NovelToon NovelToon
GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Aplikasi Ajaib
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.

Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5 : GUNTING DAN AIR MATA

Udara sore di SMA Pelita Bangsa terasa statis, seolah-olah oksigen di sekitar gedung olahraga telah tersedot habis oleh ketegangan yang menggantung di udara. Cahaya matahari yang mulai memerah masuk menembus jendela-jendela tinggi gudang olahraga yang berdebu, menciptakan garis-garis cahaya yang menyoroti debu-debu yang menari di udara.

Luna berdiri di tengah ruangan yang luas dan pengap itu. Di tangannya, ia memegang selembar naskah drama pendek untuk tugas Bu Sarah. Suaranya bergema samar saat ia mencoba melatih dialognya, namun fokusnya terus terpecah. Ia teringat peringatan Xavier di gudang belakang tadi siang.

“Jika ada yang memaksamu pergi ke tempat sepi... lari.”

Luna menelan ludah. Ia seharusnya tidak di sini. Namun, Selin tadi pagi mengatakan bahwa Bu Sarah meminta Luna merapikan properti drama di gudang ini sebagai hukuman tambahan atas kejadian di kelas sejarah. Luna, dengan sifatnya yang masih terlalu lugu dan mudah ditekan, tidak punya pilihan selain patuh.

KLIK.

Suara pintu yang terkunci dari luar itu terdengar seperti vonis mati di telinga Luna. Ia berbalik dengan cepat, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dadanya.

"Siapa di sana?!" teriak Luna, suaranya parau karena ketakutan.

Dari balik tumpukan matras usang yang tingginya hampir menyentuh langit-langit, Selin muncul dengan langkah yang anggun namun mematikan. Di belakangnya, Maya dan Vanya menyusul dengan senyum menyeringai yang membuat bulu kuduk Luna berdiri.

"Wah, rajin banget ya si Itik kita ini," Selin bersuara, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Sampai-sampai mau dihukum sendirian di tempat kotor begini."

"Selin... pintu itu... kenapa dikunci?" Luna mundur selangkah, namun punggungnya segera menabrak meja kayu berat berisi peralatan olahraga tua.

"Oh, itu supaya nggak ada yang mengganggu 'perawatan' kita sore ini," jawab Selin santai. Ia merogoh saku roknya dan mengeluarkan sebuah gunting kain yang besar dan tajam. Sinar matahari sore terpantul di mata pisau logam itu, menciptakan kilatan yang menusuk mata Luna.

"Selin, tolong... apa salahku?" Luna mulai menangis, air mata membasahi kacamatanya yang tebal. "Aku sudah bilang aku nggak akan dekatin Reihan lagi. Aku nggak pernah punya niat begitu!"

"Masalahnya bukan cuma Reihan, Luna," Selin melangkah maju, langkah kakinya terdengar mantap di atas lantai kayu yang berderit. "Masalahnya adalah eksistensi kamu. Kamu itu kotor, bau, dan merusak pemandangan sekolah ini. Terutama rambut kamu..." Selin mengulurkan tangan, menyentuh ujung rambut Luna yang berantakan dengan ujung guntingnya. "Rambut ini sudah terlalu sering kena tepung dan air, kayaknya bakal lebih bersih kalau aku potong sampai habis, kan?"

"Jangan! Tolong!" Luna mencoba berontak, namun Maya dan Vanya dengan cepat menangkap kedua lengannya, mengunci tubuh Luna dengan kuat di meja kayu tersebut.

"Diem lo, Cupu!" bentak Maya sambil mencengkeram rambut Luna, memaksa kepala gadis itu mendongak.

Selin membuka mata guntingnya lebar-lebar. Bunyi logam yang bergesekan itu terdengar sangat nyaring. Luna menutup matanya rapat-rapat, meratapi nasibnya yang selalu menjadi pecundang. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, berharap keajaiban datang, meski ia tahu keajaiban jarang mampir ke hidup orang seperti dirinya.

BRAKKKKKK!!!!

Suara dentuman itu begitu keras hingga terasa menggetarkan lantai gudang. Pintu kayu yang tadi dikunci rapat tidak hanya terbuka, tapi engselnya hancur seolah baru saja dihantam oleh godam raksasa.

Ketiga gadis itu tersentak. Selin hampir saja menjatuhkan guntingnya. Mereka menoleh ke arah pintu yang kini terbuka lebar, menampakkan siluet seorang cowok di tengah cahaya matahari yang menyilaukan.

Xavier.

Ia berdiri di sana dengan tenang. Tas punggungnya masih tersampir rapi di bahunya. Ia tidak terlihat seperti orang yang baru saja menendang pintu kayu setebal sepuluh sentimeter hingga hancur. Wajahnya datar, kacamatanya tidak miring sedikit pun.

"Xavier?" bisik Luna, harapan mulai tumbuh di hatinya yang hancur.

"Heh, Cupu! Berani banget lo rusak fasilitas sekolah?!" jerit Selin, mencoba menutupi rasa kagetnya dengan kemarahan. "Bima! Dion! Hajar dia!"

Dua orang cowok, Bima dan Dion, masuk dari arah koridor. Mereka tadinya berjaga di luar, namun mereka juga tampak syok melihat pintu yang hancur. Bima, yang badannya jauh lebih besar dan berotot, segera maju untuk menunjukkan kekuasaannya.

"Lo lagi, lo lagi," geram Bima sambil meretakkan buku-buku jarinya. "Kayaknya lo emang bosen hidup ya, Xavier?"

Bima melayangkan pukulan mentah ke arah wajah Xavier. Luna memejamkan mata, tidak sanggup melihat Xavier dihajar habis-habisan demi dirinya. Namun, suara pukulan yang mendarat di daging tidak terdengar.

Yang terdengar justru suara rintihan tertahan.

Luna membuka matanya. Ia melihat pemandangan yang mustahil. Xavier menangkap kepalan tangan Bima hanya dengan satu tangan kiri, tanpa bergerak sedikit pun dari posisinya. Ia memegang tangan Bima seolah-olah tangan itu hanyalah mainan plastik.

"Gunting itu tajam, Selin," suara Xavier memecah keheningan. Suaranya tidak keras, tapi sangat rendah dan berisi intimidasi yang membuat bulu kuduk siapapun berdiri. "Satu gerakan salah, dan kamu akan merusak wajah temanmu sendiri. Apa kamu mau menanggung risikonya?"

Xavier perlahan memutar pergelangan tangan Bima. Bima, yang dikenal sebagai atlet basket terkuat di sekolah, kini berlutut di lantai dengan wajah pucat pasi karena menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Lepasin... sakit banget... gila lo ya?!" rintih Bima.

"Xavier, lepasin Bima!" teriak Dion sambil mencoba menyerang dari samping. Namun, Xavier hanya melakukan satu gerakan kecil, sebuah tendangan rendah yang sangat cepat ke arah lutut Dion, yang membuat Dion terjatuh tersungkur sebelum sempat menyentuh Xavier.

Xavier melepaskan Bima dengan dorongan kecil yang membuat Bima terlempar ke arah tumpukan bola basket. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Selin, Maya, dan Vanya.

Maya dan Vanya secara refleks melepaskan cengkeraman mereka pada Luna. Mereka mundur ketakutan, seolah-olah yang berjalan ke arah mereka bukanlah manusia, melainkan malaikat maut yang sedang menyamar.

Selin gemetar hebat, ia masih memegang guntingnya dengan tangan yang berkeringat. "Lo... lo jangan macem-macem ya! Gue bisa laporin lo ke kepala sekolah!"

Xavier berdiri tepat di depan Selin. Ia sedikit menunduk agar matanya yang tersembunyi di balik kacamata tebal itu bisa menatap langsung ke dalam mata Selin.

"Lapor?" Xavier tersenyum tipis sebuah senyum yang sangat mengerikan. "Silakan. Dan aku akan pastikan video CCTV gedung ini yang menunjukkan kalian mengunci pintu dan membawa senjata tajam sampai ke meja polisi sebelum matahari terbenam."

"CCTV di sini mati!" bantah Dion dari lantai.

"Bagimu memang mati," ucap Xavier tanpa menoleh. "Bagiku, tidak ada yang benar-benar mati di dunia digital."

Xavier menoleh ke arah Luna yang masih gemetar di atas meja. Ia mengulurkan tangannya yang bersih dan hangat.

"Luna, ayo pergi. Udara di sini sudah terlalu beracun."

Luna meraih tangan Xavier. Rasanya sangat kokoh. Di tengah lima orang penindas paling ditakuti di SMA Pelita Bangsa, Xavier menuntun Luna keluar dengan langkah yang sangat tenang. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak memberikan ancaman tambahan. Ia hanya pergi, meninggalkan Selin yang terduduk lemas di lantai sambil menjatuhkan guntingnya.

Setelah mereka berada cukup jauh dari gedung olahraga, di bawah pohon beringin besar dekat gerbang belakang, Luna menghentikan langkahnya. Ia melepaskan tangan Xavier, napasnya masih belum stabil.

"Xavier... siapa kamu sebenarnya?" tanya Luna, suaranya bergetar. "Tadi itu... itu bukan gerakan orang biasa. Bima itu atlet, tapi dia nggak bisa berkutik di tanganmu."

Xavier memperbaiki posisi tasnya, kembali ke mode "cupu"-nya yang tenang dan tidak menonjol. "Aku sudah bilang, Luna. Orang jahat itu penakut. Mereka cuma kuat karena mereka berkelompok. Saat mereka bertemu seseorang yang tidak takut pada mereka, mereka akan hancur sendiri."

"Tapi pintu itu... kamu menendangnya sampai hancur!"

"Engselnya memang sudah keropos," jawab Xavier datar, sebuah alasan yang jelas-jelas bohong. "Kamu hanya terlalu kaget tadi jadi terlihat seperti kekuatan super."

Luna menatap Xavier lama. Ia tahu Xavier berbohong, tapi ia juga merasa bahwa Xavier sedang melindunginya dari kenyataan yang mungkin lebih besar dari yang bisa ia tanggung.

"Xavier," panggil Luna lagi. "Terima kasih. Ini sudah kelima kalinya kamu menyelamatkanku dalam satu minggu."

Xavier menatap Luna. Untuk pertama kalinya, tatapannya melembut. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan bersih berwarna putih salju, lalu memberikannya pada Luna.

"Hapus air matamu. Dan ingat satu hal..." Xavier mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Luna yang membuat jantung gadis itu berdegup kencang. "Mulai besok, jangan pernah lagi memohon pada mereka. Karena singa tidak pernah memohon pada hyena untuk melepaskan mangsanya."

Luna tertegun. Saat ia hendak membalas, Xavier sudah berjalan menjauh, melambaikan tangan tanpa menoleh.

Di balik pohon beringin, tanpa disadari siapapun, Xavier menyentuh smartwatch-nya.

"Laporan Bab 5," ucapnya pelan ke arah pergelangan tangannya. "Selin mulai menggunakan kekerasan fisik. Luna masih terlalu lemah untuk melawan secara mandiri. Tapi emosinya mulai stabil. Saya sarankan untuk tetap menjaga pengawasan Level 1. Jangan biarkan tim medis menjemputnya dulu. Dia harus melewati titik hancurnya sendiri."

Suara seorang wanita tua terdengar dari perangkat tersebut. "Bagus, Xavier. Ingat, permata terbaik terbentuk dari tekanan yang paling hebat. Jaga dia sampai aku datang.

"Dimengerti, Madam."

Xavier menghilang di balik kerumunan siswa yang hendak pulang, kembali menjadi bayangan yang tak terlihat, sementara Luna berdiri di sana, menggenggam sapu tangan Xavier erat-erat, tidak tahu bahwa dunianya yang hancur sedang dipersiapkan untuk ledakan yang akan mengubah sejarah hidupnya selamanya.

1
Ayu Nur Indah Kusumastuti
😍😍 xavier
Ayu Nur Indah Kusumastuti
semangat author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!