakah Reza akan menerima keputusan Rinjani begitu saja?
Atau di tengah perjalanannya mencari nafkah, Reza justru bertemu dengan sosok wanita yang pernah ia idamkan saat remaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24.
"Ada apa, Mas?" tanya wanita teman kencan Farhan, sebut saja Fitri. Tangannya tampak sibuk bergerilya menyentuh sisi sensitif Farhan.
"Tidak ada apa-apa. Sebaiknya kita cepat pulang," kata Farhan seraya menyingkirkan tangan Fitri.
"Lagipula ini sudah sore, aku tidak ingin suamimu menjadi curiga karena keterlambatan kamu pulang ke rumah," sambungnya seraya bangkit dari ranjang, dan meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.
"Tapi aku masih belum puas bersamamu," rengek Fitri dengan manja.
"Kita bisa melakukannya lagi kapanpun kamu mau," hibur Farhan seraya menepuk lembut bahu wanitanya itu.
"Kamu janji, ya?" ucapnya penuh harap. "Minggu depan sepertinya suamiku akan ada dinas keluar kota selama seminggu," beritahunya.
"Aku ingin kamu menemaniku, soalnya aku takut sendirian di rumah," pintanya sambil mengerlingkan matanya menggoda.
"Kamu jangan khawatir. Aku siap menemanimu, asal kamu tahu apa yang aku inginkan," sahut Farhan seraya menyentuh dagu wanita itu.
"Beres." Fitri tersenyum lebar. Ia meraih pakaiannya kemudian memakainya.
Dan sesuai kesepakatan bersama, mereka pun keluar dari kamar motel itu secara terpisah agar hubungan mereka tidak terlihat mencolok.
Farhan segera menghubungi balik si penelpon, sesaat setelah Fitri keluar dari kamar.
"Halo, Bu. Ada apa?" tanya Farhan dengan suara datar.
"Han, ibu tidak bisa menjelaskannya di telepon. Sebaiknya kamu segera pulang dan kita akan membahas masalah ini di rumah," kata Bu Haryani dari seberang telepon.
"Iya, tapi ada apa, Bu? Aku tidak bisa pulang begitu saja tanpa ada alasan yang jelas," kilah Farhan.
"Ini masalah Rinjani. Baru saja orangtuanya datang, mereka menanyakan kepastian hubungan kalian," ungkap Bu Haryani.
"Tapi, Bu. Aku--" Ucapan Farhan langsung terhenti ketika Bu Haryani menyambar ucapannya.
"Ibu tidak mau tahu, kalian sendiri yang membuat masalah. Maka kalian juga lah yang harus bertanggung jawab!"
Farhan menatap ponselnya dengan ekspresi tak terbaca, pikirannya sibuk memikirkan alasan untuk memberikan jawaban yang tepat pada ibunya yang sepertinya sedang marah. Dia tahu bahwa satu kata yang salah bisa memperburuk keadaan.
"Han, kamu dengar ibu nggak, sih?" tanya Bu Haryani terdengar kesal.
"Iya, Bu. Aku dengar kok, ini juga aku mau pulang," jawab Farhan pada akhirnya untuk menyenangkan hati ibunya.
"Ya sudah, ibu tunggu di rumah." Bu Haryani langsung memutus sambungan teleponnya.
"Aahhh... Si*lan banget sih, itu perempuan!" umpat Farhan kasar.
Setelahnya Farhan membuang napasnya kasar. Kemudian dia pun meninggalkan kamar motel dan bersiap untuk pulang ke rumah sang ibu.
Sementara itu Bu Haryani tampak menghela napasnya dengan kasar. Wanita itu sangat kecewa dengan anaknya yang seolah tak peduli padanya. Kini hanya penyesalan yang menggerogoti nuraninya.
Bu Haryani kini tak lagi menerima jatah bulanan dari Reza. Padahal dulu, dia hidup dengan mudah, uang mengalir ke rekeningnya setiap bulan tanpa perlu bersusah payah. Namun sekarang, semuanya telah berubah. Meskipun menyesal, itu tak ada gunanya lagi.
*
Sore itu, selepas pulang kerja, Reza bersama Agus dan Dhea berangkat ke kota dengan mengendarai sepeda motor yang biasa mereka gunakan di perkebunan. Seperti yang sudah mereka bahas sebelumnya, tujuan mereka ke kota adalah untuk membeli beberapa barang yang dibutuhkan untuk keperluan penyelidikan.
"Kita mau ke mana, Yah?" tanya Dhea yang duduk di depan Reza.
"Ayah ada perlu sedikit di kota," sahut Reza.
"Asyiiiik... nanti Dhea boleh beli jajan nggak, Yah?" tanyanya dengan wajah berseri.
"Boleh," jawab Reza singkat.
"Yeeea... Dhea sayaaang, Ayah," ucapnya gadis kecil itu sambil bertepuk tangan.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, sampailah mereka di kota. Reza langsung menuju ke sebuah toko yang menjual alat-alat elektronik, termasuk kamera. Dia menghentikan motornya di depan toko lalu menurunkan Dhea terlebih dahulu diikuti oleh Agus. Setelah itu barulah dia turun dan langsung masuk ke dalam toko.
Di dalam toko, Reza disambut oleh seorang penjaga dengan senyum ramah.
"Cari apa ya, Mas. Bisa saya bantu?" tanya penjaga toko dengan sopan.
"Saya butuh kamera pengintai yang canggih serta akurat," kata Reza. Dia lantas menjelaskan jenis kamera yang diinginkannya.
Kemudian penjaga toko itu pun menunjukkan beberapa jenis kamera yang dimaksud oleh Reza. Dan Reza memilih salah satu yang paling canggih, dan membayarnya, lalu meninggalkan toko dengan perasaan puas.
"Banyak amat kamu belinya, Za? Nanti mau kamu pasang di mana saja?" tanya Agus dengan heran sekaligus takjub.
"Nanti aku akan memasangnya di beberapa titik lokasi," jawab Reza.
"Ayah... boleh nggak, Dhea beli es krim?" tanya Dhea dengan suara lirih dan tatapan yang memelas, ketika mereka melewati minimarket.
"Boleh, Sayang. Tapi satu saja ya, kita kan, tidak punya lemari pendingin," kata Reza sambil tersenyum.
Dhea mengangguk dengan wajah sumringah. "Yeeaaa...makasih, Yah!" serunya seraya berlari masuk ke dalam minimarket lalu menuju freezer untuk memilih es krim favoritnya.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Reza pun memutuskan untuk pulang. Karena masih banyak yang harus dia kerjakan selanjutnya dengan benda tersebut.
*
Farhan akhirnya memenuhi keinginan ibunya. Sore itu setelah sampai di tempat kostnya, dia langsung membersihkan diri dan pulang ke kampungnya dengan mengendari sepeda motor.
Padahal jarak dari rumah ke tempat kerjanya hanya butuh waktu empat puluh lima menit berkendara, tetapi dia lebih memilih untuk ngekost.
"Akhirnya kamu pulang juga, Le," sambut Bu Haryani dengan tersenyum lega, ketika anak lelakinya menghentikan sepeda motornya di halaman rumah.
"Ya kan, ibu yang minta aku pulang," sahutnya datar seraya menyalami ibunya.
"Sudah sana makan dulu, baru nanti sehabis maghrib kita pergi ke rumah Rinjani," titah Bu Haryani.
"Tapi, Bu. Bagaimana jika nanti orangtua Rinjani memaksa aku untuk menikah cepat?" tanya Farhan. Wajahnya tampak sedikit keraguan.
"Memangnya kenapa kalau kalian menikah cepat?" tanya Bu Haryani.
"Toh, kalian sudah sama-sama dewasa, dan hubungan kalian sudah seserius itu. Apa kata tetangga--" Ucapan Bu Haryani terhenti oleh Farhan yang menyelanya.
"Aaahh...perse*an dengan omongan tetangga, Bu!" sergahnya dengan cepat.
"Lagipula apa yang aku dapat dari Rinjani setelah semuanya dihancurkan oleh Reza si*lan itu!" lanjutnya dengan suara yang meninggi dan penuh emosi.
Farhan tidak menyadari bahwasannya seseorang mendengarkan ucapannya dengan perasaan hancur lebur.
jadi tak like kalo macam ini /Smug/
itu nya nyangkut di mana/Chuckle/
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️
masih mending Sean berduit, lha Farhan?? modal kolorijo 🤢
Siapa yg telpon, ibunya Farhan, Rinjani atau wanita lain lagi ?
Awas aja kalau salah lagi nih/Facepalm/