Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Quantum Lady 2
Pagi harinya, halaman belakang Kastil Astrea yang dihiasi kabut tipis dan udara sejuk menjadi saksi sesi latihan yang sangat tidak konvensional.
Gilga Von Rabiot, berkaus tanpa lengan untuk memamerkan otot-ototnya yang terbentuk sempurna, sedang melakukan push-up dengan gerakan yang lambat dan terkontrol.
Di atas punggungnya, duduk dengan santai seperti seorang ratu di singgasana, adalah Lyra. Lyra terlihat fokus, sibuk melatih Mana Anginnya untuk menciptakan lapisan tipis Stabilisasi Spasial yang hampir tidak terlihat di sekeliling tubuh Gilga, menambahkan beban udara yang masif tanpa terlihat.
"Tiga ratus sembilan puluh delapan..."
hitung Lyra dengan suara tenang.
"Tiga ratus sembilan puluh sembilan... Sempurna."
Gilga mengakhiri hitungan terakhir, berdiri dengan gerakan mulus tanpa menjatuhkan Lyra dari punggungnya. Ia menurunkan Lyra dengan hati-hati ke tanah.
"Aku bisa melakukan lebih dari itu jika kau tidak mencoba membuatku tercekik dengan distorsi udaramu,"
ujar Gilga, meskipun ia sama sekali tidak terengah-engah. Matanya yang merah menatap Lyra, dipenuhi rasa senang karena tantangan tersebut.
Lyra mengangguk.
"Itu latihan daya tahan untuk Temporal Leap di udara yang kotor, Gilga. Kau perlu terbiasa dengan Mana yang padat."
Mereka berdua berjalan menuju kolam kecil untuk mencuci muka. Lyra, setelah mendapatkan tiket ke Akademi dari Racel, merasa perlu mengkonfirmasi aliansi terpentingnya.
"Gilga,"
kata Lyra sambil memercikkan air ke wajahnya.
"Kau akan ikut denganku ke Akademi, bukan?"
Gilga menatap Lyra, ekspresi kucing pintar itu kembali muncul di wajahnya. Ada nada geli dalam suaranya.
"Untuk apa kau bertanya seperti itu, Cousin? Kau pikir aku hanya di sini untuk menghabiskan makanan enak Kastil Astrea?"
Gilga bersedekap, sabitnya sudah disandarkan di dekat pohon.
"Lyra, tujuan utama aku dikirim ke sini delapan tahun lalu oleh Nenek Marlina bukanlah untuk menjadi teman bermainmu. Tujuanku adalah untuk memastikan, saat hari itu tiba, kau aman dan terkontrol."
Gilga melangkah lebih dekat, suaranya turun menjadi bisikan yang hanya bisa didengar oleh Lyra, tersembunyi di balik suara gemericik air.
"Nenek Marlina sudah tahu sejak lama kau akan masuk Akademi. Racel hanya menunda yang tak terhindarkan. Dan selama ini aku di Antarkan ke House Astrea karena perintah Marlina untuk mengikuti mu saat berada di Akademi."
Gilga menyeringai.
"Aku adalah bayanganmu, perisaimu, dan, jika diperlukan, senjata tersembunyimu. Aku akan ada di sana untuk membersihkan jejak kakimu, Lyra. Aku tidak sabar. Lower Ring Silvania terlalu membosankan."
Lyra merasakan gelombang kepuasan. Ia kini memiliki kekuatan Mana, kecerdasan, dan sekutu yang mematikan. Rencana Valerius untuk mengasingkannya telah gagal total.
Tepat pada saat itu, langkah kaki yang tenang dan familiar mendekati mereka.
"Aku harus mengakui,"
suara Erin Von Elemendorf terdengar, dipenuhi kelelahan tetapi juga kebanggaan.
"Untuk sekali ini, kau berhasil memaksakan kehendakmu, Lyra."
Erin berdiri di tepi taman, mengenakan jubah Archmage-nya, rambutnya diikat longgar.
"Ayahmu, Racel, baru saja mengirimkan surat ke Duke Eminan dan Nenek Marlina. Kalian berdua akan berangkat ke Ibu Kota lusa pagi."
Lyra dan Gilga saling pandang, senyum kemenangan terukir di wajah mereka. Misi selesai.
Erin melanjutkan, matanya menatap tajam ke Lyra, mengabaikan Gilga sejenak.
"Namun, ada harga untuk ini, Sayang. Racel setuju dengan satu syarat yang sangat keras. Dia ingin kau melakukan hal yang mustahil untuk membuktikan kesiapanmu."
"Apa syaratnya, Mama?"
tanya Lyra, Mana-nya bergetar dalam antisipasi.
Erin tersenyum tipis, senyum yang Lyra tahu berarti masalah besar.
"Kau tidak hanya harus menjadi yang terbaik di Akademi Elorick, Lyra. Syaratnya: Kau harus lulus dari Akademi hanya dalam waktu satu tahun."
Gilga, yang selama ini santai, tersentak.
"Satu tahun? Itu gila! Kurikulum Archmage penuh membutuhkan waktu lima tahun!"
"Ayahmu bilang,"
kata Erin, menirukan nada tegas Racel,
"'Jika Lyra ingin bermain di panggung politik Ibu Kota, dia harus bisa membuktikan bahwa dia tidak membuang waktu. Dia harus menelan semua ilmu sihir lima tahun dalam satu tahun, atau dia akan ditarik pulang.'"
Lyra mendengar persyaratan itu—lulus Akademi lima tahun dalam satu tahun—dan bukannya merasa takut, ia merasakan gelombang perlawanan yang dingin. Bukan karena ia merasa tidak mampu, tetapi karena ia mencium bau manipulasi yang familiar.
"Satu tahun?"
ulang Lyra, Mana-nya mulai berputar cepat.
"Itu bukan tantangan akademik, Mama. Itu adalah jebakan."
Lyra menatap Erin dengan tajam.
"Papa mencoba membuat sangkar yang lebih besar untukku. Dia tahu aku akan berhasil, tapi dia juga tahu bahwa jika aku menghabiskan waktu setahun hanya untuk belajar, aku tidak akan punya waktu untuk mengurus politik."
Lyra melangkah ke depan, nada suaranya berubah tegas.
"Aku tidak ingin menjadi gadis yang belajar semalaman dan tidak tahu apa-apa tentang pergerakan politik di luar jendela. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang terjebak dalam sangkar, bahkan jika sangkar itu terbuat dari ijazah Archmage."
Gilga mengangguk setuju di belakang Lyra.
"Dia benar, Bibi Erin. Racel menggunakan kecerdasannya untuk mengunci dia."
Erin yang sedari tadi tenang, seketika berubah. Mana Es di sekitarnya yang biasanya halus dan terkontrol, meledak menjadi badai kecil yang dingin. Tatapan matanya yang mirip kristal itu menyala dengan amarah yang jarang Lyra lihat.
"CUKUP, LYRA!"
bentak Erin. Suaranya bergema di halaman, cukup keras hingga Merbrit dan Mia yang berada di dalam kastil pasti mendengarnya.
Erin mendekat ke Lyra, amarahnya menekan udara di antara mereka. Lyra merasakan Mana-nya Archmage Ibunya jauh lebih kuat daripada yang pernah ia rasakan.
"Kau pikir kau siapa, Lyra Elara Astrea?"
tuntut Erin, nadanya penuh kepedihan yang bercampur kemarahan.
"Kau berani menuduh Ayahmu sendiri menguncimu, setelah dia berjuang selama delapan tahun untuk melindungimu dari permainan kotor yang kau cintai itu?"
Erin menunjuk ke Lyra dengan jari gemetar.
"Racel melakukan ini untuk melindungimu dari dirimu sendiri! Kau hanya melihat politik, kekuasaan, dan ambisi!"
Air mata mulai menggenang di mata Erin, tetapi amarahnya tidak mereda.
"Kau ingin tahu apa itu sangkar, Lyra? Sangkar adalah ketika ibumu menghabiskan setiap hari memikirkan cara agar putri jeniusnya tidak berakhir mati konyol di lorong-lorong gelap hanya karena mengejar informasi rendahan! Sangkar adalah ketika Nenekmu Marlina berencana menjual pernikahanmu bahkan sebelum kau menginjak Akademi!"
Erin meraih bahu Lyra, cengkeramannya kuat dan dingin.
"Racel tahu. Dan dia memberikanmu tantangan ini sebagai perisai! Jika kau bisa lulus dalam satu tahun, tidak ada faksi yang bisa memaksamu untuk melakukan hal lain—tidak ada yang bisa menyentuh statusmu! Itu memberimu kekebalan untuk empat tahun sisa. Itu bukan sangkar, Lyra! Itu kebebasan!"
Erin melepaskan Lyra, memalingkan muka, mencoba menenangkan Mana Esnya yang bergejolak.
"Pikirkanlah, Lyra. Pikirkanlah mengapa Ayahmu, Dewa Pedang, memberikanmu tantangan yang hanya bisa dipecahkan oleh otak Archmage-mu. Dia tidak mencoba mengikatmu. Dia memberimu alasan untuk menjadi yang tak tersentuh."
Gilga, yang menyaksikan ledakan itu, tetap diam. Dia menyadari Erin benar. Racel menggunakan kecerdasan Lyra untuk memberikan kebebasan politik, alih-alih menguncinya.
Lyra, yang terkejut oleh kemarahan Erin, perlahan mencerna kata-kata ibunya. Kekebalan. Kebebasan. Bukan sangkar, tetapi benteng pertahanan.
Lyra menyadari kesalahannya. Ayahnya selalu berpikir untuk melindunginya, bahkan ketika ia memberinya tantangan.
"Maafkan Lyra, Mama,"
ucap Lyra dengan nada lembut, memastikan tidak ada jejak amarah atau pemberontakan yang tersisa dalam suaranya.
"Lyra terlalu bersemangat. Lyra akan segera bersiap. Tolong sampaikan kepada Papa bahwa Lyra menerima tantangan kebebasan ini."
Lyra kemudian berbalik dan berjalan menuju Kastil. Langkahnya ringan, tampak seperti gadis yang telah kembali ke akal sehatnya.
Erin menatap punggung Lyra. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. Amarahnya telah mereda secepat datangnya, dan kini yang tersisa hanyalah kekhawatiran karena telah membentak putrinya dengan begitu keras.
Gilga, si Kucing Pintar, melirik sekilas ke arah Erin, memberikan anggukan singkat yang menghormati pengorbanannya, lalu segera menyusul Lyra masuk ke dalam Kastil. Dia tahu, senyum palsu itu adalah topeng Lyra yang paling tebal.
Lyra berjalan cepat melintasi koridor Kastil dan masuk ke kamar pribadinya. Ia menutup pintu dengan lembut, memastikan kuncinya terkunci rapat.
Saat pintu terkunci, topeng di wajah Lyra pecah.
Lyra segera berlari ke tengah ruangan, Mana yang ia tahan di dalam tubuhnya meledak dalam gelombang kejut yang hening.
Ia menjerit tanpa suara. Lyra menjatuhkan dirinya ke lantai, Mana Angin dari Cincin Alpha-nya berputar gila-gilaan, tetapi ia mengendalikan diri untuk tidak melepaskan kekuatan destruktif.
BUAGH!
Lyra menghantamkan tinjunya ke lantai, bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Tangisannya tertahan di tenggorokan, diubah menjadi geraman frustrasi yang mendalam.
"SANGKAR! SANGKAR!"
bisik Lyra, suaranya serak.
Lyra tahu Erin benar. Tapi pengkhianatan Valerius, ditambah tekanan dari Racel dan Marlina, membuat semua itu terasa seperti jerat—terlepas dari tujuan akhirnya. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak melihat maksud baik Racel dan membenci dunia bangsawan yang memaksanya menjadi bidak.
Ia merobek salah satu bantal sutra di tempat tidurnya dengan tangan telanjang, Mana Anginnya memotong kain itu seperti pisau. Bulu-bulu halus beterbangan di kamar.
"Aku bukan bidak!"
Lyra berteriak dalam hati, air matanya akhirnya mengalir deras di pipi.
"Aku bukan barang yang bisa mereka pertaruhkan! Aku bukan Reni yang lama, yang tunduk pada nasib! Aku adalah Lyra!"
Lyra memegangi kepalanya, merasakan ketegangan luar biasa. Ia adalah Lyra Astrea yang memiliki ambisi dan kecerdasan Archmage, tetapi jiwa Reni, si pemuda yang membenci dikte dan ketidakadilan, memberontak.
Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran dingin di belakangnya. Gilga telah menyelinap masuk melalui jendela, mengabaikan kunci pintu.
Gilga tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berlutut di sebelah Lyra yang tersengal-sengal, membiarkannya menangis dalam diam.
Setelah beberapa saat, Lyra berhenti menangis. Dia menarik napas dalam-dalam dan menghapus air matanya dengan punggung tangan. Seketika, Archmage yang kejam kembali.
"Satu tahun,"
desis Lyra, suaranya kembali dingin dan penuh tekad.
"Mereka ingin aku lulus dalam satu tahun?"
Lyra menoleh ke Gilga, matanya yang merah kini bersinar dengan cahaya berbahaya.
"Mereka akan mendapatkannya, Gilga. Aku akan lulus dalam waktu satu tahun. Aku akan menjadi Archmage terbaik, yang paling berkuasa, dan yang paling cerdas. Aku akan menjadi yang tak tersentuh."
Lyra kemudian menyeringai.
"Dan di sisa waktu luangku, aku akan menemukan Valerius dan gulungan Sihir Jiwa itu. Aku akan memastikan dia membayar pengkhianatannya, dan aku akan membongkar semua rahasia politik busuk mereka. Aku akan tunjukkan kepada mereka bahwa Archmage tercepat adalah Archmage yang paling berbahaya."
Gilga menyeringai lebar, matanya yang merah menyala menyambut janji itu.
"Tentu saja, Cousin. Aku akan mnyingkirkan semua orang yang menentang mu."
Lusa pun tiba. Langit di atas Kastil Astrea cerah, tetapi suasana di halaman depan terasa dingin dan formal—sesuai dengan pentingnya perjalanan ini.
Lyra, yang telah mendapatkan kembali ketenangan dan fokusnya, berdiri di depan kereta kuda dengan penampilan seorang bangsawan muda yang siap menaklukkan dunia. Ia mengenakan jas formal berwarna abu-abu gelap yang dirancang khusus untuk mobilitas, dipadukan dengan jubah putih panjang yang elegan, melambangkan kemurnian darah Elemendorf. Di balik lapisan jubahnya, Cincin Kristal Alpha-nya berdenyut, siap beraksi.
Di sampingnya, berdiri Gilga Von Rabiot. Gilga mengenakan jubah biru tua yang sangat berkelas, tetapi mencolok. Di bahunya, sulaman lambang keluarga Rabiot—sebuah bulan sabit merah darah—terlihat jelas, menandakan bahwa ia adalah bayangan yang mematikan di samping Lyra. Gilga tampak tenang, sabitnya tersembunyi dengan sempurna di balik jubahnya.
Di depan mereka, berdiri Marlina Von Elemendorf, Nenek Lyra. Marlina mengenakan gaun resmi dan menatap Lyra dengan senyum yang dipenuhi kebanggaan dan perhitungan. Dia akhirnya mendapatkan cucunya di Ibu Kota.
Erin Von Elemendorf mendekati Lyra. Setelah ledakan emosi dua hari lalu, suasana di antara ibu dan anak itu sangat canggung. Erin tampak lelah, tetapi matanya penuh cinta yang dingin.
"Lyra,"
kata Erin, suaranya pelan.
"Mama,"
balas Lyra, nadanya sangat formal.
"Kau... maafkan Mama. Mama tidak seharusnya membentakmu seperti itu,"
bisik Erin, mencondongkan tubuh sedikit.
"Mama hanya ingin kau aman."
Lyra tahu permintaan maaf itu tulus, tetapi Lyra masih menyimpan luka karena telah dimanipulasi. Dia hanya bisa memberikan jawaban yang sopan dan strategis.
"Tidak apa-apa, Mama. Mama benar. Lyra akan menggunakan tantangan itu sebagai kebebasan Lyra. Mama, jaga Papa baik-baik. Jangan terlalu memaksakan diri."
Mereka berdua berpelukan singkat. Pelukan itu terasa dingin, dipenuhi dengan hal-hal yang tidak terucapkan.
Saat Erin mundur, Racel Astrea melangkah maju. Dewa Pedang itu mengenakan seragam kebesarannya, wajahnya serius. Dia menatap putrinya, melihat Lyra yang kini tampak begitu dewasa.
Racel tidak berbicara tentang Akademi atau politik. Dia hanya mengulurkan kotak kayu ramping yang panjang.
"Ini,"
kata Racel, suaranya berat.
"Hadiah perpisahanmu, Lyra. Dan hadiah ulang tahun yang tertunda."
Lyra membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terbaring sebuah pedang yang indah dan menakutkan. Pedang itu panjang dan ramping, bilahnya terbuat dari material yang tampak seperti baja hitam pekat, yang tidak memantulkan cahaya, melainkan menyerapnya. Pegangannya diukir dengan bentuk sisik yang tampak hidup dan kuno.
Lyra merasakan Mana yang luar biasa tua dan liar memancar dari pedang itu. Pedang itu berukuran naga, terasa berat, tetapi sempurna di genggaman Lyra.
"Pedang ini... dari mana, Papa?"
tanya Lyra, terkejut. Dia belum pernah merasakan Mana yang begitu kuno.
"Itu adalah pedang yang terbuat dari sisik naga yang jatuh di medan perang Dewa Pedang Kuno,"
jelas Racel dengan bangga.
"Aku membuatnya khusus untukmu, Lyra. Pedang ini akan menahan semua Mana Angin dan sihir Distorsi Spasialmu tanpa bergetar. Dia tidak akan patah. Dia akan menjadi perpanjangan dari jiwamu."
Racel mencondongkan tubuh.
"Gunakanlah dengan baik. Aku tidak ingin melihatmu mengandalkan Mana orang lain. Gunakan pedang ini untuk menjadi Archmage-Pendekar Pedang yang tak tertandingi."
Lyra mengangguk. Dia tahu, ini adalah pernyataan kepercayaan yang paling besar dari Racel. Pedang hitam itu adalah pengakuan penuh atas ambisi dan kekuatannya.
"Terima kasih, Papa,"
bisik Lyra, memegang pedang itu erat-erat.
Marlina tersenyum puas.
"Sudah waktunya, Lyra. Akademi Elorick tidak menunggu siapa pun. Gilga, pastikan Lyra tidak menimbulkan masalah sebelum kita mencapai Ibu Kota."
"Tentu saja, Nenek,"
jawab Gilga dengan hormat.
Lyra dan Gilga menaiki kereta yang mewah dan bergemuruh. Lyra terakhir kali melihat kedua orang tuanya: Racel berdiri tegak dengan banggaan seorang Dewa Pedang, dan Erin melambaikan tangan dengan wajah penuh kekhawatiran yang ia sembunyikan.
Kereta itu beranjak, membawa Lyra dan Gilga menuju Ibu Kota, menuju Akademi Elorick, dan menuju konfrontasi yang tak terhindarkan dengan Valerius dan politik Kerajaan.