Bagaimana jadinya jika seorang penulis malah masuk ke dalam novel buatannya sendiri?
Kenalin, aku Lunar. Penulis apes yang terbangun di dunia fiksi ciptaanku.
Masalahnya... aku bukan jadi protagonis, melainkan Sharon Lux-tokoh antagonis yang dijadwalkan untuk dieksekusi BESOK!
Ogah mati konyol di tangan karakternya
sendiri, aku nekat mengubah takdir: Menghindari Pangeran yang ingin memenggalku, menyelamatkan kakak malaikat yang seharusnya kubunuh, dan entah bagaimana... membuat Sang Eksekutor kejam menjadi pelayan pribadiku.
Namun, ada satu bencana fatal yang kulupakan
Novel ini belum pernah kutamatkan!
Kini aku buta akan masa depan. Di tengah misteri Keluarga Midnight dan kebangkitan Ras Mata Merah yang bergerak di luar kendali penulisnya, aku harus bertahan hidup.
Pokoknya Sharon Lux harus selamat.
Alasannya sederhana: AKU GAK MAU MATI DALAM KEADAAN LAJANG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
“... Perjanjian … apa?” Suaranya tenang dan dingin. Bingung muncul.
Arthur menyandarkan punggung. Bahunya santai, namun tatapannya mengunci Sharon.
“Sepertinya Duke tidak pernah memberitahumu,” katanya sembari mengetuk meja pelan. “Masalah keluarga kita. Perjanjian kuno yang leluhur kalian buat dan berakhir menjadi bencana.”
“Hei, bisa jelaskan perlahan. Aku tidak paham sama sekali.”
Althea juga terlihat kebingungan. Sementara Leon menundukkan kepala. Ia satu-satunya yang memahami arah pembicaraan ini.
“Tuan Leon di sebelah situ tampaknya mengerti,” ucap Arthur menatap Leon tajam. “Benar bukan, Tuan? Lagipula setelah menikah dengan Althea anda punya hak khusus untuk mengetahui hal-hal seperti ini?”
Leon menganggukan kepala. “Anda sendiri, bagaimana bisa mengetahui hal kuno seperti ini.”
“Karena saya keturunan ras mata merah terakhir dan satu-satunya yang masih hidup di dunia ini … wajar saya tahu. Mengingatnya saja membuatku jijik.”
Situasi makin senggang.
Sharon makin tak paham.
“Hei leon kamu tahu sesuatu, kenapa tidak—”
“Mereka menutupi sejarah, Sharon. Makanya aku selalu mengatakan bahwa keluarga Lux licik…”
Hening. Arthur menghela napas. “Baiklah, aku akan menjelaskan secara bertahap … sebelum itu.”
Arthur membentuk angka tiga di tangannya.”mari kita bahas tiga alasan aku mengundangmu.”
Sharon menegakkan punggungnya pelan. Ruangan perjamuan kecil itu hening, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak lembut.
Arthur menyandarkan tubuhnya sedikit ke depan, jemarinya terjalin santai di atas meja kayu gelap. Seolah-olah ia benar-benar sedang menikmati percakapan damai… padahal ketegangan di balik senyumnya mudah sekali dikenali.
“Pertama,” ujar Arthur kalem, “hubungan diplomatik antara Lux dan Midnight akhir-akhir ini… menurun.”
Sharon tidak menyela. Ia tahu pemimpin seperti Arthur tidak bicara omong kosong. Ia justru menunggu lanjutan dan membaca gerak tubuhnya—mata merah, napas stabil, nada bicara terlalu tenang untuk seorang yang memendam sesuatu.
Arthur melanjutkan, “Kedua. Keluarga Lux… atau lebih tepatnya, leluhur kalian, diduga menyembunyikan sesuatu. Sejak ratusan tahun lalu.”
Nada suaranya rendah. Namun justru itu yang membuat kata-katanya terasa berat.
Gilbert di belakang Sharon bergerak sedikit, seperti refleks ingin bicara, tetapi ia menahan diri. Sharon menatap meja sebentar, lalu kembali menatap Arthur tanpa gentar.
“…Dan yang ketiga?” tanyanya datar.
Arthur tersenyum. Bukan senyum lembut, tapi senyum penuh tanda tanya—seperti seseorang yang sedang menilai siapa lawan bicaranya sebenarnya.
“Sejarah,” jawab Arthur. “Sejarah yang hilang. Secara sengaja. Seperti masalah perjanjian kita yang bahkan kalian saja tidak tahu.”
Sharon merasakan sesuatu menegang di dadanya, tapi ia tidak menunjukkan apa pun. Ia menautkan kedua tangan di pangkuan dan menjawab dengan nada sehalus batu permata yang diasah.
“Kalau Anda memulai dialog, aku di sini untuk mendengar.”
Ia mengangkat dagu sedikit.
“Tapi tuduhan tanpa bukti hanya akan mengaburkan meja perundingan.”
Gilbert menunduk kecil—seolah bangga akan keberanian nonanya.
Arthur… malah tampak semakin terhibur.
“Ah…” Arthur menyipitkan mata, senyumnya menajam, “kamu memang bukan Sharon yang kukenal lagi.”
“sebelum kita memulai lebih jauh … maaf untuk kalian bertiga, tapi aku ingin berbicara berdua dengan sharon di aula. Jadi aku pinjam Sharon sebentar.”
“Anda kelewatan—”
“Saya kelewatan? Oh, Gilbert,” potong Arthur. “ini juga bagian dari diplomatik, jadi jangan ganggu kami.”
“Mana bisa aku membiarkan kamu dengan—’
“Gil.” Ucap Sharon tegas. “Baiklah, aku akan ikut.”
“Tapi, nona-”
Sharon tersenyum menatap Gilbert. “Tidak apa-apa, Gil. Makasih sudah khawatir.”
Arthur menatap tidak suka pemandangan ini, ia meraih lengan Sharon dan membawanya keluar. “Ayo Sharon.”
malah meme gw😭
Sharon sebagai antagonis palsu tuh bukan jahat—dia korban. Dan kita bisa lihat perubahan dia dari bab awal sampai sekarang.
pokonya mantap banget
rekomendasi banget bagi yang suka cerita reinkarnasi
dan villain
semangat thor