Ratu Maharani, gadis 17 tahun yang terkenal bandel di sekolahnya, dengan keempat sahabatnya menghabiskan waktu bolos sekolah dengan bermain "Truth or Dare" di sebuah kafe. Saat giliran Ratu, ia memilih Dare sebuah ide jahil muncul dari salah satu sahabatnya membuat Ratu mau tidak mau harus melakukan tantangan tersebut.
Mau tahu kisah Ratu selanjutnya? langsung baca aja ya kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pagi harinya di mansion Alatas, suasana masih diselimuti keheningan khas pagi hari. Sinar matahari perlahan menembus tirai jendela, menyinari kamar Ratu yang penuh dengan barang-barang kesukaannya.
Namun, berbeda dari biasanya, Ratu yang emang susah bangun pagi kini tampak terburu-buru. Ia melompat kecil dari tempat tidur dengan gerakan cepat, langsung menuju kamar mandi, lalu tanpa banyak basa-basi mengenakan seragam sekolahnya dengan cekatan.
Ratu yang memiliki paras yang cantik alami tak perlu berdandan berlebihan ia hanya merapikan rambut dan mengoleskan sedikit lips balm supaya bibirnya tetap lembab. Setelahnya Ratu melesat cepat menuruni tangga, langsung menyambar jaket dan kunci motornya yang tergeletak di meja dekat pintu.
Maid yang sedang menyiapkan sarapan di dapur memanggil lembut, “Non Ratu, sarapan dulu?”
Tanpa menoleh, Ratu menjawab singkat, “Aku sudah telat, Bi. Nanti sarapan di sekolah aja.” Suaranya tegas khas sikap bar-bar yang selalu melekat padanya.
Para maid hanya bisa saling bertukar pandang dan menggeleng pelan, terbiasa dengan sikap terburu-buru Nona muda mereka.
Ratu segera melangkah ke garasi, menghidupkan motor sport kesayangannya dengan suara mesin yang mengaum.
Brum! Brum! Brum!
Pak satpam yang berjaga sigap membuka pintu gerbang, memberi jalan bagi Ratu yang langsung melesat keluar.
Tak lama berkendara, Ratu sudah berdiri santai di depan gerbang SMA Garuda. Pintu gerbang sudah tertutup rapat karena waktu menunjukkan pukul delapan lewat. Ia duduk di atas motornya dengan tenang, menunggu.
Lima menit kemudian, dua motor sport melaju kencang dan berhenti tepat di samping Ratu. Siapa lagi kalau bukan Della dan Ica, sahabatnya yang selalu setia.
“Gila, kita telat, ya?” tanya Della sambil mematikan mesin motornya, nada suaranya santai.
“Menurut loh?” balas Ica dengan ekspresi malas, seolah sudah biasa terlambat.
“Eh, ngomong-ngomong,Mika mana? Apa dia sudah masuk duluan?” tanya Della, matanya mencari-cari di sekitar gerbang.
“Iya, kemana tuh anak? Jangan-jangan masih molor lagi!” tambah Ica, nada suaranya penuh canda.
Ratu mendengus kesal, lalu menegaskan, “Ck! Jangan bahas nama pengkhianat itu di sini!”
Ica dan Della saling pandang, ekspresi mereka berubah menjadi bingung. Mereka belum tahu apa-apa soal pengkhianatan yang di lakukan Mika, karena Ratu belum cerita.
“Maksudnya?” tanya Ica dan Della bersamaan, wajahnya terlihat penasaran.
“Nanti gue ceritain, jangan di sini,” jawab Ratu cepat, lalu langsung menyalakan motornya dan melaju menuju tempat biasa di belakang sekolah, tempat rahasia mereka memanjat tembok kalau telat.
Tak butuh waktu lama, ketiganya sudah duduk santai di atas cabang pohon mangga yang rindang dan berbuah lebat. Suasana pagi yang segar dan hangat menyelimuti mereka bertiga.
"Ratu, cepat cerita sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ica pemasaran, Della mengangguk cepat tanda ia juga sama penasarannya.
Ratu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita, suaranya tenang tapi penuh amarah yang tersembunyi.
“Mika yang nyebarin video di cafe itu. Ternyata dia memang sudah merencanakan semuanya untuk menjatuhkan gue dan merebut Angkasa dari gue.”
Ica dan Della hanya bisa menggeleng pelan, sulit mempercayai apa yang baru saja mereka dengar.
“Serius? Semua ini ulah Mika?” tanya Ica dengan mata membelalak, tak menyangka sahabat yang selama ini saling mendukung tenyata tega berkhianat.
“Hm, gue juga gak percaya kalau gak liat sendiri,” jawab Ratu, matanya menatap jauh ke arah halaman sekolah.
“Semalam, Angkasa dan Mika datang bareng ke acara makan malam.”
Della menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekecewaan.
“Sumpah, gue gak nyangka Mika tega berkhianat cuma demi cowok.”
“Sudahlah, biarin aja. Gue sudah nggak peduli,” ujar Ratu dengan sikap cuek, matanya menatap tajam ke arah depan.
Ica dan Della terkejut, tak habis pikir dengan sikap sahabatnya itu. “Lo nggak mau perjuangin Angkasa?” ujar Ica.
Ratu mengangkat bahu santai. “Buat apa? Memperjuangkan orang yang lebih mempercayai orang lain ketimbang kita.”
Ia melanjutkan dengan nada tenang tapi tegas, “Buat gue, hubungan itu harus saling percaya. Kalau kepercayaan nggak ada, hubungan pasti nggak bakal bertahan lama.”
Ica dan Della mengangguk pelan, setuju dengan pendapat Ratu. “Kau benar. Biarlah karma yang bekerja.”
Della yang dari tadi mendengarkan tiba-tiba berseru dengan antusias, “Jadi kita bertiga jomblo dong?” lalu terkekeh pelan.
Ratu tersenyum tipis. “Gak apa-apa jomblo, yang penting happy.”
Keheningan pun menyelimuti mereka bertiga, hanya suara daun yang di tiup angin dan suara burung yang terdengar di sekitar.
“Terus, kita sampai kapan nongkrong di sini?” tanya Della, memecah keheningan.
“Kita tunggu jam pelajaran pertama selesai dulu,” sahut Ratu santai sambil mengupas buah mangga yang baru saja dipetiknya.
“Eh, tapi tumben Bu Fani nggak nongol? Biasanya suka muncul tiba-tiba.” cetus Ica yang teringat sama Bu Fani.
Ratu terkekeh kecil. “Mungkin dia udah bosan ngurusin kita."
Sedangkan di ruang kepala sekolah, para staf pengajar, termasuk Bu Fani, tengah bersiap menyambut kedatangan tamu istimewa, yaitu anak dari pemilik sekolah.
Suasana terasa hangat dan sedikit tegang, karena kehadiran pemuda tampan yang datang mewakili orang tuanya menjadi perhatian semua.
Kembali ke sisi Ratu, Ica, dan Della yang sudah berhasil meloncat masuk ke dalam pekarangan sekolah dengan aman, tanpa teguran seperti biasanya. Mereka saling tukar senyum lega karena berhasil melewati pengawasan.
Dengan langkah santai namun tetap waspada, mereka melangkah menuju kelas, melewati koridor yang masih sepi karena sebagian besar siswa dan siswi masih berada di dalam kelas masing-masing.
Tiba-tiba, dari arah belakang terdengar suara deheman yang memecah keheningan.
“Ekhem.”
“Sial, kita ketahuan,” gumam Ratu pelan sebelum menoleh cepat ke belakang, wajahnya berubah waspada.
Begitu ketiganya menoleh, mata mereka membelalak tak percaya. Di sana berdiri seorang pemuda tampan yang Ratu kenal, dengan tangan di masukan kedalam saku celananya. Di sampingnya, Bu Fani berdiri tegap, menatap ketiganya dengan sorot mata tajam penuh teguran.
“Ratu ...? Ica, Della! Kalian pasti habis manjat pagar lagi, kan!" seru Bu Fani tegas dengan wajah garangnya.
Bu Fani kemudian menoleh ke pemuda itu dan berkata dengan nada serius, “Ini, anak-anak yang sering bikin onar di sekolah ini, Tuan,” adu Bu Fani menatap kesal ke arah ratu dan teman-temannya.
Ratu, Ica, dan Della saling bertukar pandang, merasa terpojok namun mencoba tetap tenang.
“Eh, Bu Fani? Cantik banget sih hari ini,” goda Ratu sambil melempar senyum yang penuh tipu daya. Della dan Ica mengangguk pelan sembari tersenyum simpul.
Pemuda di samping Bu Fani hanya menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis yang seolah menyimpan rahasia. Matanya menatap Ratu dengan campuran rasa penasaran dan kekaguman.