Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Harus jadi istri yang setara dengan suami.
Malam perjamuan itu semakin meriah, lampu kristal bergemerlap, denting gelas beradu, dan musik klasik mengalun syahdu. Para tamu undangan tampak elegan dengan pakaian terbaik mereka, saling bertegur sapa, sebagian memuji, sebagian lagi saling mengukur pengaruh.
Hanum berdiri di sisi Abraham, gaun maroon bludru yang membalut tubuhnya membuatnya tampak begitu anggun. Sanggul sederhana di kepalanya dipadu kalung perhiasan mewah membuat sorot matanya semakin berkelas.
Siska, yang duduk di kursi VIP, tersenyum puas melihat penampilan menantunya.
“Cantik sekali, Hanum,” ucapnya penuh kebanggaan.
Hanum tersenyum lembut. “Terima kasih, Bu.”
Namun, suasana itu sedikit bergeser ketika Lilis datang bersama suaminya, Galih. Wajah Lilis tersenyum di hadapan para tamu, tetapi begitu matanya tertuju pada Hanum, senyum itu berubah menjadi dingin.
“Hanum…” sapa Lilis dengan nada samar mengejek, “kamu benar-benar berani datang ya? Aku kira setelah semua yang terjadi di masa lalu, kamu akan merasa canggung.”
Hanum tetap berdiri tenang, meski ia tahu apa maksud Lilis. Galih, mantan suaminya, berdiri di samping Lilis dengan wajah kaku, tampak tak nyaman dengan situasi itu.
“Tidak ada alasan untuk merasa canggung, Lilis,” jawab Hanum datar. “Masa lalu tetaplah masa lalu. Aku datang sebagai istri sah Mas Abraham, mendampingi suamiku di perjamuan penting ini. Tetapi, aku tak pernah lupa, kalau kamu adalah orang yang merusak rumah tanggaku, bahkan ... orang yang dengan sengaja membunuh anaknya," bisik Hanum pelan, kata kata itu melebarkan kedua mata Lilis.
Beberapa tamu terdiam, saling pandang dengan bisik-bisik pelan. Fakta bahwa Hanum adalah mantan istri Galih ternyata belum hilang dari ingatan sebagian orang. Lilis mendengus kecil, tangannya meremas lengan Galih seolah menegaskan bahwa pria itu kini sepenuhnya miliknya.
“Baguslah kalau kamu bisa setegar itu,” sindirnya. “Semoga kamu tidak mencoba mengulang cerita lama dengan cara yang berbeda.”
Hanum menatap Lilis lurus-lurus, matanya tajam tetapi tetap sopan.
“Aku sudah menutup pintu masa lalu sejak lama, Lilis. Dan aku tidak punya alasan sedikit pun untuk menoleh ke belakang. Hidupku sekarang jauh lebih berarti.”
Kata-katanya membuat wajah Lilis memerah, antara marah dan tersinggung. Galih hanya menunduk, enggan terlibat, sementara Abraham yang mendengar percakapan itu sejak tadi, menyipitkan mata. Ada bara kecil di dadanya, bukan cemburu semata, tetapi rasa ingin tahu yang semakin dalam.
“Abraham…” suara Rania lembut namun dibuat-buat. “Senang sekali akhirnya bisa bertemu di acara sebesar ini. Sayang sekali Alma tidak ada di sini…” ia menoleh ke Hanum, senyum miring tersungging. “oh, ternyata ada penggantinya.”
Beberapa tamu menahan napas. Kata-kata itu jelas ditujukan untuk mempermalukan Hanum. Hanum menundukkan kepala sejenak, bukan karena malu, melainkan mengendalikan diri.
“Iya, betul. Saya Hanum, istri sah Mas Abraham Biantara. Saya juga ingat kamu ... kita pernah bertemu beberapa kali," jawabnya mantap, suaranya jernih dan tenang, membuat beberapa tamu justru berdecak kagum.
Siska yang duduk tak jauh dari sana tersenyum bangga melihat menantunya menjawab dengan kepala tegak. Namun Lilis yang sejak tadi berdiri bersama Galih, menimpali dengan nada menusuk. “Istri sah, katanya? Semua orang juga tahu dulu kamu gagal jadi istri yang baik, Hanum. Jangan sampai kali ini pun terulang. Aku kasihan pada Tuan Abraham kalau sampai dia menanggung nasib sama seperti Galih.”
Kata-kata itu membuat Hanum menoleh pada Lilis, tatapannya dingin. Dia tersenyum samar, senyum yang membuat Lilis justru semakin panas.
“Tenang saja, Lilis. Saya tidak pernah menoleh ke belakang, apalagi pada orang yang sudah bukan milik saya. Kalau Mas Abraham memilih saya sebagai istrinya, itu karena beliau percaya saya mampu. Dan kalau ada yang harusnya khawatir, itu bukan saya … tapi kamu.”
Wajah Lilis memerah, beberapa tamu yang mendengar percakapan itu menutup mulut, menahan tawa. Galih semakin menunduk, wajahnya kaku, jelas tak tahu harus bersikap apa.
"Lilis, berhenti. Kamu akan mempermalukan aku," bisiknya pada Lilis.
Rania, yang tidak mau kalah, mendengus kecil lalu berkata lantang.
“Oh, jadi sekarang kamu merasa pantas berada di sisi Abraham? Hanum, jangan lupa, perusahaan sebesar Biantara tidak bisa dipimpin oleh istri yang tidak tahu apa-apa. Lihatlah dirimu, apa kamu pikir bisa mengimbangi posisi Alma dulu?”
Hanum menarik napas panjang, lalu menatap Rania lurus. “Saya mungkin bukan Nyonya Alma. Saya juga tidak ingin menjadi Nyonya Alma. Saya Hanum, dan saya punya cara sendiri untuk mendampingi suami saya. Tidak perlu pembandingan, karena setiap istri punya peran berbeda.”
Kata-kata itu, meski sederhana, membuat ruang perjamuan hening sejenak. Rania menggertakkan gigi, sementara Abraham yang sejak tadi menyaksikan semuanya, menatap Hanum dengan mata sulit dibaca. Ada rasa bangga, kagum, juga sedikit terkejut karena wanita itu mampu menghadapi semua tekanan dengan elegan.
'Mama tidak salah memilih wanita, ternyata dia memang layak untuk dijadikan istri,' bisik Abraham dalam hatinya.
Siska bertepuk tangan pelan, memecah ketegangan. “Bagus, Hanum. Itulah jawaban yang pantas. Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu.”
Abraham menoleh sekilas pada ibunya, lalu kembali menatap Hanum. Senyum samar muncul di wajah dinginnya, senyum yang jarang sekali terlihat. Dan sejak malam itu, hampir semua orang di perjamuan mulai memandang Hanum bukan hanya sekadar istri kedua Abraham, tetapi sebagai sosok yang berani berdiri sejajar dengan namanya.
'Aduh, gugup banget. Semoga ucapanku sudah benar dan Mas Abraham tidak tersinggung,' bisik Hanum dalam hatinya.
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏