Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 14
"Memangnya ada berapa teman Adimas yang akan datang nanti malam?" tanya Fita sambil mendorong troli yang kembali terisi dengan beberapa jenis sayuran segar.
"Gak tahu. Dia cuma bilang kalau nanti malam ada teman-temannya datang." Jasmine menjawab tanpa melihat ke arah Fita. Ia lebih fokus memilih wortel yang terpajang di etalase.
"Kamu nggak nanya gitu?" tanya Fita dengan suara agak meninggi. Tangannya lalu beralih ke lengan Jasmine, membuat Jasmine menoleh padanya. "Jangan bilang ini kamu yang menawarkan untuk menyiapkan makanan untuk mereka? Dan kamu sama sekali tidak bertanya ada berapa jumlah temannya yang datang."
Jasmine mengangkat bahunya dengan ekspresinya yang tenang. "Mas Adimas maunya ngajak mereka bertemu di luar sebenarnya. Tapi dengan kondisinya yang belum membaik banget, jadi ya aku saranin untuk ke rumah aja." ujar Jasmine dengan senyum manisnya, untuk menenangkan Fita yang kini menatapnya dengan tajam.
Sebenarnya bukan hanya itu alasan yang membuat Jasmine nekat mengeluarkan ide untuk menjamu teman-teman suaminya nanti malam. Alasan utamanya adalah ia ingin mengenal teman-teman suaminya. Secara umum, itu untuk jaga-jaga saat Adimas sulit dihubungi sewaktu-waktu. Lagipula selama mereka menikah, Jasmine tidak pernah dikenalkan dengan teman-teman suaminya, kecuali teman Adimas semasa sekolah.
Hanya saja ide untuk memasak ini sebenarnya bukan ide yang baik. Dirinya memang handal dalam hal baking, namun ia sulit diandalkan dalam segi memasak. Anehnya, sejak Adimas keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, lelaki itu enggan makan makanan yang Jasmine beli namun menghabiskan makanan yang Jasmine masak.
Padahal masakan Jasmine kalau tidak keasinan ya pahit karena gosong.
Lalu dengan penuh percaya diri, Jasmine langsung menawarkan ide untuk memasak makanan untuk para teman Adimas. Sementara Adimas tidak menjawab iya atau tidak. Lelaki itu bahkan tidak mau repot menginfokan jumlah temannya yang datang.
Setelah mengatakan itu, Adimas bahkan dengan begitu tenang pergi bekerja. Akhirnya Jasmine pun mengabari Fita untuk minta ditemani belanja bahan makanan sepulang mereka kerja.
"Tapi kan kemampuan masak kamu hancur banget, Mine. Gimana bisa kamu segitu pedenya mengajak mereka makan masakan kamu?" Fita menatapnya dengan geram.
Jasmine justru terkekeh. "Aku bisa lihat berbagai resep di youtube atau tiktok, Fit. Jaman sekarang kan gampang."
Fita geleng-geleng kepala melihat tingkah Jasmine. Perempuan itu meneruskan langkahnya menuju tempat berbagai aneka protein hewani berada. Akhirnya Fita menyusul Jasmine yang sedang sibuk memilih ayam potong.
"Harusnya kamu ajak Naina juga, Mine. Biar kamu nggak salah pilih bumbu buat masak. Kamu kan tahu kemampuan masak aku gak beda jauh dari kamu." ucap Fita ikut memasukkan dua wadah daging giling ke trolly.
"Kalau ada Naina aku nggak bakal ngajak kamu Fit. Dia sibuk banget minggu ini. Cuma tadi dia sudah kirim apa aja bahan yang diperlukan. Jadi kamu tenang aja, oke?"
Mengabaikan Fita yang masih menampakkan gurat kekhawatiran, Jasmine kemudian segera menuju tempat tersedianya aneka persaosan.
Satu tangannya meraih satu persatu botol saos sesuai dengan yang dikirim Naina tadi. Setelah memastikan sesuai dengan pesan Naina, Jasmine kemudian menghampiri Fita. Wajah sahabatnya itu masih begitu kusut.
"Nggak boleh khawatir berlebihan. Kamu terlalu mencemaskan sesuatu yang belum tentu terjadi."
Fita memberengut kesal. "Kenapa nggak pesan aja sih, Jas? Bukannya apa ya, aku khawatir aja nanti masakan kamu nggak disukai teman-temannya Adimas. Kamu bisa jadi bahan olokkan mereka."
Jasmine mengambil alih trolly tersebut. Lalu mendorongnya berjalan bersisihan dengan Fita.
"Sepertinya Mas Adimas tidak terlalu menyukai makanan luar, Fit. Selain itu, teman-temannya sepertinya baik. Kamu tenang aja. Bantu doa aja, ya. Semoga makanannya enak."
"Iya deh iya. Kalau nanti ada apa-apa kabarin aku ya."
Jasmine mengangguk pelan. Senyum cerah diwajahnya terus tampak hingga tiba-tiba matanya melihat dua sosok yang ia kenal. Dua orang yang sedang berjalan berdua di antara tempat buah-buahan itu tampak begitu akrab. Jangankan tawa, si lelaki bahkan tidak segan mengusap puncak rambut si perempuan.
Saat itulah Jasmine merasakan terdapat perasaan asing timbul dengan sendirinya.
Iya, Jasmine cemburu melihat kedekatan mereka. Jasmine cemburu dengan cara Adimas menatap Rindu.
****************
"Jasmine!Kamu gila ya!!" Teriakan disertai dengan tangan Adimas yang dengan cepat mematikan kompor itu membuat Jasmine tersentak dan tersadar bahwa kini ayam yang ia goreng sudah gosong.
"Saya tidak minta kamu masak untuk teman-teman saya. Kalau kamu tidak suka dengan mereka tidak usah memaksakan diri. Saya juga tidak mau kalau kamu menyajikan makanan beracun itu kepada mereka." kata Adimas dengan kesal.
Jasmine yang baru mengangkat ayam hitam itu kemudian menoleh pada Adimas. Lelaki itu masih memakai pakaian kerjanya. Bahkan tas kerjanya pun masih berada di tangannya.
Dapur berubah menjadi ruangan yang penuh asap. Jasmine bahkan terbatuk beberapa kali.
"Kamu mau bakar rumah, ya?!" Suara Adimas meninggi. Tatapannya semakin tajam disertai dengan kedua alisnya yang menukik tajam semakin menambah kesan amarah.
Jasmine menggeleng cepat. "Aku minta maaf. Pikiranku sedang kemana-mana makanya aku tidak sadar ayamnya sudah gosong." jawab Jasmine yang juga masih panik sekaligus merasa bersalah.
Ini semua gara-gara pikirannya terus mengingat momen Adimas bersama Rindu tadi. Kepala terus memutar adegan kedekatan mereka seperti kaset dan Jasmine benci itu.
Adimas menghela napasnya dengan kasar. Ia memejamkan matanya sesaat, lalu menatap Jasmine dengan emosi.
"Seharusnya kamu tidak usah menyentuh dapur. Kelalaian kamu tidak hanya bisa membakar dapur, tapi juga rumah. Udah sana, masuk ke kamar. Saya tidak mau kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi."
Adimas terus memarahi Jasmine tanpa memperdulikan perasaannya. Namun Jasmine dengan cepat mengontrol perasaannya. Ia tidak mungkin menurut begitu saja.
"Aku hanya ingin memasak untuk teman-teman kamu. Aku janji kali ini tidak akan seperti tadi lagi."
Adimas menatap Jasmine dengan tajam. Jasmine hanya bisa menunduk. Ia tahu, kemarahan Adimas sudah berada di ubun-ubun. Namun niatnya sudah bulat. Ia sudah membuat brownies cokelat untuk cemilan malam dan beberapa bahan makanan untuk lauk juga sudah ia siapkan. Ia harus menyelesaikan drama masak ini segera.
"Tidak. Saya bisa minta Rindu untuk memasak."
Demi apapun Jasmine membenci nama itu disebut dengan begitu lembut oleh Adimas.
"Enggak. Terserah kamu mau makan makanan dari Rindu atau siapapun itu. Tapi tidak di sini. Ini rumahku juga. Tamu kamu, itu tamu ku juga. Artinya aku yang berhak menjamu mereka bukan perempuan itu." Jasmine memberanikan diri menatap Adimas dengan tidak kalah tajam.
Adimas yang tadinya kaget langsung tersenyum miring. "Jangan pernah berakting untuk menjadi istri yang baik. Di mata saya, kamu bahkan tidak sebanding dengan Rindu."
"Kenyataannya istri kamu itu aku, bukan perempuan itu." Tatapan Jasmine seakan ingin membuka mata Adimas lebar-lebar.
Ia seolah-olah ingin menyadarkan Adimas bahwa Rindu hanyalah seorang perempuan dengan status sahabat Adimas. Pun jika mereka ternyata mempunyai hubungan lebih dari itu, Jasmine tidak terlalu ingin mengingatnya. Toh yang tercatat sebagai istri dari Adimas adalah dirinya.
Rahang Adimas mengetat. Tatapannya menusuk ke mata Jasmine. Tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya.
"Diam kamu! Kamu itu hanya istri di atas kertas. Jadi jangan berbangga diri."
Melihat Adimas yang tersulut emosi Jasmine sebenarnya sudah tidak ingin berdebat. Namun bayangan kedekatan mereka tadi siang membuat Jasmine pun kesal.
Jasmine tersenyum tipis, terkesan sinis. "Meskipun hanya di atas kertas, setidaknya aku sah secara agama dan negara menjadi istrimu. Tidak ada kekhawatiran jika dekat dan tidak menjadi gunjingan jika berdekatan." Tidak berdosa juga jika bersentuhan. Ingin rasanya Jasmine mengatakan poin terakhir tersebut secara lantang di hadapan Adimas. Namun ia tidak ingin Adimas akan semakin marah padanya.
Adimas terdiam. Entah karena lelah karena sepulang bekerja justru berdebat dengan Jasmine atau justru memang memikirkan perkataan Jasmine yang diselimuti cemburu.
Lelaki itu memejamkan matanya sesaat. Sementara itu Jasmine mengepalkan kedua tangannya, bertahan untuk tidak menangis setelah mengeluarkan energinya bersitegang dengan Adimas.
Keduanya saling diam. Hingga akhirnya Adimas membuka matanya dan bersuara dengan nada yang lebih tenang.
"Jangan sentuh apapun. Kamu tunggu di sini. Saya mau ganti baju."
Setelah mengatakan itu Adimas langsung berlalu dari hadapan Jasmine dan segera menuju lantai atas.
"Kenapa mesti keluar urat juga sih, Jas?" keluh Jasmine pada dirinya sendiri. "Kalau begini dia bisa semakin benci sama kamu."
Jasmine pun memilih duduk, lalu mengambil satu potongan brownies cokelas di meja makan yang tidak jauh dari dapur. Setelah menghabiskan satu potong kue, ia lalu mengambil satu potong kue lagi. Namun di saat bersamaan, karet yang mengikat rambutnya terputus.
Ia pun meletakkan kue tersebut meja dan hendak mengambil karet rambutnya namun langkahnya berhenti saat ia melihat Adimas sudah berada di ujung tangga bawah.
Lelaki itu sudah berganti pakaian dengan kaos berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu gelap. Berganti pakaian dengan pakaian santai seperti ini membuat Jasmine mengakui bahwa Adimas memang tampan. Otot lengannya lebih cukup terlihat dibandingkan saat lelaki itu memakai kemeja. Setidaknya Adimas juga tidak sekaku biasanya.
"Mau kabur, hah?!" tanya Adimas dengan nada sinis.
"Enggak. Aku cuma-"
"Alasan." kata Adimas lalu berlalu dari hadapan Jasmine berjalan menuju dapur dengan tenang.
Akhirnya Jasmine mengurungkan niatnya untuk mengambil ikat rambutnya di kamar. Ia pun memutar balikkan badannya dan berjalan mengikuti Adimas dari belakang.
Saat mereka sudah sampai di dapur, Adimas dengan begitu cekatan bergerak di dapur. Jasmine? Dia hanya memperhatikan Adimas yang sibuk memotong bawang dengan cepat.
"Kamu tumis ini." Masih dengan ekspresi datarnya, Adimas menyodorkan semangkok kecil potongan bawang merah dan putih pada Jasmine.
Jasmine lalu menerima itu dan berjalan menuju kompor dengan pan ukuran sedang yang sudah siap di kompor. Jasmine segera menghidupkan kompor dan menunggu minyak panas. Setelah memastikan minyak panas, ia pun memasukkan perbawangan tersebut.
Namun saat Jasmine sedang menumis bawang, ia merasakan terdapat tangan yang mengumpulkan rambutnya menjadi satu lalu mengikatnya perlahan.
"Mas...."
"Lain kali kalau masak rambutnya harus diikat biar rambut kamu tidak masuk ke makanan. Saya tidak mau makan makanan yang ada rambutnya." ucap Adimas dengan datar.
Suara Adimas memang datar, namun jantung Jasmine jangan ditanya. Detakan jantungnya tidak berirama dengan teratur. Saat Adimas mengikat rambutnya, hidungnya dengan begitu lancang mencium aroma tubuh Adimas. Tubuhnya meski menegang juga menikmati kedekatan sesaat tadi.
Jasmine lalu berbalik ke belakang. Matanya menangkap sosok Adimas yang berdiri di belakangnya sambil menatapnya dengan datar.
"Itu ada bekas makanan di bibir kamu." tunjuk Adimas ke arah bibir Jasmine.
Tentu saja Jasmine dengan cepat membersihkan area mulutnya dengan tangan. "Sudah?" tanyanya pelan.
"Di bibir, bukan di dekat bibir. Ngerti tidak?"
Lagi, tangan Jasmine mengusap asal bibirnya hingga tiba-tiba jari Adimas menyentuh bibirnya dengan pelan dan membuat Jasmine terdiam dengan mata yang menatap Adimas dengan kaget.
"Gitu aja nggak bisa." ucapnya datar. "Jangan melamun, itu tumisannya jangan sampai hangus." ucap Adimas lalu meninggalkan Jasmine yang masih terdiam di dapur sambil menyentuh bibirnya.
"Ini mimpi, ya?"