Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Kita dianggap keluarga kalau menguntungkan
Ratih duduk di ruang tamu rumah keluarga Pramudya dengan wajah yang masih menyimpan bekas air mata.
“Apa yang sebenarnya kau lihat, Ratih?” suara Bram berat, dalam, dan penuh tekanan. “Kau memintaku ke sini terburu-buru, seolah ada hal yang lebih genting dari urusan perusahaan yang hampir ambruk.”
Ratih menelan ludah, tangannya bergetar. “Ayah mertua … aku bertemu dengan anak itu. Anak kecil bernama Raka ... dia cucu kita.”
Alis Bram terangkat sedikit, wajah tuanya berubah serius. “Raka?”
“Iya…” suara Ratih melemah, air mata menggenang lagi. “Anak itu … terlalu mirip dengan Barra saat kecil. Matanya, senyumnya, bahkan cara dia bicara penuh percaya diri. Ayah, aku tidak bisa salah, itu cucu kita.”
Ruangan mendadak hening. Bram terdiam lama, napasnya terasa lebih berat. Ia sudah mendengar isu dari Barra sendiri tentang anak yang mungkin darah Pramudya. Tapi mendengar Ratih mengatakannya dengan penuh keyakinan, hatinya terguncang lebih dalam.
“Kalau benar dia cucu kita…” Ratih melanjutkan, “apa kita akan diam saja? Aku ingin mengakuinya, Ayah. Aku ingin dia tahu kalau dia punya nenek yang menyayanginya. Aku tidak peduli pada masa lalu Barra dan Aluna, aku hanya ingin dekat dengan cucuku.”
Bram menatap Ratih lama, kemudian menegakkan tubuhnya. Suaranya meninggi. “Ratih! Kau pikir ini sesederhana mengaku cucu? Kau tahu siapa suami Aluna sekarang? Takahashi Hiroto! CEO Hoshimitsu Corporation. Pria itu bukan main-main. Kalau kita salah langkah, bukan hanya Barra, tapi seluruh keluarga Pramudya akan hancur. Taka itu bukan orang yang bisa diganggu.”
“Tapi, Ayah...”
“Cukup!” Bram menghentakkan tongkatnya ke lantai. “Kau tahu Barra sendiri sudah bertindak bodoh. Sekarang kau ingin menambah beban dengan bicara pada Haryanto, kakek Aluna? Lalu apa? Kita mengemis belas kasihan pada keluarga yang pernah kita singkirkan?”
Ratih terisak, menutup wajah dengan saputangan. Ia tahu kata-kata ayahnya benar. Namun, bayangan wajah polos Raka terus muncul di kepalanya. Bagaimana mungkin ia berpura-pura tidak mengenali cucunya sendiri.
“Kalau begitu … apa yang harus kulakukan?” Ratih bertanya dengan suara patah. “Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, Ayah. Senyumnya … panggilan ‘Nenek’ itu … aku tidak sanggup melupakannya.”
Bram menatap putrinya yang bergetar. Ada sesaat di mana matanya melembut, namun segera kembali mengeras. “Yang harus kau lakukan sekarang adalah diam. Lindungi Barra dengan menjaga mulutmu. Jangan pernah mencoba mendekati Aluna atau anak itu lagi tanpa perhitungan matang. Kalau Hiroto marah, kau tidak akan sanggup menanggung akibatnya.”
Ratih tertunduk, air matanya jatuh membasahi saputangan. Dalam hati, ia masih bersikeras, cepat atau lambat, cucunya harus tahu kebenaran.
Sementara itu, di kediaman Wijaya, suasana jauh dari tenang. Haris mondar-mandir di ruang kerjanya, wajahnya pucat pasi. Tumpukan berkas kontrak dan laporan keuangan berserakan di meja. Telepon genggamnya berdering tanpa henti, dari investor, dari pemasok, dari bank, semua menanyakan hal yang sama.
Skandal foto editan yang disebarkan Miska dan Tuti sudah menghancurkan reputasi Wijaya. Ditambah kabar bahwa Takahashi Hiroto menarik seluruh dananya dari perusahaan, situasi menjadi semakin parah. Dalam semalam, saham merosot drastis, mitra kerja mundur, dan keuangan memburuk.
Di tengah kepanikan itu, Haris akhirnya melangkah ke ruang tamu, di mana Aluna duduk tenang bersama Raka. Bocah itu sibuk menggambar dengan krayon, sementara Aluna sesekali tersenyum lembut melihat karya anaknya.
“Aluna…” suara Haris berat, bergetar.
Aluna menoleh, ekspresinya datar. “Ada apa?”
Haris menarik napas panjang. “Ayah … Ayah butuh bantuanmu. Perusahaan kita … hancur. Semua investor pergi. Taka menarik dananya. Kalau kau mau bicara pada suamimu, mungkin dia bisa mempertimbangkan untuk menolong Wijaya lagi.”
Aluna menatap ayahnya lama, seolah menembus jauh ke dalam hatinya. Ada rasa getir yang muncul. Dulu, ketika ia dipermalukan, ketika Barra menuduhnya mencuri, ketika Tuti dan Miska menghina tanpa ampun, ayahnya tak pernah memihak. Ayahnya hanya diam, bahkan cenderung melindungi istri barunya.
“Kenapa sekarang baru ingat aku anakmu, Ayah?” suara Aluna dingin, menusuk. “Ketika aku ditampar, dihina, bahkan diusir, kau tidak pernah berdiri di sampingku. Tapi sekarang, ketika perusahaanmu goyah, baru kau mencariku?”
Haris terdiam, wajahnya memucat. “Aluna … Ayah menyesal, ayah salah. Tapi kumohon, ini tentang warisan keluargamu juga. Tentang nama besar Wijaya.”
Aluna tersenyum miring, penuh ironi. “Warisan? Nama besar? Jangan lupa, Ayah … kalian sudah membuangku dari lingkaran itu sejak lama.”
Haris mendekat, hampir berlutut. “Kumohon, Nak. Ayah tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau perusahaan ini runtuh, kita semua habis.”
Aluna menoleh sekilas pada Raka, yang masih asyik dengan krayonnya, lalu kembali encar ke ayahnya. Suaranya tenang, tapi penuh ketegasan.
“Aku bisa membantu, Ayah. Tapi dengan syarat.”
Haris langsung menatap penuh harap. “Syarat apa saja, Nak. Asal perusahaan bisa selamat.”
Aluna mencondongkan tubuh, menatap ayahnya dengan sorot tajam yang membuat Haris tersentak. “Ceraikan Tuti. Usir Miska dari rumah. Selama mereka ada di sana, aku tidak akan mengulurkan tangan sedikit pun.”
Ruangan hening, Haris membeku, matanya melebar. Kata-kata Aluna bagai pedang tajam yang menancap langsung ke dadanya.
“Aluna…” suaranya tercekat. “Itu … terlalu berat.”
“Kalau begitu, jangan pernah harap aku bicara pada Taka,” jawab Aluna cepat, matanya dingin. “Aku tidak akan membiarkan Raka tumbuh dengan melihat ibunya diinjak-injak lagi oleh perempuan yang bahkan tidak pantas ada di rumah ini.”
Haris membuka mulut, tapi tak ada kata keluar. Tangannya gemetar, wajahnya berkeringat dingin.
Aluna berdiri, meraih tangan Raka. “Pikirkan baik-baik, Ayah. Pilihan ada di tanganmu. Aku tidak akan memaksa. Tapi aku juga tidak akan menolong sebelum kau berani memilih dengan benar.”
Aluna melangkah pergi, meninggalkan ayahnya yang masih tertegun di sofa.
Di balik pintu ruang keluarga, Tuti dan Miska ternyata mendengar percakapan itu. Wajah mereka pucat, marah, dan penuh kebencian.
“Dia berani sekali mengancam Ayah seperti itu,” desis Miska dengan rahang terkatup.
Tuti menggenggam tangan putrinya, matanya berkilat penuh dendam. “Tenang, Miska. Dia pikir dia sudah menang hanya karena punya suami kaya? Kita akan buat dia menyesal. Kalau perlu, kita hancurkan citranya di depan Takahashi sendiri.”
Miska mengangguk, senyum sinis terbit di wajahnya. “Ya, Ma. Kali ini kita tidak boleh gagal.”
Sementara itu, Haris masih duduk terpaku, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Dalam hati ia sadar, untuk pertama kalinya, Aluna benar-benar punya kuasa atas dirinya. Dan ia tahu, jika tidak memilih dengan hati-hati, bukan hanya perusahaannya yang akan hilang, tapi seluruh keluarganya.
masih bisa2 nya mau fitnah
🤣🤣🤣🤣
Kamu dan Barra sebelas dua belas , jadi jangan merasa menang dulu 😡😡😡