Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 2
Sementara itu, di rumah Sadewa, suasana justru semakin sibuk. Beberapa tetangga lalu lalang membawa kursi, kain dekorasi, dan perlengkapan lainnya. Sadewa berdiri di tengah halaman, matanya menyapu ke segala arah.
Sejak tadi ia tak melihat Mama dan Papanya.
Sadewa melangkah mendekati sekelompok tetangga yang sedang mengatur meja di bawah tenda. Dengan sopan ia menyapa, lalu bertanya apakah mereka melihat orang tuanya.
"permisi ada yang tau mama sama papa?." tanya Sadewa.
“Oh, Mama sama Papa kamu?” salah satu ibu berhenti bekerja sejenak. “Tadi ke rumah Pak Hendrawan. Kayaknya lagi ketemu Bianca yang baru pulang.”
Nama itu membuat langkah Sadewa seolah tertahan sesaat.
“Terima kasih, Bu,” ucapnya singkat.
Sadewa segera keluar dari halaman rumah. Baru beberapa langkah menuju jalan kecil di depan rumah, langkahnya terhenti.
Di seberang sana, pintu rumah Hendrawan terbuka.
Ia melihat mamanya keluar lebih dulu, wajahnya berseri-seri, senyum tak lepas dari bibirnya. Di belakangnya, Papa menyusul dengan raut yang sama lega dan bahagia, seperti baru saja bertemu sesuatu yang sangat mereka rindukan.
Sadewa berdiri mematung.
Dari jarak itu, ia tak bisa melihat apa yang terjadi di dalam rumah Hendrawan. Tapi satu hal jelas ada kebahagiaan yang terlalu familiar di wajah kedua orang tuanya.
Dan entah kenapa, jantung Sadewa berdegup sedikit lebih cepat.
Tanpa sadar, pandangannya beralih ke arah rumah di depan rumah yang sejak kecil selalu menjadi tempat ia melihat seorang gadis berdiri di halaman, menunggunya pulang.
Hanum dan Yudistira baru saja melangkah melewati pagar ketika Sadewa menghampiri mereka. Wajah Hanum masih menyisakan senyum hangat, tapi sorot matanya berubah begitu menangkap ekspresi putranya.
“Dewa,” panggil Hanum. “Kamu kenapa nggak bilang ke Bianca kalau kamu mau menikah?”
Sadewa berhenti melangkah. Ia menghela napas pendek, lalu menjawab tanpa benar-benar menatap wajah ibunya.
“Ah, Bianca pasti sudah tahu, Ma,” katanya ringan, nyaris terkesan tak peduli. “Lagi pula itu bukan hal penting.”
Hanum menahan langkah. Alisnya berkerut, jelas tak sepenuhnya setuju dengan jawaban itu. “Dia baru pulang dari jauh. Masa kamu nggak kepikiran sama sekali buat bilang langsung?”
Sadewa mengangkat bahu. “Nanti juga ketemu. Lagipula sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan.”
Nada suaranya terdengar asal, seolah percakapan itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan panjang. Tanpa menunggu tanggapan, Sadewa melangkah pergi, kembali masuk ke dalam rumah, menyatu lagi dengan keramaian tenda dan persiapan pernikahannya.
Hanum menatap punggung putranya yang menjauh, napasnya tertahan. Ada sesuatu di sikap Sadewa yang mengganjal, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan sebuah ketidakpedulian yang terasa terlalu dibuat-buat.
Sementara itu, Sadewa berjalan semakin cepat, seolah ingin menjauh dari pertanyaan yang barusan dilontarkan. Namun di dadanya, ada rasa tak nyaman yang tak ikut tertinggal di luar.
Hari itu akhirnya tiba.
Sejak pagi, rumah Sadewa dipenuhi hiruk-pikuk dan doa. Di kamar pengantin, Sadewa berdiri di depan cermin, mengenakan beskap kebaya berwarna gelap dengan detail emas yang sederhana namun berwibawa. Kain batik terikat rapi di pinggangnya, blangkon terpasang sempurna. Wajahnya tampak lebih tegas dari biasanya tenang, dewasa dan aura pengantin memancar jelas dari sorot matanya.
Para kerabat menepuk pundaknya, memuji ketampanan dan kesiapan hatinya. Sadewa hanya tersenyum tipis, mengangguk seperlunya. Hari ini adalah hari besarnya. Hari yang sudah ia pilih dan ia jalani.
Di seberang jalan, suasana tak kalah sibuk di rumah Bianca.
Di dalam kamar, Bianca berdiri di depan cermin besar. Kebaya berwarna sage membalut tubuhnya dengan anggun warna lembut yang sama dengan kebaya sang mama. Kebaya itu bukan pilihan sembarang. Mama Hanum sendiri yang memberikannya, memintanya mengenakan busana itu agar ia menjadi penerima tamu keluarga.
Riasan wajahnya flawless, lembut namun menonjolkan kecantikannya yang alami. Sanggulnya tertata rapi, dihiasi sentuhan kecil yang membuat lehernya tampak jenjang. Saat ia menoleh sedikit, pantulan di cermin memperlihatkan seorang perempuan yang begitu anggun bukan lagi gadis kecil di depan rumah.
Lestari menatap putrinya lama, matanya berkaca-kaca. “Kamu cantik sekali hari ini, Bianca.”
Bianca tersenyum, menelan getar di dadanya. Ia mengangguk pelan.
Siapa pun yang melihatnya pagi itu akan sulit berpaling. Ada ketenangan, ada keindahan yang matang jenis kecantikan yang membuat orang ingin menetap, bahkan tanpa mengenalnya lebih jauh.
Namun di balik kebaya sage dan senyum yang terjaga rapi, Bianca tahu satu hal:
hari ini ia harus berdiri di garis paling depan, menyambut kebahagiaan orang yang pernah menjadi dunianya.
Rasa bahagia yang sejak pagi memenuhi rumah Sadewa mendadak runtuh.
Di tengah tamu yang mulai berdatangan, seorang wanita tua muncul dari balik tenda. Nenek Sarah. Ia tidak mengenakan kebaya seperti tamu lainnya hanya baju sederhana berwarna gelap. Langkahnya gemetar, matanya sembab, dan tangisnya pecah tanpa bisa ditahan.
Beberapa orang mulai menoleh. Bisik-bisik kecil terdengar.
Hanum yang melihat itu langsung tersentak. Tanpa menunggu keadaan semakin gaduh, ia segera menghampiri, menggenggam tangan nenek Sarah dengan lembut.
“Mari, Bu… kita masuk dulu,” ucapnya pelan namun tegas, berusaha menjaga suasana.
Yudistira ikut mengangguk, membantu mengarahkan nenek Sarah masuk ke dalam rumah. Mereka menutup pintu, memisahkan duka yang datang terlalu tiba-tiba dari kemeriahan di luar.
Di ruang tamu, Sadewa menyusul dengan wajah bingung. Dadanya terasa tidak enak sejak melihat nenek Sarah berdiri sendirian tanpa Sarah di sisinya.
“Nek…” Sadewa membuka suara, berusaha tetap tenang. “Kenapa Nenek belum bersiap? Sarah di mana?”
Tidak ada jawaban.
Nenek Sarah hanya menangis. Bahunya naik turun hebat, tangannya gemetar, mulutnya terbuka tapi tak satu pun kata keluar. Ia menunduk, seolah terlalu berat untuk mengucapkan apa pun.
Hanum mendekat, berlutut di hadapan wanita tua itu. “Bu… kalau ada apa-apa, bilang pelan-pelan. Kami di sini.”
Dengan tangan yang masih bergetar, nenek Sarah akhirnya merogoh tas kain yang ia bawa. Dari dalamnya, ia mengeluarkan secarik surat yang sudah sedikit kusut, lalu menyerahkannya pada Sadewa.
Sadewa menerimanya dengan ragu. Jantungnya berdetak keras saat ia membuka lipatan kertas itu.
Tulisan tangan yang sangat ia kenal.
> Maafkan aku, Dewa.
Maaf karena aku tidak bisa melanjutkan
pernikahan ini.
Aku tidak bisa menikah denganmu hari ini.
Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku tahu… kamu berhak mendapatkan hidup yang lebih utuh, tanpa harus terus menungguku.
Terima kasih sudah mencintaiku sejauh ini.
Maafkan aku.
#sarah
Huruf-huruf itu seakan menari di depan mata Sadewa. Tangannya melemah, surat itu nyaris terlepas dari genggamannya.
Ruangan mendadak sunyi.
Hanum menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. Yudistira berdiri kaku, wajahnya memucat.
Dan Sadewa ia berdiri di tengah ruangan dengan beskap pengantin yang masih sempurna, sementara dunia yang ia bangun runtuh perlahan, tepat di hari yang seharusnya menjadi awal hidup barunya.
Tangis Hanum akhirnya pecah.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Hatinya terasa diremas melihat putra semata wayangnya berdiri terpaku, mengenakan busana pengantin, namun ditinggalkan tepat di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.
“Kenapa harus begini…” suaranya pecah di sela isak. “Kenapa anak Mama diperlakukan seperti ini…”
Hanum bangkit berdiri. Amarah yang sejak lama ia tekan akhirnya menyeruak. Matanya memerah, napasnya tersengal.
“Dari awal Mama sudah bilang,” ucapnya dengan suara bergetar namun tegas. “Mama tidak pernah setuju hubungan kalian. Bukan karena Mama kejam tapi karena Mama tahu, Sarah tidak pernah benar-benar siap untuk hidupmu.”
Ia menoleh ke arah nenek Sarah, lalu kembali pada Sadewa.
“Tapi Mama menurunkan ego Mama,” lanjutnya lirih. “Mama mengalah. Mama bilang pada diri Mama sendiri, asal kamu bahagia, Mama bisa menerima apa pun.”
Tangisnya kembali pecah. “Dan ini balasannya…”
Yudistira meraih bahu istrinya, mencoba menenangkan, namun Hanum menggeleng pelan. Luka itu terlalu dalam untuk diredam begitu saja.
Di tengah suara tangis dan amarah yang tertahan, Sadewa sama sekali tidak bereaksi.
Ia masih berdiri di tempat yang sama, matanya kosong menatap surat di tangannya. Jari-jarinya menggenggam kertas itu terlalu kuat, hingga sedikit kusut. Tidak ada air mata, tidak ada amarah hanya kehampaan yang membentang di wajahnya.
Seolah pada detik itu, Sadewa kehilangan kemampuan untuk merasakan apa pun.
Beskap pengantin yang melekat di tubuhnya kini terasa seperti beban. Dan di dalam diamnya, ada sesuatu yang runtuh tanpa suara sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali seperti semula.