Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Sumur Tua Pemakan Bayi
Namun, tepat sebelum jarum itu masuk lebih dalam ke jantungnya, terdengar suara tawa bayi yang sangat nyaring dari arah sumur tua yang berada di tengah ruangan tersebut. Suara itu melengking tinggi, memantul di antara dinding tengkorak yang berlumut dan membuat nyali siapa pun yang mendengarnya menciut seketika.
Pak RT mendadak kaku, wajahnya yang semula penuh amarah kini berubah menjadi pucat pasi seputih kain kafan yang ia genggam.
"Tidak mungkin, mereka seharusnya sudah tidur tenang di dasar sana!" teriak Pak RT sambil melepaskan cengkeramannya pada baju Aris.
"Siapa yang kamu maksud? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan di dalam sumur itu?" tanya Aris Mardian sambil berusaha memulihkan pernapasannya.
Aris segera merangkak menuju Sekar Wangi yang masih pingsan, mengabaikan rasa perih di dadanya akibat goresan jarum emas tadi. Dari lubang sumur tua itu, mulai keluar kepulan asap hitam yang berbentuk seperti jemari-jemari bayi yang sangat kecil dan banyak.
Jemari asap itu merayap di lantai kayu, bergerak menuju ke arah Pak RT seolah-olah sedang menagih hutang nyawa yang belum lunas.
"Ini adalah tumbal yang gagal dijahit, Aris! Mereka menuntut raga yang baru untuk bisa lahir kembali!" raung Pak RT sambil mundur ketakutan.
"Kamu gila! Jadi sumur ini adalah tempat pembuangan bayi-bayi yang kalian korbankan?" balas Aris dengan rasa mual yang memuncak di kerongkongan.
Sebagai seorang perancang bangunan, Aris melihat ada kejanggalan pada fondasi sumur tua tersebut yang tampak terus menyerap kelembapan dari udara sekitar. Ia menyadari bahwa sumur itu bukan sekadar lubang air, melainkan sebuah mesin penghisap sukma yang dirancang untuk menjaga keabadian desa.
Getaran hebat mulai mengguncang balai desa, menjatuhkan foto-foto bayi dari dinding dan memecahkan lentera hijau satu-satu.
"Aris... apa yang terjadi? Mengapa udaranya terasa begitu berat?" tanya Sekar Wangi yang mulai siuman dengan mata yang tampak bingung.
"Cepat bangun, Sekar! Kita harus keluar dari sini sebelum sumur ini menelan seluruh ruangan!" teriak Aris sambil menarik tangan Sekar.
Sekar melihat ke arah sumur dan wajahnya mendadak kaku saat melihat ribuan pasang mata kecil yang bersinar merah dari dalam kegelapan lubang tersebut. Ia segera mengambil tas herbalnya, mengeluarkan serbuk belerang murni yang biasa digunakan untuk mengusir parasit gaib.
Sekar melemparkan serbuk itu ke arah sumur, memicu ledakan api biru yang sesaat meredam suara tawa bayi yang mengerikan tersebut.
"Lari ke arah pintu belakang, Aris! Struktur ruangan ini sudah tidak stabil dan akan segera runtuh!" perintah Sekar dengan insting bidannya yang tajam.
"Tunggu! Pak RT masih tertinggal di sana! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!" sahut Aris sambil menoleh ke belakang.
Pak RT tampak sudah tidak berdaya karena ribuan benang-benang hitam dari dalam sumur telah melilit kaki dan tangannya dengan sangat kuat. Ia ditarik secara perlahan menuju bibir sumur, sementara mulutnya terbuka lebar namun tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.
Aris melihat pemandangan itu dengan ngeri, menyadari bahwa sang penjahit kini sedang dijahit oleh hasil karyanya sendiri yang penuh dendam.
"Tolong aku... Aris... jarumnya... ambil jarumnya..." desah Pak RT dengan sisa-sisa tenaga terakhirnya.
"Jangan mendekat, Aris! Itu adalah jebakan agar kamu ikut terseret ke dalam sana!" teriak Sekar sambil menahan pundak Aris.
Aris melihat jarum emas yang tadi digunakan Pak RT terjatuh tepat di pinggir lubang sumur yang terus menganga lebar. Ia tahu bahwa jarum itu adalah kunci untuk menyegel kembali sumur pemakan bayi tersebut sebelum energinya meluap ke seluruh desa.
Dengan keberanian yang dipaksakan, Aris melompat ke arah bibir sumur, menghindari lilitan benang hitam yang melesat seperti anak panah.
"Ambil jarum itu dan tusukkan ke arah simpul utama di dinding sumur, Aris!" perintah Sekar dari kejauhan.
"Aku tidak melihat simpulnya, Sekar! Semuanya hanya terlihat seperti tumpukan daging dan kain mori!" balas Aris sambil meraba dinding batu yang licin.
Aris menggunakan penglihatan dari garis hitam di lengannya, mencoba memetakan aliran energi yang paling pekat di dalam sumur tersebut. Ia menemukan sebuah titik yang berdenyut kencang, sebuah jantung buatan yang terbuat dari jalinan tali pusat bayi yang sudah mengeras.
Dengan teriakan yang memecah kesunyian, Aris menghujamkan jarum emas itu tepat ke tengah jantung buatan tersebut.
Suara jeritan yang sangat memilukan terdengar dari dasar sumur, diikuti oleh ledakan cairan hitam yang sangat amis. Seluruh ruangan mendadak sunyi, dan benang-benang hitam yang melilit Pak RT seketika hancur menjadi debu yang beterbangan.
Namun, sumur itu tidak tertutup, melainkan mulai membelah diri membentuk gerbang yang jauh lebih besar dan mengerikan.
"Apa yang telah aku lakukan? Mengapa gerbangnya justru terbuka lebih lebar?" tanya Aris dengan tangan yang gemetar hebat.
"Kamu tidak menyegelnya, Aris, kamu justru membebaskan penguasa kain tanpa wajah yang selama ini terkurung di sana!" jawab Pak RT dengan suara yang penuh keputusasaan.
Dari dalam kedalaman sumur yang kini sudah hancur, muncul sebuah tangan raksasa yang tidak memiliki kulit, hanya otot dan urat yang terjahit rapi. Tangan itu mencengkeram lantai kayu balai desa, menghancurkan fondasi bangunan dengan satu gerakan yang sangat kuat.
Aris dan Sekar terlempar ke arah tumpukan kain mori yang sudah tua, sementara sosok raksasa mulai merayap keluar dari bawah tanah.
"Lari, Sekar! Jangan pernah menoleh ke belakang lagi!" teriak Aris sambil mendorong Sekar menuju jalan setapak hutan.
"Aku tidak akan pergi tanpa kamu, Aris! Kita harus menghadapi makhluk ini bersama-sama!" balas Sekar dengan air mata yang mulai mengalir.
Saat mereka berlari, Aris melihat wajah-wajah penduduk desa mulai bermunculan dari balik pohon-pohon jati, namun mereka semua tidak memiliki wajah. Wajah mereka rata dan tertutup oleh jahitan kain putih yang sangat rapi, seolah-olah seluruh desa telah menjadi pemuja kain tanpa wajah.
Aris menyadari bahwa kutukan Sukomati telah memasuki tahap yang paling mematikan bagi siapa pun yang memiliki darah Mardian.
"Ke arah mana kita harus pergi, Aris? Semua jalan sudah dipenuhi oleh para pemuja itu!" tanya Sekar dengan suara yang nyaris hilang.
"Kita harus menuju ke arah barat, tempat di mana kain tanpa wajah pertama kali ditemukan!" jawab Aris sambil menatap langit yang berwarna merah darah.