NovelToon NovelToon
Jadi Simpanan Ceo

Jadi Simpanan Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Selingkuh / Nikah Kontrak
Popularitas:343
Nilai: 5
Nama Author: Celyzia Putri

Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .

‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Nadia kini sedang berada di ruang makan setelah dihampiri adik suaminya seluruh anggota keluarga memanggilnya untuk ikut perjamuan di sana.

Tuan Hendra, sang paman, meletakkan gelas kristalnya dengan dentuman keras ke meja perjamuan. "Bramantyo! Lihat dirimu! Kau membiarkan istrimu yang tidak jelas asal-usulnya ini menjadi tontonan, dan sekarang adikmu sendiri bersikap tidak sopan padanya. Keluarga ini menjadi bahan lelucon karena kau membawa 'simpanan' ke meja makan kami!"

Kata 'simpanan' yang diucapkan dengan penuh penekanan itu membuat suasana seketika senyap. Nadia menunduk, jemarinya meremas kain gaunnya, merasakan sesak yang luar biasa di dadanya.

Bramantyo berdiri perlahan. Ia tidak berteriak, namun suaranya bergetar dengan kemarahan yang bisa menghancurkan gedung pencakar langit.

"Tarik ucapanmu, Paman," desis Bramantyo.

"Kenapa? Karena itu benar?" sahut bibinya, tante Sarah, dengan nada mengejek. "Dia hanya wanita yang beruntung karena hamil. Jika bayi itu tidak ada, dia tidak lebih dari sekadar pelayan di rumah ini. Kau mengotori darah murni Dirgantara dengan menikahi wanita dari jalanan!"

Bramantyo menghantam meja makan hingga piring-piring porselen beradu. "CUKUP!"

Ia berjalan memutari meja, mendekat ke arah Tuan Hendra. Para pengawal pribadi Bramantyo di sudut ruangan langsung bersiap, membuat anggota keluarga yang lain ketakutan.

"Kalian bicara tentang darah murni?" Bramantyo tertawa sinis, suara tawanya terdengar mengerikan. "Kalian semua hidup dari tetesan keringatku! Perusahaan yang kalian banggakan, saham yang membiayai gaya hidup mewah kalian, semuanya adalah hasil tanganku! Dan kalian berani menghina wanita yang menjadi alasan aku tetap bernapas?"

Bramantyo menunjuk ke arah foto kakek buyut mereka yang tergantung di dinding. "Keluarga ini dibangun dengan kerja keras, bukan dengan menghina ibu dari ahli waris Dirgantara! Mulai detik ini, siapa pun yang menyebut Nadia dengan kata 'simpanan' atau menghinanya, aku akan mencabut seluruh fasilitas dan saham kalian dari Dirgantara Group. Aku tidak main-main."

Tuan Hendra berdiri, wajahnya merah padam. "Kau mengancam keluargamu sendiri demi wanita ini?!"

"Dia ADALAH keluargaku!" raung Bramantyo. "Kalian hanya parasit yang kebetulan memiliki nama belakang yang sama denganku!"

Adrian, yang sedari tadi hanya menonton sambil tersenyum miring, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang namun seperti bensin yang disiram ke api.

"Kak, jangan terlalu keras pada mereka," ujar Adrian sambil berdiri di samping Nadia, bahkan berani meletakkan tangannya di sandaran kursi Nadia. "Mungkin mereka benar. Nadia terlalu berharga untuk berada di tengah keluarga kolot seperti ini. Jika Kakak tidak bisa menjaganya dari mulut-mulut tajam mereka, mungkin Nadia butuh perlindungan di tempat lain."

Bramantyo menoleh cepat ke arah adiknya. Matanya menyipit penuh kecurigaan dan cemburu. "Jangan berani-berani kau ikut campur, Adrian. Jauhkan tanganmu dari kursinya."

Adrian mengangkat kedua tangannya seolah menyerah, tapi matanya tetap menatap Nadia dengan kilatan yang provokatif. "Aku hanya membela Kakak Ipar, Kak. Jangan emosional."

Bramantyo tidak memedulikan adiknya lagi. Ia menyambar tangan Nadia, menariknya berdiri dengan protektif.

"Perjamuan ini selesai," ucap Bramantyo dingin kepada seluruh keluarga besarnya. "Jangan pernah datang ke rumahku, dan jangan pernah mencoba menghubungi Nadia. Mulai besok, audit besar-besaran akan dilakukan pada divisi yang kalian pegang. Aku ingin melihat seberapa 'murni' kalian mengelola uangku."

Jeritan protes pecah dari para paman dan bibinya, namun Bramantyo sudah melangkah pergi menarik Nadia keluar dari rumah besar itu.

Di dalam mobil mewah yang membawa mereka pulang, keheningan menyelimuti. Nadia melihat tangan Bramantyo yang masih gemetar karena amarah.

"Kak..." panggil Nadia pelan.

Bramantyo menarik Nadia ke dalam pelukannya, memeluknya dengan sangat erat seolah takut Nadia akan menghilang jika ia melonggarkannya sedikit saja.

"Maafkan aku," bisik Bramantyo di rambut Nadia. "Aku bersumpah, siapa pun—termasuk keluargaku sendiri atau bahkan adikku—tidak akan pernah bisa menyentuhmu atau menyakitimu lagi. Kau adalah duniaku, Nadia. Aku akan membakar seluruh dunia ini jika itu perlu untuk menjagamu."

Nadia terdiam di pelukan Bramantyo.

Di satu sisi ia merasa terlindungi, namun di sisi lain, ia melihat bayangan Adrian di benaknya.

Ia menyadari bahwa pertengkaran malam ini hanyalah awal dari perang yang lebih besar di dalam dinasti Dirgantara.

Pasca pertengkaran hebat di perjamuan keluarga, Bramantyo benar-benar membuktikan ucapannya. Ia menjadi sangat sibuk di kantor, melakukan audit besar-besaran untuk menendang paman dan bibinya dari posisi strategis. Kesibukan ini menjadi celah yang ditunggu-tunggu oleh Adrian untuk mendekati nadia.

Beberapa hari kemudian, saat Bramantyo terjebak rapat pemegang saham hingga larut malam, Nadia merasa bosan dan memutuskan untuk duduk di taman atap (roof garden) penthouse mereka. Tiba-tiba, ia mencium aroma kopi yang sangat harum.

"Kakakku memang bisa membangun istana, tapi dia lupa memberikan 'jiwa' di dalamnya," suara merdu itu terdengar lagi.

Nadia menoleh dan mendapati Adrian berdiri di sana, membawa dua cangkir kopi. Ia tidak memakai jas formal seperti biasanya, hanya kemeja putih dengan lengan digulung, membuatnya terlihat jauh lebih santai dan tidak mengancam dibandingkan Bramantyo.

"Adrian? Bagaimana kau bisa masuk? Keamanan di sini sangat ketat," tanya Nadia waspada.

Adrian terkekeh pelan, duduk di kursi seberang Nadia tanpa diminta. "Aku seorang Dirgantara, Nadia. Aku tahu semua protokol keamanan yang dibuat Kak Bram. Lagipula, aku hanya ingin memastikan Kakak Ipar tidak mati kebosanan di sangkar emas ini."

Adrian menyerahkan satu cangkir kopi kepada Nadia. "Ini decaf. Aman untuk bayimu."

Nadia ragu sejenak, namun akhirnya menerimanya. "Terima kasih."

"Nadia," Adrian menatap langit malam dengan pandangan melankolis. "Aku tahu tentang rahasia kincir angin itu. Kak Bram menceritakannya padaku bertahun-tahun lalu saat dia mabuk. Dia terobsesi padamu bukan karena dia mencintaimu sebagai wanita dewasa, tapi karena dia ingin memiliki kembali masa kecilnya yang hilang."

Adrian mencondongkan tubuh, menatap mata Nadia dengan dalam. "Baginya, kau adalah piala dari masa lalu. Tapi bagiku... kau adalah wanita yang luar biasa yang bertahan di tengah kegilaan keluarga ini. Kau bukan piala, Nadia. Kau adalah manusia."

Kata-kata Adrian terasa seperti oase bagi Nadia. Setelah sekian lama dianggap sebagai 'objek' atau 'aset' oleh Bramantyo, pengakuan Adrian bahwa ia adalah 'manusia' menyentuh sisi emosionalnya yang paling dalam.

Hari-hari berikutnya, Adrian mulai muncul lebih sering secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak pernah memaksa, ia hanya datang untuk membawakan buku-buku yang disukai Nadia, mendengarkan keluh kesah Nadia tentang kehamilannya, atau sekadar menemaninya tertawa.

Suatu sore, Adrian membawakan sebuah kincir angin kertas yang baru—berwarna-warni dan indah.

"Kak Bram menyimpan yang lama karena dia terjebak di masa lalu," ujar Adrian sambil meletakkan kincir itu di tangan Nadia. "Aku membawakan yang baru, karena aku ingin kau melihat masa depan. Masa depan di mana kau tidak perlu takut untuk bernapas."

Saat itu, jari-jari Adrian menyentuh tangan Nadia sedikit lebih lama dari biasanya. Nadia merasakan sengatan listrik yang berbeda. Ada rasa bersalah, namun dia tidak bisa melawan.

"Adrian, jangan lakukan ini," bisik Nadia, menarik tangannya. "Bramantyo adalah kakakmu. Dia akan membunuhmu jika tahu kau di sini."

Adrian tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit diartikan. "Dia sudah mengambil segalanya dariku sejak kami kecil, Nadia. Posisi di perusahaan, perhatian ayah... Aku tidak akan membiarkan dia mengambil satu-satunya hal indah yang tersisa di rumah ini tanpa perlawanan."

Tanpa mereka sadari, di ruang kerjanya yang jauh di pusat kota, Bramantyo sedang menatap layar monitor tabletnya. Kamera tersembunyi di taman atap menangkap setiap gerak-gerik Adrian dan Nadia.

Rahang Bramantyo mengeras hingga urat-urat di lehernya menonjol. Ia melihat bagaimana Nadia tersenyum pada adiknya—senyum yang jarang ia dapatkan akhir-akhir ini.

"Kau bermain dengan api, Adrian," desis Bramantyo, suaranya seperti bisikan iblis. "Dan kau, Nadia... aku memberikanmu hati, tapi kau malah mencari kenyamanan pada pengkhianat."

Bramantyo membanting tabletnya ke meja hingga retak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!