Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 MENCARI KESENANGAN.
Lampu neon berwarna-warni berkelap-kelip, musik dentuman bass berdentum memenuhi ruangan klab malam yang penuh orang. Asap rokok bercampur dengan aroma minuman beralkohol membuat udara sesak, namun Alya justru merasa bebas. Malam ini, ia ingin melupakan segala hal yang membuat kepalanya pening Aluna dengan segala sandiwaranya, Arga dengan kebimbangannya, bahkan Papah Darma dengan fitnah-fitnah yang ia tebarkan.
“Untuk malam ini, aku hanya ingin tertawa,” gumam Alya sambil meneguk segelas martini yang baru saja dihidangkan pelayan.
Dinda duduk di sampingnya, sesekali ikut menyeruput minuman yang lebih ringan. Tatapannya khawatir, meski ia berusaha tersenyum. “Mbak, yakin nggak apa-apa? Besok kan ada jadwal padat di kantor.” Mulai sekarang Dinda akan memanggil Alya dengan sebutan mbak, karena itu permintaan Alya sendiri.
Alya mengangkat alis, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Dinda, justru karena besok aku sibuk, malam ini aku harus melepas penat. Aku butuh sedikit kebebasan. Lagipula, sesekali bersenang-senang bukan dosa.”
Dinda menghela napas, lalu mengangguk pasrah. “Ya sudah, aku temenin. Tapi jangan terlalu banyak minum, Mbak. Aku nggak mau harus gendong Mbak pulang.”
Alya terkekeh. Tawanya terdengar tulus, berbeda dengan tawa-tawa palsu yang biasa ia perlihatkan di hadapan orang-orang munafik. Ia menari-nari kecil di kursinya mengikuti irama musik yang mengguncang lantai dansa. Sejenak, beban di pundaknya terasa menguap, digantikan sensasi ringan dan hangat.
Beberapa pria mencoba mendekat, menawarkan segelas minuman atau mengajak menari. Namun Alya hanya memberi senyum tipis lalu menolak dengan sopan. Ia datang bukan untuk mencari pasangan dadakan, melainkan untuk mencari kebebasan dari semua drama yang mengekangnya.
“Cheers untuk kebahagiaan semu,” Alya mengangkat gelasnya. Dinda ikut mengangkat gelas, meski ekspresinya penuh kekhawatiran.
Ketika dentuman musik semakin keras, Alya bangkit dan melangkah ke lantai dansa. Rambut panjangnya bergoyang seirama tubuhnya. Gaun hitam sederhana yang ia kenakan memantulkan cahaya lampu, membuatnya tampak menonjol di tengah kerumunan. Senyum bahagia terlukis di wajahnya malam ini, Alya terlihat benar-benar hidup.
Dinda hanya mengamati dari kejauhan, tak ingin mengganggu momen itu. Ia tahu betapa lelahnya Alya, betapa keras wanita itu berusaha mempertahankan kekuatannya di hadapan dunia.
Namun di tengah keriuhan itu, seseorang mendekat. Seorang pria dengan jas rapi, senyum penuh karisma, dan tatapan tajam yang segera menangkap sosok Alya di lantai dansa.
Tuan Sam.
“Jadi ini cara Anda melepas penat, Nona Alya?” suaranya dalam, namun cukup jelas terdengar meski musik bergemuruh.
Alya menghentikan gerakan tubuhnya, menoleh dengan kaget. Senyum tipis langsung terukir di wajahnya begitu mengenali pria itu. “Tuan Sam? Dunia memang kecil, ya.”
Sam tersenyum lebar, lalu melangkah mendekat. “Atau mungkin memang takdir yang membuat saya berada di sini malam ini.”
Dinda yang duduk di meja segera menegang ketika melihat kedatangan Sam. Ia tahu pria itu bukan orang sembarangan. Namun ia memilih diam, membiarkan Alya yang menghadapi.
Sam mengulurkan tangannya. “Boleh saya temani Anda menari?”
Alya menatap tangan itu sejenak. Ada keraguan, tapi juga rasa penasaran. Akhirnya, ia meraih tangan Sam dengan senyum menggoda. “Kenapa tidak?”
Mereka menari bersama di lantai dansa, tubuh bergerak mengikuti irama musik. Sam ternyata luwes, mampu menyesuaikan gerakan tanpa terlihat canggung. Sesekali, ia menatap Alya dengan pandangan yang sulit diartikan antara kagum, tertarik, dan sedikit menantang.
“Aku kira, kau tipe wanita yang lebih suka rapat formal daripada klub seperti ini,” bisik Sam di telinga Alya, suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman musik.
Alya terkekeh. “Justru karena terlalu sering rapat formal, aku butuh suasana seperti ini. Hidup terlalu singkat kalau hanya diisi dengan kerja.”
Sam mengangguk, matanya menatap Alya dalam-dalam. “Kau benar. Tapi jujur saja, aku tidak menyangka akan melihatmu begitu… bebas malam ini. Kau terlihat berbeda. Bukan Alya yang biasanya penuh kendali.”
Alya tersenyum samar. “Mungkin karena aku sedang mencoba melupakan manusia-manusia munafik dalam hidupku.”
Sam menaikkan alis. “Aluna dan… Arga?”
Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia terkejut, tapi juga kagum, bahwa Sam bisa membaca pikirannya. “Sepertinya kabar menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan.”
“Bukan kabar, Alya.” Sam mendekat, menurunkan suaranya. “Aku hanya bisa melihat dari tatapan matamu. Kau wanita yang kuat, tapi sekaligus menyimpan luka dalam. Dan malam ini… aku bisa merasakannya.”
Alya tercekat, tapi segera menutupi kegugupannya dengan senyum tipis. “Kau terlalu pandai membaca orang, Tuan Sam.”
Sam tertawa kecil. “Itu bukan kepandaian. Itu hanya intuisi.”
Mereka terus menari, seakan dunia di sekitar menghilang. Alya mulai merasakan ketenangan aneh. Bersama Sam, ia tidak perlu berpura-pura. Tidak ada fitnah, tidak ada keluarga yang membenci, tidak ada cinta yang setengah hati. Hanya ada dirinya, dan pria ini yang menatapnya tanpa penilaian.
Setelah beberapa lagu, mereka kembali ke meja. Sam memesan dua gelas wine merah, lalu menyerahkan salah satunya pada Alya.
“To freedom,” ucap Sam sambil mengangkat gelas.
Alya mengangkat gelasnya, menatap pria itu. “To freedom,” ulangnya, sebelum meneguk wine dengan senyum tipis.
Percakapan mereka mengalir, tak lagi membicarakan pekerjaan. Sam menanyakan hal-hal ringan makanan favorit, tempat liburan impian, bahkan cerita masa kecil. Alya menjawab dengan santai, sesekali tertawa. Ia tidak sadar betapa jarangnya ia bisa tertawa selepas ini.
Dinda yang duduk agak jauh hanya bisa menghela napas lega. Setidaknya malam ini, Alya terlihat bahagia, meski ia tahu kebahagiaan itu mungkin hanya sementara.
Ketika jam menunjukkan lewat tengah malam, musik mulai melambat. Sam menatap Alya dengan senyum hangat. “Aku senang bisa melihat sisi lain darimu malam ini. Kau benar-benar mempesona, Alya.”
Alya terdiam. Kata-kata itu membuat hatinya bergetar, namun ia segera menegakkan kepala. “Jangan terlalu memuji, Tuan Sam. Aku bukan wanita sempurna.”
Sam mendekat sedikit, menatap Alya lekat-lekat. “Tidak ada yang sempurna. Tapi justru itu yang membuatmu nyata… dan menarik.”
Alya terdiam, matanya menatap balik pria itu. Untuk sesaat, ia lupa dengan luka dan dendam. Yang ada hanyalah momen singkat bersama pria yang melihat dirinya tanpa beban masa lalu.
Namun dalam hati, ia tahu. Malam ini hanyalah pelarian. Permainan sesungguhnya masih menantinya esok hari.