Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nenek Dan Bibi Qing
Suasana pagi yang tenang tiba-tiba pecah oleh suara teriakan keras dari luar rumah.
“Qing Rong! Keluarlah kau sekarang juga!”
Suara parau itu begitu familiar bagi Qing Rong. Ia langsung menegang, wajahnya pucat.
Qing Wei dan Qing Dao saling berpandangan.
“Itu suara Nenek,” ujar Qing Wei perlahan.
Qing Rong segera berdiri. “Mei’er, lanjutkan sarapanmu. Jangan keluar, Nak,” katanya cepat sambil menatap putrinya.
Qing Mei hanya mengangguk, meski rasa penasaran mulai menggelitik dadanya.
Qing Rong menelan ludah, lalu melangkah menuju pintu reot itu bersama kedua putranya.
Begitu pintu dibuka, angin pagi yang dingin berembus masuk bersama pemandangan yang membuat jantungnya hampir berhenti.
Di depan rumah berdiri Nyonya Lao, ibunya sendiri, wanita tua dengan wajah tegas dan mata yang masih menyala meski usianya sudah lanjut.
Di sampingnya berdiri kakak Qing Rong, Qing Fu, mengenakan hanfu ungu dengan wajah sinis. Di belakang mereka, beberapa pengawal kekar berdiri tegak.
“Ibu.” Qing Rong berusaha tersenyum. “Kenapa pagi-pagi datang ke sini? Ayo masuk, kita sarapan bersama,” ajaknya meski ia tahu jawaban penolakan yang akan didengarnya.
Nyonya Lao langsung menunjuk tajam ke arahnya.
“Tidak sudi aku masuk ke dalam gubuk reyot itu! Sekarang aku tanya, apa yang kau lakukan pada Nyonya Cho?! Gara-gara kalian, dia datang mengamuk ke rumah besar! Kau benar-benar pembawa sial, Rong!”
Qing Rong membeku. “Apa? Nyonya Cho? Dia yang datang mem—”
“Diam!” bentak Nyonya Lao. “Jangan berani membantah! Selalu saja ada masalah kalau menyangkut dirimu!”
Nyonya Lao benar-benar kesal, mengingat semalam nyonya Cho tidak pergi sebelum mereka memberikan apa yang wanita gendut itu inginkan. Terpaksa nyonya Lao harus merelakan beberapa keping koin perak dan satu emasnya untuk diberikan.
Qing Wei langsung berdiri di depan ibunya, melindunginya.
“Nenek, ini bukan salah Ibu! Nyonya Cho yang salah, dia ingin membawa adik kami ke rumah bordil! Apa salah kami menolak?”
“Berani sekali kau membantahku, bocah!” bentak Nyonya Lao.
“Cukup, Wei!” potong Qing Rong cepat. Ia menggenggam tangan anaknya, matanya mulai berkaca. “Ibu, kami tidak berbuat salah. Nyonya Cho ingin memperjualbelikan putriku. Tentu aku marah! Mei’er juga cucu Ibu. Bagaimana mungkin Ibu membiarkannya?”
Nyonya Lao mendengus tajam. “Cucu? Hah! Apa peduliku? Harusnya kau bersyukur kalau anakmu dibawa ke rumah bordil. Setidaknya dia berguna melunasi utangmu!”
Qing Rong menatap ibunya dengan tidak percaya. “Ibu! Bagaimana bisa Ibu berkata begitu?!”
Qing Fu, yang sejak tadi hanya menonton dengan tangan terlipat, ikut menimpali dengan nada mengejek.
“Adik, jangan terlalu bodoh. Toh Mei’er memang tidak berguna. Gadis seperti dia, apa salahnya kalau dipakai untuk melunasi utang keluarga? Setidaknya ada gunanya.”
Kata-kata itu menusuk telinga semua orang.
Tapi sebelum Qing Rong sempat membalas, suara dingin terdengar dari belakangnya.
“Oh, kalau begitu, kenapa bukan putrimu saja, Bibi Fu, yang dijadikan wanita bordil? Bukankah Lian lebih cocok?”
Semua kepala menoleh hampir bersamaan.
Dari balik pintu, Qing Mei muncul dengan langkah tenang. Rambutnya dibiarkan terurai sebagian, wajahnya dingin dan penuh ketegasan. Tatapannya lurus pada kedua wanita yang telah menghina keluarganya.
Nyonya Lao membelalak. “Kau ... kau berkata apa barusan, anak kurang ajar?!”
“Aku hanya mengusulkan hal yang adil,” jawab Qing Mei datar. “Kalau seseorang harus dikorbankan karena utang, kenapa bukan dari pihak yang berutang?”
“Kau berani bicara begitu pada nenekmu sendiri?!” teriak Nyonya Lao lantang, matanya semakin melotot tajam.
“Kalau ‘nenek’ hanya bisa menjual cucunya sendiri, lebih baik aku tidak punya nenek.” Q
Kata-kata itu membuat udara seolah membeku. Para tetangga yang mulai berdatangan menutup mulut, berbisik-bisik.
Nyonya Lao menggertakkan giginya. “Kau benar-benar tidak tahu sopan santun! Kau anak miskin, anak tak tahu diri! Harusnya kau sudah dibawa Nyonya Cho kemarin!”
Bisik-bisik tetangga semakin ramai.
“Benar juga, katanya mereka memang berhutang besar.”
“Tapi kalau memang yang berhutang keluarga besar, kenapa beban dibagi ke mereka?”
Qing Mei tersenyum miring. “Miskin, ya? Bukankah yang miskin justru kalian?”
Nyonya Lao dan Qing Fu sontak menatapnya tajam. “Apa maksudmu?! Kami ini bangsawan kelas tiga!” bentak Qing Fu marah, dikatakan miskin tentu melukai harga diri mereka.
Qing Mei melipat tangannya ke depan dada, suaranya jernih dan tenang tapi menusuk.
“Bangsawan kelas tiga tapi berutang pada rentenir, lalu membebankan cicilan pada keluarga miskin seperti kami. Bukankah itu tanda bahwa kalianlah yang sebenarnya miskin? Bukan hanya harta tapi juga harga diri.”
Kata-kata itu menampar keras.
Wajah Nyonya Lao dan Qing Fu memerah karena malu dan marah. Suara bisikan warga kini berubah, sebagian mulai tertawa kecil atau mengangguk-angguk mendukung Qing Mei.
“Dia benar juga, ya.”
“Berani sekali gadis kecil itu.”
Nyonya Lao menunjuk cucunya dengan gemetar. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang menggelegak.
“Kau … kau! Dasar anak durhaka!”
Tapi Qing Mei belum berhenti. Ia melangkah maju, sorot matanya dingin.
“Kalau kalian memang tak mampu membayar utang, bayarlah dengan putri dan cucu kesayangan kalian itu. Jangan bebani orang lain yang bahkan hanya bisa makan sekali sehari. Kalau aku jadi kalian, aku sudah malu keluar rumah.”
Wajah Qing Fu menegang. Ia mendesis marah dan mengangkat tangannya tinggi, siap menampar Qing Mei.
“Bocah tidak tahu diri! Aku ajar kau—”
Tapi sebelum tangannya sampai, Qing Mei menepis cepat dengan gerakan ringan, membuat tubuh Qing Fu kehilangan keseimbangan dan mundur beberapa langkah.
Semua terkejut. Bahkan para pengawal menatap dengan ragu, tidak berani maju.
Qing Mei berdiri tegak, suaranya tegas dan tajam. “Aku bukan gadis yang bisa kalian tindas lagi.”
Suasana hening beberapa saat, hanya terdengar desiran angin dan bisikan warga.
Merasa terpojok dan dipermalukan, Nyonya Lao menatap dengan penuh amarah.
“Baik! Kau dan ibumu benar-benar keterlaluan! Mulai hari ini, jangan pernah berharap bantuan dari keluarga besar Qing! Aku akan menyuruh suamiku memutus hubungan darah dengan kalian semua! Kalian akan berlutut meminta belas kasihan nanti!”
Qing Mei membalas dengan nada tenang tapi menusuk. “Kami tidak butuh belas kasihan. Tapi saat waktunya tiba, kalianlah yang akan menyesal.”
Tatapan Qing Mei begitu tajam hingga membuat Nyonya Lao mundur setengah langkah tanpa sadar.
“Kita lihat saja nanti!” seru Qing Fu, menahan malu, lalu menarik ibunya pergi dengan langkah cepat.
Kereta sederhana yang mereka bawa meninggalkan debu di depan rumah Qing Rong. Warga perlahan bubar, masih berbisik tentang keberanian gadis muda itu.
Di depan rumah, Qing Rong hanya bisa berdiri terpaku, matanya berkaca.
“Mei’er kenapa kau begitu berani melawan mereka?”
Qing Mei menatap ibunya lembut, lalu menggenggam tangannya.
“Karena Ibu sudah terlalu lama diam. Mulai sekarang, biarkan aku yang melindungi keluarga ini.”
ksiham ya knp si mei lan sllu di bully apa slah mei lan.coba