NovelToon NovelToon
Membawa Benih Sang Casanova

Membawa Benih Sang Casanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Action / Romantis / Mafia
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu.peri

Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERUBAHAN THEO

Studio Pemotretan, California.

Suasana studio tampak sibuk seperti biasa. Lampu-lampu sorot berkilatan, fotografer memberikan arahan, sementara tim kreatif mondar-mandir mengatur properti dan wardrobe. Di tengah hiruk-pikuk itu, Alisha berdiri anggun di depan kamera. Busana mewah melekat sempurna di tubuhnya, dan tiap gerakan pose yang ia tampilkan selalu memukau. Ia profesional, tepat waktu, dan selalu bisa menjiwai setiap konsep yang diberikan.

Klik. Klik. Klik.

“Bagus, Alish! Sedikit lagi! Satu kali lagi putar badanmu ke kiri—yes, seperti itu!” seru fotografer dengan semangat, puas dengan hasil bidikan kameranya.

Tak jauh dari set, seorang gadis kecil berusia lima tahun duduk di kursi santai dengan sebotol susu di tangan mungilnya. Kakinya digoyang-goyangkan pelan sambil sesekali mengamati sang mommy yang tengah sibuk bekerja. Wajah polosnya tampak serius menilai setiap pose Alisha.

Di sampingnya, seorang wanita muda bernama Elsa duduk santai sambil menyesap jus jeruk dingin. Ia adalah manajer pribadi Alisha sekaligus sahabatnya. Sebuah clipboard berisi jadwal pemotretan hari ini tergenggam di tangan kirinya.

“Aunty,” panggil Thea pelan sambil menoleh, “Apa aunty sudah menemukan Daddy untukku?”

Elsa mengangkat alis tanpa menoleh, matanya masih fokus pada daftar jadwal.

“Aunty harus cari di mana, sayang? Di studio ini banyak pria tampan. Kamu pilih saja, siapa tahu ada yang cocok jadi Daddy kamu,” jawab Elsa sembari terkekeh pelan.

Thea mendengus kecil. Ia lalu turun dari kursinya dan mulai berjalan pelan, mendekati satu per satu pria yang sedang bekerja di studio. Ada teknisi kamera, penata cahaya, bahkan kru wardrobe. Tapi setiap kali Thea memandangi salah satu dari mereka, ekspresinya langsung berubah dan ia menggeleng pelan. "Tidak. Bukan dia."

Elsa yang memperhatikan dari kejauhan tak bisa menahan tawa geli. Tingkah laku putri sahabatnya itu selalu berhasil mencairkan suasana, terutama ketika ia mulai bersikap seperti detektif kecil.

Sementara itu, Alisha telah menyelesaikan sesi pemotretan. Ia menyeka peluh di dahi dengan tissue dan berjalan ke ruang ganti. Namun langkahnya terhenti saat melihat putrinya masih berkeliling seperti orang mencari sesuatu yang hilang.

Sebelum sempat menghampiri Thea, seorang staf mendekatinya. “Alish, Tuan Michel memanggilmu ke ruangannya.”

Wajah Alisha sedikit bingung. “Sekarang?”

“Iya, katanya penting.”

Alisha bergegas menuju kantor atasan mereka di lantai atas. Setelah mengetuk dan mendapat izin masuk, ia membuka pintu.

Di dalam ruangan, suasananya tampak formal. Michel, pria paruh baya dengan jas hitam rapi, duduk di balik meja kerjanya yang besar. Di hadapannya, sudah duduk dua wanita lain yang Alisha kenali sebagai sesama model di agensinya.

Alisha mengerutkan kening sesaat, lalu melangkah masuk dengan sopan.

“Duduklah, Alish,” ucap Michel sambil tersenyum ramah.

Alisha menuruti. Matanya sempat bersitatap sekilas dengan dua wanita lainnya, namun ia tidak berkata apa-apa.

“Saya mengumpulkan kalian bertiga karena ini adalah tawaran besar,” Michel membuka pembicaraan, lalu menggeser sebuah map ke tengah meja. “Ada sebuah perusahaan dari Kanada yang sedang menjalin kerja sama dengan agensi kita. Mereka sedang mencari model untuk mempromosikan produk baru mereka, dan kalian bertiga adalah kandidat terpilih.”

Begitu mendengar kata Kanada, jantung Alisha seolah berhenti berdetak sejenak. Pandangannya mulai kabur, dan suara Michel perlahan menjadi gema samar di telinganya. Ingatan-ingatan lama muncul tiba-tiba. Wajah samar seseorang malam itu, masa lalu yang ia tinggalkan, dan luka yang belum benar-benar sembuh—semuanya muncul tanpa peringatan.

Sementara dua model lain langsung bereaksi antusias. Salah satu dari mereka bahkan menyikut lengan rekannya sambil berbisik, “Ini bisa jadi jalan kita ke internasional.”

Hanya Alisha yang termenung. Matanya menatap lurus ke depan tapi pikirannya tidak di ruangan itu.

Michel melanjutkan, “Keputusan akan diambil dalam waktu dekat. Saya harap kalian semua bersiap dan tetap menjaga performa seperti biasa. Ini adalah kesempatan besar, dan yang terpilih akan mendapatkan eksposur global.”

Alisha hanya mengangguk pelan, masih belum benar-benar tersadar dari lamunannya.

Setelah pertemuan itu selesai, Alisha berjalan keluar dengan langkah lambat. Jantungnya masih berdebar tidak menentu.

Kanada...

Sebuah negara yang menyimpan begitu banyak kenangan—tentang luka, dan pengkhianatan seseorang yang hingga kini masih teringat jelas dalam ingatannya.

Alisha hanya berharap, dia tidak akan terpilih dan tidak akan kembali kenegara asalnya.

***

Kanada, W.S Corporation.

Ruang rapat di lantai delapan terasa begitu elegan dan tenang. Cahaya lampu gantung yang menggantung di atas meja marmer panjang memantulkan sinar lembut ke seluruh ruangan. Di ujung meja, Theo duduk dengan wajah datar dan tatapan yang kosong. Di hadapannya, dua pria berjas rapi tengah berbicara panjang lebar, menjelaskan detail proyek kerja sama antara perusahaan mereka dan perusahaan milik Theo.

“…produk ini punya potensi besar di pasar Amerika Utara. Dan dari segi estetika, konsep anda sangat memukau, Tuan Smith,” ujar salah satu pria dengan logat Amerika yang cukup kental.

Namanya Leonard Bishop—perwakilan investor dari California. Pria setengah baya dengan penampilan karismatik dan gaya bicara yang tenang namun tegas. Ia memberi isyarat halus kepada asistennya yang berdiri di belakangnya.

“Namun, untuk urusan model yang akan memperagakan produk kami, kami ingin mengatur itu sendiri. Kami sudah menyeleksi tiga kandidat wanita. Silakan Anda pilih salah satunya,” lanjut Leonard sambil tersenyum tipis, lalu melirik asistennya.

Asisten itu mengangguk, mengambil tablet dari tas kerjanya, dan bersiap untuk menunjukkan foto-foto para kandidat model. Namun sebelum layar menyala, Theo mengangkat tangan tanpa menoleh.

“Serahkan semuanya pada asisten saya. Dia yang akan memutuskan,” ucapnya singkat, suara dalamnya terdengar dingin tapi lelah. “Rapat kita cukup sampai di sini.”

Leonard sedikit terkejut, tapi segera berdiri mengikuti sang tuan rumah. “Baiklah, Tuan Smith. Senang bekerjasama dengan Anda.” Mereka sempat berjabat tangan singkat sebelum Theo segera melangkah keluar ruangan.

Jimy yang sedari tadi duduk di sebelah Theo hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia menatap punggung Theo yang semakin menjauh dengan wajah cemas. Ia tahu, Theo sedang tidak baik-baik saja. Perkataan Juna pagi tadi masih melekat erat di kepala Theo, dan Jimy sempat mendengarnya sedikit pembicaraan mereka.

Kini, semua tanggung jawab jatuh di pundak Jimy.

“Saya mohon maaf, Tuan Leonard,” ujar Jimy dengan sopan sambil tersenyum. “Tuan Theo sedang memiliki urusan mendesak. Untuk urusan model, kami sepenuhnya mempercayakan pada Anda. Silakan pilih kandidat terbaik. Kami percaya pada keputusan Anda.”

Leonard mengangguk. “Tentu, saya mengerti. Semoga beliau baik-baik saja.”

Sementara itu, di luar gedung, Theo melangkah masuk ke dalam mobil sport hitamnya tanpa banyak bicara. Ia menyalakan mesin dan memacu kendaraan dengan cepat, keluar dari area kantor tanpa sempat berpamitan pada siapa pun.

Hari itu rasanya terlalu panjang untuknya. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk, tapi karena pikirannya yang mulai kehilangan arah. Semuanya berputar-putar di kepalanya—Juna, Alisha, dan omong kosong tentang ‘kemungkinan’ anak.

*

Setibanya di mansion, suasana rumah terasa hening seperti biasanya. Tapi langkah Theo yang masuk dari pintu utama cukup mengejutkan sang ibu, Megan, yang sedang membaca buku di ruang duduk.

“Theo? Kau sudah pulang?” tanya Megan sambil berdiri dan mendekatinya. “Hari ini cepat sekali?”

“Hm.” Theo hanya menjawab singkat, berjalan melewati ibunya. “Theo naik dulu, Mom.”

Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara lembut sang ibu memanggil lagi.

“Theo… jangan terlalu sibuk. Sekali-kali kau butuh istirahat. Mommy tidak ingin kau sakit…”

Theo menoleh perlahan, menatap wajah ibunya yang lembut tapi tampak menyimpan kekhawatiran. “Mom, aku seorang mafia. Tubuhku kuat. Aku tidak akan semudah itu sakit,” ujarnya dengan nada ringan, mencoba terdengar meyakinkan.

Tapi Megan tak tersenyum. Ia justru mendekat, menggenggam tangan putranya dengan lembut.

“Kau tidak ingat, lima tahun lalu, kau pingsan dan Juna yang membopong tubuhmu pulang dalam keadaan tidak sadar. Dokter bilang kau terlalu kelelahan…”

Theo terdiam. Matanya mengerjap perlahan. Ia mengingat kejadian memalukan itu, saat ia tak sadarkan diri sebelum sempat memberi pelajaran pada vanesha malam itu

Ia menarik napas dalam, lalu menghela keras.

“Jangan bahas itu, Mom. Baiklah… lain kali Theo akan sering pulang cepat,” ucapnya pelan, kemudian memeluk ibunya sejenak dan berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, menuju kamarnya.

Megan menatap kepergian sang anak dengan mata yang sayu. Saat ia hendak kembali duduk, tiba-tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. William—suaminya—memeluknya erat.

“Aku terus bertanya-tanya selama lima tahun ini… apa yang sebenarnya membuatnya berubah seperti ini,” gumam William pelan, matanya juga mengikuti arah langkah Theo yang kini sudah menghilang di balik dinding lantai atas. “Aku tidak tahu harus senang atau sedih… karena sekarang Theo seperti robot. Tak lagi tertawa, tak lagi marah, tak lagi hidup. Dia hanya… bekerja.”

Megan tidak menjawab. Ia hanya terdiam dalam pelukan William. Tapi pikirannya melayang jauh, memikirkan Theo dulu selalu bertingkah bandel dan sedikit konyol. Tapi sekarang, semua itu hilang. Hanya tersisa Theo berwajah datar.

1
vj'z tri
🎉🎉🎉🎉 selamat tahun Baru semua doa terbaik buat kita semua 🎉🎉🎉
Ndha: Aamiin... 🥳
total 1 replies
Bu Dewi
up lagi kak😍😍😍
Ndha: besok ya kak🤗
total 1 replies
Mifta Nurjanah
kurang itu hentakannya
vj'z tri
🎉🎉🎉🎉🎉🎉 ayo Thor 🤗🤗🤗🤗🤗 di goyang up nya
Bu Dewi
up lagi kak🤭biasanya 2 kok ini cuma 1 seh/Whimper//Whimper//Grievance/
vj'z tri
ak hir nya ku menemukan mu ,saat haaati iiiini mulai meragukan , ku berharap engkaulah jawaban segala risau hatiku dan biarkan diriku mencintaimu hingga ujung usiaku🎉🎉🎉🎉🎉asekkkkkk
Aqillah Mustanir
up
Mifta Nurjanah
up lagi dongg minn
Bu Dewi
up lagi donk kak 🤭😄😍
Ndha: lanjut nanti kak😊
total 1 replies
vj'z tri
yakkkk itu Dady sayang Dady 🎉🎉🎉🎉🎉🎉
vj'z tri
jangan an permen toko bahkan pabrik nya bakal langsung di kasih 🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
ya di Dady mu dan sekarang pun bau tapi bau wangiiii princess 🎉🎉🎉🎉
Mifta Nurjanah
lanjut
Bu Dewi
wah, penasaran siapa yg gendong? masak theo sih,pasti lucu kalau thea nolak dia...hihihihihi
Ndha: tunggu kelanjutannya 🤗
total 1 replies
vj'z tri
bikin penasaran loh 🤭🤭🤭🤭
Bu Dewi
Gak sabar nunggu kelanjutan ceritanya waktu mereka ketemu nantinya😍😍😍🤭
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 kan ibu suri di balik layar
vj'z tri
ibu suri kah 🤔🤔🤔
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣 putar haluan Dady
vj'z tri
Dady datang 🎉🎉🎉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!