NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:903
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 24: Ekspansi Bisnis dan Tawaran Jakarta

​"Tujuan saya sederhana, Bu. Saya hanya ingin memastikan kalau orang yang punya potensi sebesar Maya tidak hancur oleh kebiadaban orang-orang seperti Siska."

​Arlan menjawab dengan nada yang sangat tenang, meski ada gurat ketegasan di sana. Tangannya yang masih merah terkena sari cabai diletakkan di atas meja. Dia tidak berkedip saat menatap Ibu Sum. "Bagi saya, Maya adalah aset. Dan sebagai pria... saya menghargai wanita yang tahu cara berjuang tanpa kehilangan harga diri."

​Ibu Sum terdiam cukup lama, mencari kebohongan di mata Arlan, namun yang ia temukan hanyalah kejujuran yang t3lanjang. Beliau akhirnya mengangguk pelan, senyum tipis terukir di wajah tuanya yang lelah. "Ibu pegang kata-katamu, Nak Arlan. Ibu harap kamu bukan bagian dari badai yang akan menghancurkan Maya lagi."

​"Saya akan jadi dindingnya, Bu. Bukan badainya," sahut Arlan mantap.

​Maya hanya bisa terpaku di samping cobek batu, wajahnya terasa panas. Kalimat Arlan barusan terus terngiang di kepalanya seperti kaset rusak. Sebagai pria... saya menghargai wanita yang tahu cara berjuang.

​Kesibukan di warung Bu Sum meledak dalam waktu singkat. Setelah insiden di pelaminan tempo hari, nama Maya menjadi buah bibir. Telepon di warung tidak berhenti berdering. Perusahaan tekstil besar di pinggiran kabupaten, kantor dinas, hingga bank-bank swasta berebut ingin mencicipi "Nasi Rempah Jati" yang sudah melegenda itu.

​"May, ini ada pesanan lagi dari Bank Artha Citra. Mereka minta seratus porsi buat pembukaan cabang baru!" seru Ibu Sum dari arah meja kasir yang kini penuh dengan buku catatan pesanan.

​"Terima saja, Bu! Tapi bilang ke mereka, pengirimannya jam dua belas teng, tidak bisa kurang tidak bisa lebih!" sahut Maya sambil mengatur beberapa pegawainya—ibu-ibu tetangga yang kini sudah benar-benar insaf dan bekerja sangat rajin.

​Maya berdiri di tengah dapur yang sudah jauh lebih rapi. Uang kompensasi dari Jakarta dan hadiah lomba sudah mulai ia putar.

 Dia memanggil tukang bangunan untuk merancang renovasi. Maya ingin warung kayu ibunya berubah menjadi restoran Fine Dining tradisional. Dia membayangkan meja-meja dari kayu jati tua, pencahayaan temaram yang hangat, dan piring-piring keramik handmade yang elegan.

​Namun, di tengah kesuksesan yang mulai merangkak naik, sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

​"Halo, Maya? Ini Pak Surya dari pusat Jakarta," suara di seberang sana terdengar sangat formal.

​Maya menghentikan gerakannya yang sedang menakar bumbu. "Iya, Pak Surya. Ada apa lagi? Surat pembersihan nama saya sudah saya terima, kok."

​"Begini, Maya. Dewan direksi sudah berdiskusi panjang. Kami sadar kalau kehilangan manajer sepertimu adalah kerugian besar. Siska sudah resmi kami pecat dan kami laporkan ke kepolisian. Kami ingin menawarkan posisi Regional Director untukmu. Gaji tiga kali lipat, tunjangan apartemen di pusat kota, dan fasilitas mobil dinas. Kami mau kamu kembali ke Jakarta secepatnya. Kamu pantas mendapatkan panggung yang lebih besar, Maya."

​Maya terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Jakarta. Kota glamor dengan gedung-gedung pencakar langit yang dulu menjadi mimpinya. Tawaran itu sangat menggiurkan. Menjadi Regional Director di usia semuda ini adalah pencapaian yang gila.

​"Boleh saya pikirkan dulu, Pak?" tanya Maya lirih.

​"Tentu. Tapi jangan lama-lama, kursi ini panas. Banyak yang mengincar. Kami tunggu kabarmu lusa."

​Maya menutup telepon dengan perasaan bimbang. Dia menatap dapur yang penuh asap dan aroma rempah. Dia menatap Ibunya yang tampak bahagia membantu membungkus nasi. Lalu, bayangan Arlan yang sedang belepotan mengulek sambal kemarin melintas di benaknya.

​Sore itu, Maya berjalan ke arah pohon mahoni besar di belakang warung. Tempat itu tenang, menghadap ke hamparan sawah hijau. Arlan sudah ada di sana, bersandar di batang pohon sambil menatap cakrawala.

​"Pak Surya menelepon lagi?" tanya Arlan tanpa menoleh. Dia seolah punya indra keenam soal urusan Maya.

​"Kok tahu?" Maya berdiri di sampingnya, menghirup udara sore yang segar.

​"Saya kenal tipe orang seperti dia. Mereka tidak akan melepas berlian yang sudah mereka buang begitu saja saat tahu berlian itu masih bersinar," Arlan menoleh, menatap Maya dengan mata gelapnya. "Tawarannya bagus?"

​"Sangat bagus. Regional Director. Gaji besar, apartemen mewah, karir yang melesat. Semuanya yang pernah aku mimpikan di Jakarta dulu ada di sana," Maya menunduk, memainkan ujung celemeknya.

​Arlan terdiam cukup lama. Angin sore meniup rambutnya yang sedikit berantakan. "Lalu? Kamu akan pergi?"

​Maya menatap hamparan sawah. "Aku bimbang, Arlan. Di satu sisi, Jakarta adalah tempat pembuktianku. Tapi di sini... ada Ibu. Ada katering ini yang baru mulai tumbuh. Dan..."

​"Dan?" Arlan menaikkan alisnya.

​"Entahlah. Aku merasa hidupku di sini lebih punya 'rasa'. Tapi aku takut kalau aku menetap, aku cuma jadi jago kandang. Siska pernah bilang kalau di sini tempatnya orang gagal," bisik Maya.

​Arlan melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Maya sehingga bayangannya menutupi tubuh mungil perempuan itu. "Gagal itu soal mental, bukan lokasi. Kamu bisa jadi pemenang di mana saja. Kalau kamu kembali ke Jakarta, kamu akan kembali ke hutan beton yang penuh kemunafikan itu. Tapi kalau kamu di sini..."

​Arlan menggantung kalimatnya. Tatapannya mendadak menjadi sangat intens, sesuatu yang jarang dia tunjukkan di depan umum. Ada keraguan sekaligus ketidakinginan yang besar di matanya. Dia seolah ingin menahan Maya, tapi logikanya sebagai pebisnis tahu kalau tawaran Jakarta itu objektifnya memang menguntungkan.

​"Arlan, kalau kamu jadi aku, apa kamu bakal pergi?" tanya Maya pelan, matanya menatap mata Arlan mencari jawaban.

​"Secara bisnis? Iya. Jakarta punya pasar yang lebih luas," Arlan menjawab dengan jujur. Namun, dia menarik napas panjang, tangannya bergerak masuk ke saku celananya. "Tapi secara pribadi? Saya tidak ingin kehilangan mitra katering yang bisa bikin sambal sepedas kata-katanya."

​Maya tertawa kecil, meski ada rasa perih di dadanya. "Cuma mitra katering?"

​Arlan menatap Maya tanpa berkedip. Suasana di bawah pohon itu mendadak menjadi sangat intim. Suara daun yang bergesekan seolah menjadi saksi ketegangan di antara mereka. Arlan melangkah satu tindak lagi, memperpendek jarak hingga Maya bisa mencium aroma maskulinnya yang menenangkan.

​"Kalau kamu butuh alasan bisnis untuk tetap di sini, aku akan memberimu seribu alasan. Aku bisa buatkan kontrak katering untuk seluruh jaringan hotelku di provinsi ini. Aku bisa beri modal untuk bangun restoran impianmu tanpa bunga," Arlan berbisik, suaranya berat dan rendah.

​"Tapi?" Maya menantang mata itu.

​Arlan terdiam sejenak, lalu tangannya tanpa sadar mengusap pipi Maya yang merona karena angin sore. Sentuhannya lembut, sangat bertolak belakang dengan sikap kaku yang selama ini dia tunjukkan.

​"Tapi kalau kamu butuh alasan pribadi untuk tidak kembali ke Jakarta..." Arlan menatap Maya dengan pandangan yang sanggup meluluhkan es di kutub manapun. "Aku harap satu orang ini cukup bagimu untuk tetap tinggal."

​Maya terpaku. Napasnya tertahan. Alasan pribadi? Apa Arlan baru saja mengatakan bahwa dia adalah alasan Maya harus tetap di sini?

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!